Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Mengukur Fantasi Seks Kita

7 Agustus 2016   01:49 Diperbarui: 4 Agustus 2020   07:48 2796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambar kemasan makanan ringan (snack) Bihun Kekinian alias Bikini tidak membangkitkan syahwat? Tagline Remas Aku tidak menjurus unsur pornografi?

Dua pertanyaan itu, jika ditanyakan kepada 1000 orang, akan kita dapatkan 1000 jawaban berbeda.

Mengapa?

Fantasi seks, benda/alat pembangkit syahwat (libido) tiap orang berbeda-beda.

Mayoritas laki-laki Papua tidak akan bangkit syahwatnya melihat buah dada perempuan di tempat umum karena (umumnya) perempuan Papua (di sejumlah daerah tertentu) tidak terbiasa memakai penutup dada sehingga hal itu menjadi pemandangan yang biasa-biasa saja.

Tetapi penulis haqul yakin, hasrat seksual laki-laki di Jakarta akan terbit manakala melihat perempuan tanpa penutup dada berlenggak-lenggok di mal atau Balai Kota.

Mungkin saja hasrat seks laki-laki di Jakarta tidak bangkit melihat atlet renang (perempuan) yang memakai bikini di kolam renang.

Sebaliknya, sangat mungkin syahwat laki-laki di pedalaman Papua bergejolak melihat rambut perempuan Manado tergerai dipermainkan angin, atau melihat perempuan Jawa memakai kebaya.

Dari gambaran di atas, jelaslah kriteria pornografi (dalam pikiran) tiap-tiap orang berbeda-beda.

Lingkungan, pendidikan, adat istiadat dan budaya ikut menyumbang kriteria pornografi dan pornoaksi yang tertanam dalam diri tiap-tiap individu maupun kelompok.

Apakah laki-laki Jawa salah jika nafsu seksnya bangkit melihat buah dada perempuan? Apakah suatu kelainan jika syahwat laki-laki Papua tidak bangkit melihat buah dada istri tetangganya?

Tentu jawabnya: tidak!

Mari kita persempit pokok bahasannya. Apakah nafsu penulis 'tergoda' melihat gambar dalam kemasan snack Bikini? Apakah fantasi penulis tertuju pada aktivitas seksual membaca tagline 'Remas Aku' pada kemasan snack Bikini?

Jawabnya; ya!

Pertama, gambar itu sangat menggoda. Dalam fantasi seksual penulis, 'perempuan' yang digambarkan pada kemasan itu masih muda, kulitanya masih kenceng, dan mulus. Hal itu sesuai dengan fantasi seks penulis sehingga (wajar saja) syahwat penulis 'tergoda'.

Demikian juga tulisan 'Remas Aku'. Jika penulis membacanya di dinding tembok yang penuh mural anti narkoba, percayalah, tiada sedikit pun terbetik nafsu seks.

Namun jika tulisan itu dilekatkan pada gambar perempuan muda yang tubuhnya masih segar dan mulus, jujur saja pikiran penulis akan 'terganggu'.

Pada tulisan sebelumnya penulis berpendapat jika gambar perempuan (muda) berbikini yang disertai tulisan 'Remas Aku' mengandung unsur pornografi.

Ingat, jika tidak ada kehebohan, bukan mustahil makanan camilan itu akan dipajang di rak-rak minimarket, bahkan mungkin supermarket.

Jika itu terjadi, kembali pada pemahaman, penulis tidak akan berfantasi seks melihat perenang atau turis di pantai yang hanya berbalut bikini karena memang di tempatnya.

Namun menjadi hal lain jika penulis melihat (gambar) perempuan muda berbikini di supermarket.

Tetapi seperti pada tulisan sebelumnya (di sini), penulis tetap tidak setuju dengan tindakan super reaktif pegawai BPPOM dengan menggrebek pabrik dan menyita snack Bikini beserta alat produksinya.

Tindakan BP POM Bandung saat menggrebek pabrik snack Bikini di bilangan Sawangan Depok sangat lebay dan arogan.

Bimbinglah TW- mahasiswi pemilik pabrik snack Bikini, agar membuat usaha dengan tidak mengekploitasi (gambar) tubuh perempuan. Berikan saran dan penjelasan. Hargai upaya dan kreativitasnya.

Jika keliru, diingatkan, tapi tidak dengan kekerasan layaknya teroris yang telah membunuh satu generasi.

Jangan pernah menjadikan generasi muda kita sebagai pesakitan hanya karena suatu kekeliruan.

salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun