Hak prerogatif yang melekat pada Ketua Umum PDIP Perjuangan Megawati Soekarnoputri ibarat pintu darurat yang digunakan ketika mekanisme partai tidak berjalan dengan baik. Jika Megawati konsisten dengan hal itu, PDIP akan mengusung calon di luar petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tetapi jika ada kepentingan yang bersifat subjektif, semisal untuk mengimbangi kekuatan Joko Widodo di internal partai, Megawati akan memilih Ahok.
Hak prerogatif yang melekat dan identik dengan Megawati terbukti telah menyelamatkan partai berbasis massa kelas menengah ke bawah tersebut. Di awal reformasi, kader-kader militan PDI (P) yang rela “dipukuli” babinsa, banyak yang tergusur untuk memberi tempat bagi kader-kader yang baru masuk. Sebagian kader-kader baru ini adalah kaum oportunis. Gelombang protes dan perpecahan hampir terjadi di seluruh tingkatan, dari pusat hingga ke pengurus anak cabang.
Dengan hak istimewa yang dimilikinya, Megawati berhasil membawa perahu PDIP melewati gelombang itu. Mereka yang oportunis, akhirnya terpental dengan sendirinya. Keinginan sekelompok kader PDIP untuk mengamputasi keberadaan hak prerogatif gagal secara menyedihkan. Mereka yang merasa sudah menjadi tokoh hebat, lantas keluar dari kandang PDIP dan membentuk partai baru. Hasilnya, semua partai sempalan PDIP baik PNBK yang diinisiasi Eros Djarot maupun Partai Demokrasi Pembaruan yang didirikan Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis, nyungsep. Hal ini berbeda dengan partai sempalan Golkar. Semua partai yang didirikan oleh eks tokoh Golkar, selalu mendapat tempat dalam kancah politik nasional seperti Hanura, Gerindra dan terakhir Nasdem.
Loyalitas dan militansi kader dan simpatisan PDIP tidak pernah berkiblat pada tokoh tertentu. Klaim orang-orang PDIP hanya pemilih buta karena faktor Soekarno, juga mentah karena kader PDIP juga tidak pernah membelot ke partai yang didirikan oleh anak Soekarno lainnya seperti PNI Marhaenisme, yang digawangi Sukmawati Soekarnoputri dan Partai Pelopor yang dipimpin Rachmawati Soekarnoputri.
Kader PDIP sejati adalah mereka yang setia pada sejarah perjuangan. Mereka tidak mau lompat pagar karena terpesona dengan jargon partai baru atau tokoh baru. Kader PDIP menghormati perjuangan Megawati, sebagaimana mengormati perjuangan Bung Karno, yang rela “berdarah-darah” padahal memiliki kesempatan untuk hidup mewah dan nyaman di bawah kekuasaan Soeharto. Megawati memilih berada di tengah-tengah kaum cilik, melakukan perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan Pak Harto. Jadi hanya mimpi di siang bolong jika ada tokoh baik di internal apalagi di luar, yang merasa bisa membawa massa PDIP.
Bahkan seandainya Presiden Joko Widodo mendirikan partai baru, kader yang keluar dari kandang banteng tidak akan lebih dari 10 persen. Untuk menguatkan pendapat ini bisa dilihat kasus mantan Bupati Kebumen dua periode sekaligus mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih. Saat itu nyaris tidak ada massa PDIP di Kebumen yang tidak mendukung dan loyal kepada Rutriningsih. Namun ketika dia membangkang perintah partai, maka tetangga, bahkan saudara-saudaranya sendiri, ikut meninggalkannya. Hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah lalu yang dimenangi Ganjar Pranowo, bisa dijadikan referensi betapa loyal dan militannya kader PDIP.
Hal-hal semacam itu sangat dipahami oleh politisi-politisi lain di luar PDIP. Kader PDIP di Jakarta akan memilih siapa pun yang telah ditetapkan oleh DPP, sekalipun mungkin bertentangan dengan kemauan politiknya. JIka saat ini ada kader PDIP yang menolak Ahok, bisa dipastikan dia akan berbalik menjadi “corong” untuk kemenangan Ahok jika Megawati telah menandatangani surat dukungan. Dan berlaku sebaliknya. Meski saat ini ada kader PDIP yang berada di ketiak Ahok, namun pada saatnya dia akan menjadi musuh yang garang jika dukungan PDIP diberikan kepada calon lain.
Menyadari betapa ampuh “suaranya”, bisa dipahami jika Megawati sangat berhat-hati ketika menggunakan hak prerogatif. Megawati tidak mau keputusannya diintervensi oleh kader-kadernya, apalagi hanya oleh opini media massa atau desakan tokoh-tokoh di luar partai. Megawati akan menggunakan feeling politiknya sendiri dalam mengambil keputusan.
Akankah feeling politik Megawati dalam pilgub DKI, tepat? Konstelasi politik saat ini menempatkan PDIP sebagai penentu arah pilgub DKI. Megawati dihadapkan pada dilema politik yang sangat serius. Partama, Megawati memiliki kedekatan politik dengan Ahok. Bukan karena Ahok pernah diusung oleh PDIP, tetapi Ahok adalah representasi politik PDIP yang menjunjung tinggi keberagaman dan member tempat kepada semua golongan untuk berbuat dan berjuang membangun negeri sesuai falsafah dan semangat yang terkandung dalam Pancasila.
Sejak awal Megawati memlihat Ahok sebagai model (contoh) keberagaman itu. Sayangnya Ahok terlalu ‘sombong’. Bahkan Megawati pernah dibuat sakit hati dengan ucapan dan tingkah-polah Ahok dan para pendukungnya. Megawati tipe pemimpin yang sanggup menyimpan rasa sakit hati itu hingga ber-dasawarsa, tanpa peduli kerugian di sisi lain. Megawati bukan tipe pemaaf sehingga jarang sekali ada kader PDIP yang sudah membelot akan diterima kembali dalam jajaran kepengurusan DPP, atau dicalonkan dalam kontestasi pilkada/pemilu.
Kedua, kuatnya penolakan kader PDIP. Meski seperti disebut di atas, Megawati tidak akan terpengaruh oleh desakan kader, namun kondisi politik di Jakarta saat ini sangat berbeda. Jika “pembangkangan” terhadap aspirasi kader dalam kasus Sutiyoso disebabkan karena Megawati tahu persis musuh dirinya adalah Soeharto, bukan para pembantunya, dan meyakini Sutiyoso bisa diandalkan untuk membesarkan partai, tidak demikian halnya dengan Ahok. Megawati memahami dan merasakan sendiri sakit hati akibat pernyataan-pernyataan provokatif Ahok dan pendukungnya.
Ketiga, perlunya menaikkan calon sendiri sebagai bagian dari kaderisasi. Sebagai partai pemenang, tidak tepat bagi PDIP jika hanya menjadi pengusung calon non kader. PDIP memiliki harga diri untuk menunaikan amanah rakyat. Jika PDIP mengusung calon non kader, itu artinya PDIP tidak menghargai suara rakyat yang telah menempatkannya sebagai pemenang pemilu. PDIP bukan partai pragmatis, yang hanya mengejar jabatan (kemenangan) dengan mengabaikan mekanisme partai. PDIP akan memilih “kalah”, jika kemenangan itu harus diraih dengan mengorbankan harga diri dan mekanisme partai.
Selama ini Megawati belum pernah menggunakan hak prerogatifnya secara sewenang-wenang. Megawati selalu mengedepankan kekokohan partai dan memastikan keputusannya jauh dari intervensi pihak lain. PIlgub DKI Jakarfta 2017 akan menjadi catatan sejarah PDIP apakah Megawati bijak dalam menggunakan “kewenangan tanpa batas” itu atau terpeleset karena kuatnya intervensi Jokowi dan lobi-lobi Ahok dalam sebulan terakhir.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H