Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

“Cek Kosong” Nasdem dan Hanura Dorong Ahok ke Tubir Jurang

8 Juni 2016   08:06 Diperbarui: 8 Juni 2016   12:32 6360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: yellowcabin.com

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) telah  mendeklarasikan dukungan tanpa syarat kepada calon petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sejak beberapa bulan lalu. Sikapnya kemudian diikuti oleh Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Sebagai partai baru dalam blantika politik tanah air- meski pentolannya para politisi kawakan, Nasdem membutuhkan panggung yang aman untuk melakukan penguatan sel-sel partai. Mendukung Ahok yang memiliki elektabilitas tinggi dan jaringan relawan yang sudah terbentuk, adalah cara paling aman sebagaimana dulu dilakukan Nasdem pada gelaran pilpres 2014.

Bedanya, saat PIlpres posisi Nasdem setara dengan partai-partai pendukung dan pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sedangkan pada pilkada DKI Jakarta, Nasdem, juga Hanura, hanya sebatas pendukung karena pengusungnya Teman Ahok. Posisi Nasdem dan Hanura, tidak lebih tinggi dari LSM, atau kelompok-kelompok masyarakat pendukung Ahok seperti Batman, Muda Mudi Ahok dll. Meski sempat mendapat gugatan kadernya, terutama Hanura yang memiliki 10 kursi di DPRD DKI, sikap kedua partai sempalan Golkar itu tidak goyah.

Namun usai mendeklarasikan dukungan kepada Ahok, Nasdem dan Hanura langsung tiarap. TIdak ada aksi nyata sebagai tindaklanjut dukungan itu. Nasdem dan Hanura seperti lepas tangan terhadap berbagai manuver partai lain yang berusaha menjegal langkah Ahok maju melalui jalur independen. Anggota Fraksi Nasdem DPRD DKI Jakarta Inggard Joshua justru terang-terangan selalu mengambil sikap berseberangan dengan partainya sehingga sempat diusulkan untuk diganti.

Puncak “ketidakpedulian” Nasdem dan Hanura terhadap Ahok terlihat nyata saat pembahasan revisi UU Pilkada 12/2015. Anggota Fraksi Nasdem dan Fraksi Hanura di DPR RI tidak berupaya menggunakan kekuatannya untuk mencegah masuknya pasal 48 Ayat 3 Nomor 3a yang mengatur verifikasi faktual dengan metode sensus sehingga berpotensi menjegal calon indepeden seperti ditulis di sini.

Meski pasal itu bersifat umum- berlaku untuk seluruh calon independen yang akan mengikuti pilkada serentak 2017, namun karena tengah mendukung salah satu calon independen, seharusnya kader Nasdem dan Hanura menyuarakan penolakan. Nyatanya hingga paripurna DPR mengesahkan RUU Pilkada tersebut, tidak terdengar kengototan anggota Fraksi Nasdem maupun Hanura, terutama yang duduk di Komisi III DPR.

Padahal jika mereka mem-blow up-nya, dipastikan muncul tekanan publik baik dari pendukung calon independen maupun para penggiat demokrasi sehingga pasal 48 ayat 3 huruf 3a dapat dicegah sebagaimana beberapa wacana lainnya seperti keharusan mundur bagi petahana dan cukup cuti bagi legislator saat mengikuti kontestasi jabatan politik lain.

Melihat sikap kader-kader Nasdem dan Hanura, menguatkan asumsi jika dukungan  yang mereka berikan kepada Ahok hanya berupa “cek kosong”, perahu tanpa penumpang. Atau sebenarnya diam-diam kedua partai tersebut tetap berharap Ahok maju melalui jalur parpol?

Pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dalam acara buka puasa bersama di DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, yang dihadiri Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, patut dicermati. Menurut pemilik Metro TV itu, partainya mempersilahkan Ahok untuk meneruskan niatnya maju melalui jalur independen atau balik arah menggunakan jalur parpol.

Sepintas pernyataan itu sebagai bentuk dukungan total Nasdem terhadap Ahok. Apalagi pernyataan tersebut diungkapkan bersamaan kecaman terhadap usulan wakil ketua DPR Fahri Hamzah agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat formulir standar untuk menyeragamkan dukungan calon independen.

Tetapi jika di-combine dengan sikap Fraksi Nasdem di DPR yang terkesan membiarkan lolosnya ayat 3a RUU PIlkada, pernyataan Paloh memiliki makna ganda. Paloh terkesan mendorong Ahok untuk menggunakan jalur parpol. Di saat Ahok galau akibat ulah DPR yang mempersulit langkah calon independen, mengapa Paloh tidak berusaha meyakinkan agar tetap konsisten di jalur independen dengan tidak memberikan opsi lain? Sikap Paloh yang mengatakan akan tetap mendukung andai Ahok berbalik arah menggunakan jalur parpol, ibarat membiarkan teman yang tengah bimbang mengambil keputusan, apakah mau bunuh diri atau tidak. Bukahkah andai Ahok mengubah keputusannya maju melalui jalur independen akan menimbulkan goncangan di tubuh relawannya yang selama ini menghujat eksistensi parpol?

JIka Nasdem, dan juga Hanura, memberi angin, dipastikan Ahok semakin bimbang untuk mengambil keputusan apakah akan tetap di jalur independen ataukah jalur parpol. Bayangan kesulitan yang dihadapi pada saat proses verifikasi faktual dengan metode sensus, bisa memaksa Ahok untuk berpikir pragmatis.

Terlebih jika usul ‘gila’ Fahri Hamzah diakomodir oleh KPU. Teman Ahok akan kehabisan waktu untuk melakukan perubahan surat dukungan karena pada pertengahan Juli mendatang calon independen sudah harus menyerahkan surat pernyataan dukungan yang dilengkapi copy KTP. Kapan lagi waktu untuk mengubah form dukungan sesuai standar KPU?

Keputusan menyangkut apakah Ahok akan menggunakan jalur independen ataukah jalur partai politik baru akan fix setelah KPU mengadakan rapat konsultasi dengan DPR dan pemerintah. Jika waktu verifikasi faktual bisa diundur 14 hari, dari ketentuan semula yang hanya 3 hari, atau KPU boleh menerbitkan peraturan berupa interpretasi lain terhadap ketentuan metode sensus, semisal tetap menggunakan metode sensus untuk memenuhi ketentuan undang-undang namun berdasarkan asas keterwakilan (cxontohnya tiap kelurahan minimal 10 persen), kemungkinan besar Ahok tetap akan berkhidmat di jalur independen. Ahok juga bisa tetap menggunakan jalur independen jika ayat 3 nomor 3a UU PIlkada dianulir oleh Mahkamah Konstutusi melalui judicial review yang diajukan oleh elemen masyarakat.

Tetapi jika KPU gagal memperjuangkan interpretasi lain terhadap ketentuan pasal dimaksud, atau malah mengakomodir usulan Fahri Hamzah, sementara tidak ada pihak yang mengajukan judicial review, kemungkinan terbesar Ahok akan menggunakan jalur partai politik untuk merengkuh jabatan Gubernur DKI Jakarta periode kedua.

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun