Partai Komunis Indonesia sudah lama almarhum. Ideologi Marxisme dan Leninisme pun sudah padam, kecuali di beberapa negara seperti China, Vietnam, Korea Utara dan Kuba. Takut pada ‘hantu’ PKI berserta ideologinya, sama saja takut pada bayangan diri sendiri. Tetapi tidak menghargai mereka yang masih trauma pada aksi ‘kejam’ PKI, juga tidak bijak, bahkan melanggar hak asasi.
Isu komunisme akan kembali merebak dalam beberapa hari ke depan. Adalah pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KHUP) yang menjadi pemicunya. Seperti diketahui, revisi terhadap KUHP yang sudah berumur hampir seabad, tengah digodok oleh Komisi III DPR. Meski sudah masuk program legislasi nasional sejak beberapa tahun lalu, namun nyatanya dewan belum juga bisa menuntaskan revisi tersebut. Salah satu penyebabnya tentu karena banyaknya pihak yang ikut ‘mengawal’ pasal per pasal agar kepentingannya tidak terganggu, termasuk di dalamnya kepentingan politik.
Ada beberapa pasal yang pembahasannya masih ‘alot’ seperti pasal hukuman mati, pasal “maling sendal”, sampai yang paling melibatkan emosi masyarakat yakni terkait perlu tidaknya pasal untuk menjerat mereka yang terlibat dalam kegiatan berbau komunisme.
Seperti diketahui dalam draf revisi KUHP saat ini, pasal larangan terhadap paham komunisme masih termuat dalam dua pasal yakni pasal 219-220. Di dalam draft pasal 219 ayat 1 disebutkan: Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Dengan ancaman hukuman selama itu, aparat penegak hukum bisa langsung menahan seseorang yang dituduh menyebarkan ajaran komunisme di Indonesia. Sementara pasal 220 ditujukan kepada mereka yang mendirikan organisasi yang bernafaskan, berafiliasi, atau pun menerima dana dari organisasi sejenis baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan tujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
Kelompok penggiat Hak Asasi Manusia memprotes keras masuknya kedua pasal tersebut karena berpotensi mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Apalagi kedua pasal yang termasuk dalam kelompok Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara tersebut masih ‘diperkuat’ dengan pasal 221yang secara spesifik mengancam siapa saja yang berkeinginan untuk mengganti ideologi Pancasila. Bunyi pasal 221 pun tidak kalah ‘menyeramkan’ sebagaimana bisa dilihat pada ayat 1 yakni: Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum menyatakan keinginannya dengan lisan, tulisan, atau melalui media apa pun untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono poin-poin yang dibahas dalam pasal-pasal 219-221 mengancam hak asasi manusia dalam hal kebebasan berserikat dan berpendapat. Untuk itu ICJR mendesak DPR untuk menguji kembali keberadaan pasal-pasal tersebut.
Menanggapi hal itu anggota Panja RUU KUHP Taufiqulhadi menegaskan pasal tersebut merupakan kewajiban bagi warga negara. Sedang terkait hak, sudah diatur dalam pasal lainnya. Selengkapnya bisa dibacai di sini.
Mayoritas warga bangsa meyakini paham komunis sudah ambruk dan tidak laku lagi untuk mempengaruhi massa. Di era teknologi seperti saat ini, siapa yang mau kembali hidup di zaman sereba terkekang seperti di China (di luar Sanghai, Hongkong dan kota-kota yang telah dibuka), Korea Utara, Vietnam dan Kuba? Di zaman hedonis, kekayaan menjadi ukuran prestise seseorang, siapa yang mau hidup dalam komunal sempit? Hidup serba dibatasi tanpa hak kepemilikan atas tanah dan properti lainnya. Berselancar di dunia maya menjadi barang mewah dan bersuara menjadi hal yang tabu. Setiap hari harus menundukkan kepala sambil menepuk-nepuk dada sebagai bentuk penghormatan kepada ketua partai. Siapa yang mau? Mungkin hanya orang-orang yang sudah putus asa, gagal bersaing, dan petualang politik yang mau hidup demikian.
Dengan asumsi itu, maka terasa berlebihan jika negara masih ‘ketakutan’ pada paham komunis. Atau jangan-jangan, seperti sering dituduhkan sekelompok aktivis HAM, pasal itu memiliki tujuan lain yakni untuk memberangus kebebasan berserikat dan berpendapat? Indonesia punya pengalam buruk terkait pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Hampir 32 tahun, masyarakat dicekam ketakutan ketika bicara politik karena dengan mudahnya dituduh melakukan tindakan subversif, dan setelah itu dilabeli sebagai antek PKI. Padahal mungkin yang dibicarakan hanya soal kesewenang-wenangan aparat negara dalam kasus penggusuran lahan untuk pabrik atau lapangan golf.
Tetapi para penggiat HAM mungkin lupa, masih banyak warga negara Indonesia yang antipati terhadap apapun yang berbau komunis. Bukan masalah ideologinya, tetapi karena bersinggungan langsung dengan keyakinan. Masih banyak warga Indonesia yang memahami komunis hanya sebatas ajaran anti tuhan. Kita tidak bisa menyalahkan mereka yang memiliki asumsi seperti itu. Di samping doktrin rezim orde baru yang sedemikian masif dan terstruktur sehingga bisa “mencuci otak” jutaan rakyat Indonesia, fakta bahwa kader-kader PKI doyan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan agama, turut menyumbang hadirnya trauma tersebut.
Gesekan antara tuan tanah dengan simpatisan PKI, pertentangan antara kaum agama dengan kader PKI, hingga pertikaian di tingkat elit politik yang berlangsung secara brutal, adalah fakta-fakta yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja ketika kita mempertanyakan sikap mereka-mereka yang antipati terhadap PKI.
Kita harus menolak ketika isu PKI hanya dijadikan tunggangan untuk tujuan politik tertentu- seperti menjatuhkan lawan politiknya. Kita paham beberapa orang menjadikan isu PKI sebagai tameng untuk menutupi borok di masa lalu. Kita pun tahu, ada segelintir elit politik yang ‘jualan’ isu PKI untuk mendapatkan panggung di pentas nasional.
Tetapi kita tidak boleh melanggar hak untuk bebas dari rasa takut (freedom from fear) seperti yang dideklarasikan Presiden Amerika Serikat Franklin D.Roosevelt. Negara harus memberikan rasa aman kepada warganya- termasuk aman dari ancaman paham yang ‘menakutkan’ mereka tersebut.
Dengan pemahaman itu, pasal larangan penyebaran ideologi marxisme dan leninisme merupakan bentuk perlindungan kepada (sebagian) warga negara, meski sebagian warga negara lainnnya menganggap paham itu sudah bukan merupakan ancaman lagi.
Bagaimana mempertemukan kedua ‘aliran’ itu? Pasal tersebut harus tetap ada dalam KUHP namun seluruh warga bangsa, terutama aktivis-aktivis pro demokrasi dan HAM, harus mengawasi secara ketat pelaksanaan dan penerapannya. Jangan biarkan siapa pun menyalahgunakan untuk tujuan-tujuan di luar semangat lahirnya pasal tersebut.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H