Menariknya, meski elit politik dalam menentukan pasangan masih menggunakan sudut pandang primordialisme- mungkin itu juga yang menjadi salah satu dasar pertimbangan Gatot yang bertenis Jawa ketika memilih Tengku Erry Nuradi yang berdarah Melayu-Minang sebagai pasangannya, masyarakat di bawah tidak agresif menyuarakan hal itu. Padahal pasangan calon yang ikut dalam kontestasi pilgub Sumut sangat multi etnis yakni Chairuman Harahap-Fadly Nurzal, Gatot Pujo Nugroho -Tengku Erry Nuradi, Effendi M Simbolon-Jumiran Abdi, Amri Tambunan-RE Nainggolan serta Gus Irawan Pasaribu-Soekirman. Jarang sekali kita temukan hujatan-hujatan bernada kesukuan kepada calon atau pun pendukung calon yang berbeda suku.
Bahkan menurut analisa Sabar Sitanggang doktor sosiologi jebolan Universitas Indonesia (UI), hanya 10 persen pemilih yang rasional dan mayoritas masih bicara etnisitas, di sini
Saat ini setelah lebih banyak mengurusi majalah di Jakarta, saya kembali mendapatkan pelajaran penting terkait isu primordialisme menjelang pilgub DKI Jakarta. Petahana Ahok bahkan berulangkali mengekspose atnis dan agamanya di ruang-orang terbuka seperti yang dilakukannya saat diwawancara Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa beberapa waktu lalu. Sikap Ahok- yang kemungkinan dimaksudkan sebagai counter terhadap jargon-jargon anti gubernur kafir dan china, seperti yang dulu sering disuarakan Front Pembela Islam, mendapat sambutan luar biasa dari para pendukungnya.
Siapa pun yang mengkritik Ahok, langsung dilabeli sebagai anti china dan Islam- yang diungkapkan dengan sebutan onta. Media-media sosial, komentar-komentar di media online dengan jaringan, penuh dengan makian seperti itu. Meminjam slogan iklan minuman ringan, apapun kritiknya, anti china dan onta labelnya, Bahkan sampai ada yang dengan lucu menjustifikasi, 100 persen pembenci Ahok adalah rasis (baca: anti china).
Apa yang sebenarnya terjadi?
Sejak mendeklarasikan diri di Kompasiana tidak akan memilih Ahok dalam kontestasi pilgub DKI, saya sudah kenyang mendapat hujatan semacam itu. Dan sekali lagi saya hanya tertawa, bahkan jujur saja bangga mendapat ‘kehormatan’ itu. Mengapa? Karena tulisan saya ternyata mendapat respon. Alangkah sedihnya ketika kita menulis tidak ada yang membaca apalagi meresponnya. Soal negatif atau positif, tergantung sudut pandang saja.
Ketika saya berulangkali mengkritik sepakterjang Teman Ahok, mereka pun mendasarkan pada sentimen etnis. Mereka mengesampingkan fakta bahwa beberapa argumen yang saya paparkan mendekati ‘kebenaran’ karena saya bergaul langsung dengan beberapa relawannya. Bukankah kemudian terbukti jika relawan Ahok dibentuk oleh lembaga konsultan politik dan mendapat “uang operasional” dalam melaksanakan pekerjaannya? Bukankah terbukti Ahok akhirnya memilih maju melalui jalur partai politik? Dari mana sumber dananya? Dari penjualan merchandise? Saya sudah mengikuti gelaran politik di berbagai daerah dan sedikit banyak paham soal hal-hal semacam itu.
Ketika saya mempertanyakan statemen Sukanto Tanoto, apakah saya rasis? ‘Kasus’ bos pemilik Raja Garuda Emas itu tidak berdiri sendiri. Isu adanya eksodus ribuan warga Tionghoa saat kerusahan 1998, fakta banyaknya konglomerat bermasalah yang lari ke China, menjadi dasar mengapa saya mempertanyakan apakah statemen Tanoto mewakili semua pandangan orang Tionghoa di Indonesia.
Satu hal lagi yang sangat menggelitik saya, mengapa komentar-komentar di media daring, termasuk Kompasiana, begitu masif dan seragam? Bahwa Ahok memiliki buzzer, itu fakta karena pernah diekspose secara luas saat mereka mengadakan pertemuan dan jamuan makan malam di rumah pribadi Ahok. Tetapi benarkah ada setingan agar mereka mengeksplore anti china dengan tujuan jika kelak Ahok kalah dalam kontestasi pilgub, mereka akan beralasan warga Jakarta rasis? Jika benar seperti itu, alangkah sedihnya saya karena semangat untuk membangun negeri ini yang bebas dari sekat-sekat kesukuan, dikebiri untuk kepentingan politik.
Pertanyaan saya (dan bagian dari kesimpulan tulisan panjang ini), mengapa ketika saya mengkritik Gubernur Lampung yang bersuku Lampung tidak dicap sebagai rasis tapi ketika mengkritik Ahok yang Tionghoa, saya dilabeli rasis? Mengapa ketika mengkritik habis-habisan kewarganegaraan ganda Arcandra Tahar saya tidak hujat rasis padahal beliau bersuku MInang, sementara ketika mempertanyakan sikap warga Tionghoa dalam kaitannya dengan pernyataan Tanoto dan aksi lari sejumlah konglomerat hitam ke negeri China, saya dicap anti china?
Mudah-mudahan saya mendapat pencerahan. Dan saya pun berharap ini tulisan pribadi saya yang terakhir terkait isu etnis. Masih banyak masalah-masalah lain yang lebih berguna untuk diulas dan dibahas.