Putusan Komisi Informasi Publik yang memerintahkan pemerintah untuk mengumumkan hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) kasus meninggalnya penggiat Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, SH, bergulir liar karena dokumen hasil kerja TPF ternyata tidak ada di Sekretariat Negara.
Padahal dokumen penyelidikan wafatnya Munir tanggal 7 September2004, di pesawat Garuda GA 974 kursi 40G dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda telah diserahkan TPF kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 23 Juni 2005.
Semua pihak pun sibuk dan saling tuding atas “hilangnya” dokumen yang berisi sejumlah nama yang diduga kuat sebagai aktor intelektual di balik tewasnya Munir. Mengapa dokumen negara bisa hilang? Setidaknya ada dua orang yang paling tahu soal dokumen tersebut yakni SBY dan Sekretaris Negara (saat itu) Prof Yusril Ihza Mahendra.
Namun Yusril membantah dirinya mengetahui dokumen tersebut. Bahkan Yusril mengatakan pihak Setneg tidak mengarsipkan karena tidak ada perintah dari Presiden SBY. "Kalau ditanya ke saya dimana arsip itu, ya tanya saja sama SBY," kata Yusril seperti dikutip dari kompas.com
Kedua, Yusril “mengecam” kegaduhan terkait hilangnya dokumen tersebut karena menurut dia, cara penyelesaiannya sangt mudah yakni TPF kembali mengirimkan dokumen hasil kerjanya dan Presiden Jokowi tinggal mengumumkannya.
"TPF tulis surat saja ke Jokowi ini ada dokumen yang sudah dikirimkan tapi pemerintah belum mengumumkan. Jadi mohon bapak mengumumkan, kan selesai masalahnya. Bukan kalang kabut cari arsip," ujar Yursil di sini
Lebih jauh Yusril menegaskan tanggung jawab untuk mengumumkan hasil TPF ada di pundak pemerintahan Jokowi, bukan SBY. Yusril menilai, SBY atau pun pejabat di masa SBY tidak perlu lagi ikut dalam masalah ini.
Mudah, simple dan tanpa resiko. Begitu kesimpulan yang kita dapat jika membaca statemen Yusril Ihza Mahendara. Sebuah solusi penyelesaian yang manis karena dirinya dan juga rezim sebelumnya terbebas dari resiko politik dan kemungkinan munculnya tuntutan hukum dari orang-orang yang namanya ada dalam dokumen atau pihak lain yang dirugikan pasca pengumuman hasil kerja TFP kematian Munir.
Namun sesederhana itukah persoalannya? Dokumen yang telah diserahkan kepada pemerintah- dalam kasus ini kepada presiden, adalah dokumen negara yang keberadaannya harus dilindungi. Terlebih laporan TPF bersifat rahasia dan hanya pemerintah yang berhak mengumumkannya sebagai dimaksud pada ketetapan ke- 9 Keppres Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir.
Dokumen hasil kerja TPF yang diserahkan kepada Presiden SBY adalah dokumken asli. TPF mestinya tidak menggandakan dokumen untuk disimpan (arsip) karena keberadaannya bersifat ad hoc yakni dengan masa kerja 3 bulan dan diperpanjang 3 bulan untuk pertama dan terakhir. Artinya setelah 6 bulan, TPF otomaris sudah tidak ada. Jika pun setelah itu ada orang per orang dari mantan anggota TPF yang memiliki dokumen tersebut bisa dipastikan hanya berupa salinan (duplikasi) sehingga tidak menjamin keaslian isinya.
Berdasarkan fakta tersebut, jika menuruti anjuran Yusril, dokumen yang mana yang akan diserahkan (kembali) kepada pemerintah? Karena TPF sudah bubar, lantas siapa yang berhak memberikan kepada Presiden Jokowi?
Mengapa Yusril bisa keliru pikir seolah dokumen tersebut masih ada di TPF? Ataukah ini hanya cara Yusril untuk menghindar dari tanggung jawab? Sebab menurut mantan anggota TPF Hendardi, ketika TPF memberikan dokumen hasil kerjanya kepada Presiden SBY, Yusril ikut hadir dalam kapasitasnya sebagai Mensesneg.
Sebagai pakar hukum tata negara, Yusril mestinya ikut mendorong agar dilakukan pengusutan secara tuntas terkait keberadaan dokumen hasil kerja TPF yang menyelidiki kematian Munir. Sebab jika dibiarkan dan dianggap hal yang lumrah, maka bukan tidak mungkin ke depan akan banyak dokumen negara yang tidak jelas keberadaannya. Cukup sudah kasus “hilangnya” Surat Perintah Sebelas Maret yang dijadikan dasar Presiden Soeharto mengambil-alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Jangan sampai hal itu kembali terulang karena generasi mendatang pasti ingin mengetahui sejarah bangsanya secara akurat, otentik dan bisa dipertanggungjawabkan. Hal itu hanya bisa terwujud jika penyelenggara negara saat ini tidak abai untuk mendokumentasikan dokumen-dokumen kenegaraan sesuai klasifikasinya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H