Mudik sudah menjadi rutinitas setiap tahun. Dan sejarah mencatat, tidak ada arus mudik lebaran yang lancar. Sudah banyak ulasan, pendapat hingga solusi bagaimana pemerintah memberikan kenyamanan kepada para pemudik. Namun tahun berganti tahun, pemimpin datang silih berganti, persoalan klasik itu selalu terulang. Kemacetan panjang dan mudik seolah dua hal yang inheren sehingga ketika ada yang menggugat kemacetan arus mudik, dianggap pandir.
Masyarakat pengguna kendaraan darat untuk mudik- baik pribadi maupun umum, dipaksa memaklumi kondisi tersebut dan dilarang bertanya, apalagi protes. Kemacetan terjadi karena tingginya volume kendaraan yang melintas pada saat bersamaan. Kalau tidak mau terjebak kemacetan ya jangan mudik. Titik.
Padahal mudik adalah perjalanan sakral, perjalanan jiwa, perjalanan spiritual anak manusia. Mudik juga bukan hanya milik masyarakat Indonesia. Orang-orang Eropa, Amerika Serikat dan Asia lainnya juga memiliki ritual serupa yang dikaitkan dengan momen tertentu. Mudik bukan sekedar ziarah ke masa lalu, bukan sekedar romantisme kecengengan akan alam pedesaan yang damai setelah setahun dihajar rutinitas dan hiruk-pikuk kota. Mudik adalah budaya yang tumbuh dan mengakar pada masyarakat urban dalam rangka mengekalkan hubungan kekerabatan, penghormatan kepada orang tua, leluhur.
Sebagai salah satu bagian masyarakat urban- meski lahir dan besar di Jakarta, hampir setiap tahun aku mudik saat Idul Fitri. Meski pada bulan-bulan lain sudah pulang- bahkan tahun ini sudah tiga kali pulang kampung, tetap saja di hari raya kemarin merasa harus aku pulang ke kampung halaman di Sumpiuh, Banyumas dan juga Cilacap. Ada yang hilang manakala aku tidak sungkem pada Ibu- saat hari raya Idul Fitri, terlebih sejak Ayah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Ada perasaan bersalah ketika tidak bisa pulang saat lebaran. Hal-hal seperti ini mungkin yang tidak dirasakan dan dipahami oleh mereka yang tidak memiliki hubungan yang kuat dengan orang tua dan kerabatnya.
Sepanjang pengalaman mudik, baru tahun ini aku mengalami peristiwa yang sungguh ‘horor’ dan di luar nalar. Jarak Jakarta – Cilacap yang pada saat normal hanya memerlukan waktu tempuh 6-8 jam, dan saat lebaran umumnya menjadi 12-18 jam, namun pada mudik kali ini, aku tempuh selama 58 jam dengan mobil pribadi.
Aku berangkat dari Gambir Jakarta Pusat, Minggu 2 Juli 2016 pukul 10.00 WIB. Laju kendaraan mulai merayap sejak di Tol Cikampek KM 36 hingga KM 51. Setelah itu, masuk ke tol Cikopo-Palimanan (Cipali), lumayan lancar. Pukul 17.00, kendaraan sudah lepas dari Tol Cipali dan masuk ke Tol Kanci-Pejagan. Selepas KM 220, aku mulai terjebak kemacetan. Puncaknya, ketika terjadi saat tiba di KM 230-an. Arus lalu lintas benar-benar stuck. Setelah 6 jam dalam ketidakpastian, pukul 23.30:45, aku berhasil keluar dari pintu tol Pejagan.
Ada perasaan lega karena baru terbebas dari kemacaten. Aku pikir penderitaan sudah berakhir. Aku sempat mampir di warung makan sebelum melanjutkan perjalanan. Kedua anakku yang sejak di tol diam saja pun kembali ceria. Kami tidak sadar saat masuk ke jalan di daerah Ketanggungan Brebes sekitar pukul 0030, Senin tanggal 3 Juli, sebenarnya kami sedang memasuki “nereka mudik” yang sebenarnya.
Sebab selepas jembatan besi, kami langsung terjebak kemacaten. Rerata jarak 1 KM ditempuh selama 1 jam. Pukul 08.00 atau 7 jam 30 menit kami hanya menempuh 6 KM. Selepas itu arus kendaraan benar-benar stuck. Persediaan BBM pun habis padahal sebelum berangkat mobil Ertiga yang aku kendarai sudah diisi full tank. Tahun sebelumnya, dengan volume BBM yang sama aku baru mengisi BBM lagi di Ajibarang, Purwokerto- sekitar 50 KM sebelum Cilacap.
Aku tidak mungkin mematikan kendaraan karena kedua anakku tengah tidur. Aku pun mulai berburu bensin karena jarak SPBU masih jauh. Lagi pula saat itu aku sudah mendapat informasi, jika BBM di SPBU kosong. Setelah berebut dengan pengendara lainnya, pukul 11.00 aku dapat 2 botol bensin (eq. 3 liter) seharga Rp 65.000 perbotol. Pukul 14.00 kami belum juga bisa bergerak. Akhirnya aku beli bensin lagi seharga Rp300.000 (menurut penjualnya jumlahnya 6 liter, namun menurut perhitunganku hanya sekitar 5 liter). Pukul 15,00 kami mendapat informasi mobil BBM sudah masuk. Pukul 17.00 mobil mulai bergerak sangat pelan karena menuju SPBU. Pukul 01.50, Selasa, 4 Juli, aku sampai di SPBU, namun tidak diperbolehkan mengisi full tank. Petugas polisi yang melayani hanya memberi jatah maksimal seharga Rp 250.000.
Setelah mengisi BBM, aku melarikan kendaraan seperti tahanan kabur dari dalam sel. Jalanan begitu lengang hingga akhirnya kembali terjebak kemacetan di SPBU berikut. Dalam kondisi sangat lelah, aku menepikan mobil dan tidur. Pukul 08.00 pagi bangun, makan dan kembali menjalankan mobil dengan kecepatan rata-rata 20 KM/jam. Pukul 14.00 aku tiba di ujung jalan Pejagan – Prupuk. Itu artinya aku sudah menempuh perjalanan selama 52 jam!
Saat memasuki wilayah Ajibarang, kendaraanku pun mengalami kerusakan seperti umumnya kendaraan lainnya: kanvas kopling hangus! Karena sudah tidak ada bengkel yang buka, sementara pos siaga pun tidak ada, aku akhirnya meminta bantuan warga untuk menarik mobil ke Cilacap dengan biaya Rp 1 juta. Alhamdulillah, pukul 18.30, aku dan kedua anakku tiba di rumah Ibu yang sudah dirundung cemas selama dua hari.
Itulah perjalanan mudik kali ini. Kepada siapa aku boleh bertanya, siapa yang bertanggung-jawab atas carut-marutnya manajemen arus mudik kali ini? Siapa yang berani menunjukkan dada dan mengakui kesalahannya dalam melakukan rekayasa lalu-lintas? Berapa uang negara yang dihabiskan untuk rapat, survei, membeli peralatan monitor selama arus mudik? Layakkah mereka-mereka yang terhormat itu tetap erat memeluk jabatannya setelah menciptakan “neraka jahanam” bagi pemudik?
Aku hanya bertanya di tengah keputusasaan dan bayang-bayang akan mengalami hal serupa Minggu, 10 Juli besok saat aku kembali ke Jakarta.
Cilacap, 8 Juli 2016
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H