Politisi memiliki pandangan yang luas dan bahkan menjadikan sesuatu yang tidak mungkin sebagai sebuah keniscayaan. Politisi menggunakan intuisi, di luar nalar dan intelektualnya, agar bisa memahami suatu peristiwa yang berdiri di luar logika umum. Beda paling nyata antara politisi dan saintis adalah keniscayaan. Politisi menghadirkan keniscayaan dalam berpikir, sementara saintis berpikir untuk membuktikan keniscayaan.
Berpijak dari pemahaman itu, kesimpulan Anda terkait “serangan fisik” terhadap Andrew Budikusuma (23) di bus TransJakarta pada Jumat lalu dan dilaporkan ke Mapolda Metro Jaya, Selasa kemarin, kekanak-kanakkan dan sama sekali tidak mencerminkan Anda sebagai politisi, Anda terlalu terobsesi dengan tugas baru sebagai ketua tim pemenangan calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama, sehingga abai pada hal-hal yang disebutkan di atas.
Kesimpulan Anda jika “serangan” terhadap Andrew menandakan masih ada masalah Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) di Ibu Kota, bukan saja tidak dapat dipertanggungjawabkan- namun akan mengundang aksi serupa di masa-masa mendatang. Jika di kemudian hari terjadi kerusuhan berbau rasial, maka salah satu pemicunya adalah statemen dan kesimpulan Anda.
Ada beberapa dasar mengapa saya sampai pada pemikiran seperti itu.
Pertama, Anda reaktif dan terlalu cepat mengambil kesimpulan atas suatu peristiwa yang belum jelas konstruksi kejadian dan penyebabnya. Secara hukum, kasus yang menimpa Andrew masih sumir karena harus terlebih dilakukan pembuktian apakah benar telah terjadi penyerangan secara fisik, apakah benar para penyerangnya memiliki motif kebencian terhadap satu ras tertentu, apakah benar tidak ada peristiwa pendahuluan sebelum terjadinya aksi serangan tersebut.
Benar atau tidaknya pernyataan Andrew akan dibuktikan dari hasil penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum (kepolisian). Sebelum ada kesimpulan penyidik dan vonis hakim di pengadilan, pernyataan Andrew belum bisa dijadikan alat pembenaran, apalagi dasar kesimpulan tertentu. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pada sosok pelapor, sosok ‘korban’ karena fakta membuktikan ada puluhan laporan palsu dan ketidakakuratan laporan seseorang pada aparat kepolisian. Laporan bersifat subjektif sehingga dibutuhkan keterangan pembanding seperti hasil pemeriksaan polisi dan keterangan terlapor, juga saksi.
Kedua, menyerang ‘Ahok’ tidak serta merta bisa disimpulkan sebagai serangan terhadap ras atau golongan atau agama Ahok. Sebagai gubernur, pejabat publik, banyak sekali kebijakan Ahok yang tidak menguntungkan pihak tertentu. Sekalipun kebijakan itu baik secara umum, bukan berarti kita dapat menafikan ada orang-orang yang dirugikan. Dari pemahaman ini, sangat terbuka berbagai kemungkinan motif penyerangnya (dengan asumsi benar-benar terjadi penyerangan). Salah satunya, sangat mungkin mereka adalah pihak yang dirugikan akibat kebijakan Ahok selaku gubernur, bukan selaku seseorang yang bertenis Tionghoa dan Kristen.
Apalagi Andrew sendiri menyatakan, "Saya merasa mereka habis dipecat, itu kan akhir bulan mungkin pergantian payroll, mungkin bosnya orang Chinese terus sakit hati, melampiaskan.” Selengkapnya baca di sini
Dari pernyataan korban, tersirat jika pelakunya melakukan serangan karena “kecewa” dengan suatu kebijakan yang merugikan dirinya, bukan kebencian atas ras atau agama orang yang membuat kebijakan. Pernyataan “Lu Ahok” yang dilontarkan penyerangannya bukan alat pembenaran untuk mengalasi argumen serangan itu bermotif rasial. Penyerangnya jelas tahu jika yang dihadapi bukan Ahok karena dengan kepopulerannya saat ini, di mana wajahnya setiap hari terpampang di media TV, media massa cetak dan online, rasanya terlalu mengada-ada jika ada orang yang sampai salah mengenali Andrew sebagai Ahok. Menggunakan nalar yang paling sederhana, tidak mungkin seorang gubernur naik Transjakarta sebagai penumpang biasa.
Meminjam dugaan Andrew, sangat mungkin para penyeranganya orang-orang yang sedang kebingungan (stres) lalu mencari alat pelampiasan sesaat. Namun jika itu yang terjadi pasti ada alasan pemicunya seperti tersenggol karena berdesak-desakkan, atau ada kata-kata bernada menantang yang terlontar dari kedua pihak. Bukankah sangat mungkin Andrew memaki jika saat itu dirinya terjepit akibat desak-desakan?
Ketiga, tidak tertutup kemungkian Andrew hanya ‘umpan’ untuk memancing kerusuhan dalam eskalasi yang lebih luas. Siapa yang mengumpan? Bisa dari kelompok anti Ahok , bisa juga sebaliknya. Pernyataan Anda termasuk dalam barisan sebaliknya. Dengan adanya kejadian ini, orang menjadi takut mengkritik Ahok karena akan dicap, dilabeli anti china- rasialis. Pola ini kebetulan tengah berlangsung secara massif. Siapapun, apapun kritiknya, sepanjang berseberangan dengan (kebijakan dan kemauan) Ahok, labelnya pasti anti china dan onta- sebagai kata ganti Islam.
Sdr. Nusron Wahid, Anda tentu paham tentang keindonesiaan. Namun keindonesiaan mana yang Anda maksud ketika mengaitkan penyerangan terhadap Andrew (yang motif dan peristiwanya belum jelas) dengan SARA?
Bukahkah menjadi Indonesia adalah menjadi (manusia) pribadi yang memiliki toleransi, saling menghargai, saling menghormati atas pendapat, keyakinan dan keberagaman? Atau Anda punya pendapat berbeda? Apakah menjadi Indonesia yang Anda maksud adalah memperbolehkan sekelompok akun anonim menyuarakan kebencian dan penghinaan pada orang lain yang berbeda pandangan dengan dirinya dan Ahok? Apakah menjadi Indonesia adalah membiarkan sekelompok orang mempertontonkan arogansi, mengumbar kekuatan massanya untuk menekan kelompok lainnya? Apakah menjadi Indonesia berarti selalu melindungi secara total kelompok minoritas dan membolehkan caci-maki serta penghinaan terhadap mayoritas?
Sebelum menutup surat terbuka ini, izinkan saya menyeru kepada Anda, untuk lebih berhati-hati dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu persoalan yang terjadi di tengah masyarakat. Sebagai tokoh nasional, pemimpin organisasi massa dan juga pejabat publik, mestinya Anda memahami falsafah sabdo pandhito ratu, Ucapan Anda akan menjadi arah dan alat pembenar bagi orang-orang di sekitar Anda.
salam @yb .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H