Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kami Bukan Budak Ahok

28 Mei 2016   01:58 Diperbarui: 28 Mei 2016   12:54 2297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberanian Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ‘berkelahi’ dengan  pejabat yang dinilai salah, bukan berita baru. DPRD hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merupakan lembaga tinggi negara, sejajar dengan Presiden sesuai UUD 1945 hasil amandemen, pernah dijadikan luapan kekesalannya. Maka bukan suatu yang luar biasa ketika Ahok “mengajak ribut”  para ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) se DKI Jakarta yang menolak dibebani kewajiban mengirim minimal tiga laporan berupa tulisan maupun foto kejadian di lingkungannya melalui layanan Qlue- aplikasi berbasis IoT (Internet of Things).

Sebenarnya RT/RW tidak memiliki kewajiban seperti yang dimaui Ahok. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau Sebutan Lain, RT memiliki tugas :

1. membantu menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat yang menjadi tanggung jawab Pemerintah

2. memelihara kerukunan hidup warga

3. menyusun rencana dan melaksanakan pembangunan dengan mengembangkan aspirasi dan swadaya murni masyarakat

Sedang fungsi RT adalah :

1. pengkoordinasian antar warga

2. pelaksanaan dalam menjembatani hubungan antar sesama anggota masyarakat dengan Pemerintah

3. penanganan masalah-masalah kemasyarakatan yang dihadapi warga

Bagaimana dengan RW? Masih menurut Keppres 49/2001, RW memiliki tugas:

1. menggerakkan swadaya gotong royong dan partisipasi masyarakat di wilayahnya

2. membantu kelancaran tugas pokok LKMD atau sebutan lain dalam bidang pembangunan di Desa dan Kelurahan

Dan memiliki fungsi sebagai :

1. pengkoordinasian pelaksanaan tugas RT atau sebutan lain di wilayahnya

2. pelaksanaan dalam menjembatani hubungan antar RT atau sebutan lain dan antar masyarakat dengan Pemerintah

Jadi jelaslah, berdasarkan Keppres tersebut RT/RW tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan harian kepada pemerintah daerah. Sebab keberadaan RT/RW merupakan kesepakatan warga dan para pengurusnya juga dipilih oleh warga. Pihak kelurahan tinggal mengesahkan hasil kesepakatan warga tersebut.

Bagimana di Jakarta? Posisi ketua dan pengurus RT/RW tidak terlalu menarik bagi masyarakat Jakarta. Banyak tokoh masyarakat yang menolak menjadi ketua RT/RW. Pada pemilihan ketua RT tahun 2015 lalu di RT 009 RW 007 Kelurahan Petojo Selatan Gambir Jakarta Pusat, hanya ada dua orang yang mau maju sebagai calon ketua. Bahkan rapat pemilihan ketua RT hanya dihadiri tidak lebih dari 30 orang dari  200 warga yang memiliki hak pilih dan dipilih.

Kebijakan memberi insentif kepada RT/RW di Jakarta dimulai sejak Gubernur Sutiyoso dengan dasar SK Gubernur DKI No 2153 Tahun 2003. Awalnya besarnya insentif bagi ketua RT/RW hanya Rp 150.000 per bulan. Jumlahnya terus meningkat hingga pernah mencapai pada kisaran Rp 500.000 per bulan.

Di awal masa pemerintahannya,  Ahok mengeluarkan Pergub Nomor 168 tahun 2014 tentang Pedoman RT RW DKI Jakarta disusul SK Gubernur Nomor 903 tahun 2016 tentang Pemberian Uang Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Rukun Tetangga dan Rukun Warga. Kedua peraturan tersebut kemudian digunakan sebagai dasar kewajiban ketua RT/RW melapor terkait kondisi di lingkungannya melalui aplikasi Qlue. Bahkan Ahok berangan-angan program yang saat ini juga dipakai di Bekasi itu, akan digunakan secara nasional. Sebuah inovasi yang bagus sebagai bagian dari program reaksi cepat pemerintah daerah menanggapi keluhan warganya. Sebab RT/RW yang tahu persis kondisi lingkungannya.

Setiap laporan dihargai Rp 10.000 untuk RT dan Rp 12.500 untuk RW. Selain itu, setiap ketua RT/RW masih mendapat tambahan uang pulsa sebesar Rp 75.000 per bulan. Namun jika dalam sebulan jumlah laporannnya kurang dari 90, maka uang insentifnya tidak bisa diambil. Dengan adanya kewajiban itu ketua RT/RW merasa dirinya dijadikan pegawai Pemda DKI Jakarta namun digaji hanya Rp 975.000 perbulan untuk RT, dan Rp 1.200.000 untuk RW.

Padahal kewajiban itu sangat memberatkan ketua RT/RW. Mereka bukan pegawai kelurahan yang harus selalu standby sepanjang waktu di rumah yang merangkap juga sebagai kantor RT/RW. Para ketua RT/RW di Jakarta kebanyakan masih dalam usia produktif sehingga memiliki pekerjaan utama, entah sebagai pekerja kantoran, pedagang, pegawai swasta, tukang ojek dan  lain-lain. Mereka biasanya berangkat pagi-pagi dan baru pulang sore hari. Tidak heran warga Jakarta (sebenarnya juga di daerah lain), jika akan berurusan dengan ketua RT/RW, pasti dilakukan sore hari atau pagi-pagi sekalian sebelum jam kerja.

“Kalau harus selalu di tempat, berarti kami pegawai Pemda DKI. Tapi gaji kami, lebih rendah dari PPSU (Pekerja Prasarana dan Sarana Umum) yang mencapai Rp 3,1 juta per bulan. Di Jakarta ini sudah tidak ada lagi pegawai maupun pekerja kasar yang digaji di bawah Rp 1,2 juta. Kami bukan budak Ahok,” ujar Ketua RW 12 Kebon Melati Tanah Abang Jakarta Pusat, Agus Iskandar.

Sayangnya ketika mereka menyampaikan keluhan terkait hal tersebut disertai ancaman akan mundur dan memboikot pilkada DKI jika Ahok tidak mau mencabut kewajiban bagi RT/RW tersebut, Ahok langsung “naik darah”. Ahok mempersilahkan ketua RT/RW yang tidak setuju dengan kebijakannya untuk mundur. Ahok balik menuduh banyak ketua RT yang menyewakan lapak kepada pedagang. Bahkan Ahok menduga para ketua RT/RW sebenarnya bukan hendak memboikot pilkada tapi dirinya. "Itu mereka (ketua RT/RW) bukan ancam boikot pilkada, lebih tepatnya saya terjemahin, 'Kita ngancem enggak mau pilih lu (Ahok)'. Itu lebih tepat," kata Ahok seperti dikutip dari kompas.com.

Merasa aspirasinya tidak mendapat tanggapan seperti yang diharapkan, para ketua RT/RW merapat ke DPRD. Ratusan ketua RT/RW itu meminta anggota DPRD DKI Jakarta mendesak Ahok agar mencabut keharusan membuat laporan melalui Qlue. Mereka pun siap untuk mundur jika Ahok tetap keukeuh dengan kebijakannya. “Kami siap mundur jika memang Ahok tidak mau mencabut kebijakannya. Kami merasa terhina banget ketika diperintah Pemprov karena kami bukan pegawainya. Jangan nilai kami seharga Rp 10.000,” tegas Ketua Forum RT dan RW di Cilandak, Amirullah Kadir usai rapat dengan anggota DPRD DKI Jakarta di ruang Komisi A.

Mereka semakin berang ketika Kepala Biro Tata Pemerintahan Bayu Megantara yang hadir dalam rapat tersebut menjelaskan Kementerian Dalam Negeri meminta pertanggungjawaban atas uang operasional, yang diberikan kepada RT dan RW. Dalam satu tahun, Pemprov DKI menyiapkan uang operasional sebesar Rp 540 miliar untuk sekitar 33.000 RT. Dana itulah yang harus dipertanggungjawabkan oleh Pemprov DKI. Selama ini laporan dibuat oleh kelurahan dan setiap semester laporannya bisa 4 sampai 5 rim. Jadi supaya simpel, digunakan laporan RT/RW yang dikirim setiap hari melalui aplikasi Qlue.

“Berarti kami disuruh mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kelurahan dengan gaji Rp 975 ribu? Kami tidak keberatan membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan uang insentif dan laporan terkait tugas-tugas RT/RW. Namun kami tidak mau kalau harus membuat laporan sehari tiga kali karena kami juga punya pekerjaan. Kalau hanya diam diri di rumah, apa cukup uang Rp 975.000 untuk hidup sebulan di Jakarta? Mestinya pemda mikir,” tegas Amirullah Kadir.

Uang Kopi

Dulu pemerintah tidak pernah memberikan uang insentif kepada ketua RT/RW. Mereka bekerja sukarela sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat dan lingkungannya. Biasanya yang dipilih menjadi ketua RT/RW merupakan tokoh masyarakat setempat. Tidak heran jika ada suatu wilayah yang ketua RT-nya tidak pernah diganti karena memang tidak ada warga yang mau memangku jabatan itu atau karena tidak ada tokoh lain yang dianggap tepat oleh warga.

Menjadi ketua RT/RW bukan pekerjaan ringan. Setiap ada kegiatan warga, termasuk hajatan, harus hadir. Belum lagi rapat-ralat di kelurahan. Ketua RT/RW juga harus siap ketika tengah malam rumahnya digedor warganya yang sedang ada masalah. Di saat warga lainnya tengah santai, nonton TV dengan keluarga, ketua RT harus tetap membuka pintu rumahnya untuk melayani warga. Pendapatan ketua RT/RW murni hanya dari sumbangan sukarela warga yang hendak membuat surat pengantar untuk membuat KTP/KK atau surat-surat lainnya di instansi terkait.       

Setelah rezim berganti, sebagai bentuk penghargaan terhadap peran para ketua RT/RW, beberapa pemerintah daerah mulai mengalokasikan anggaran untuk insentif ketua RT/RW. Jumlahnya berbeda-beda. Ada daerah yang memberikan insentif hanya sebesar Rp 100.000 per bulan. Namun ada juga yang mencapai Rp 250.000 per bulan. Selain untuk membantu operasional RT, uang insentif juga dimaksudkan agar warga tidak perlu lagi memberi uang ‘kopi’ kepada ketua RT/RW saat mengurus surat yang diperlukan.

Namun kini keberadaan uang insentif justru menjaid bumerang bagi ketua RT/RW ketika Pemprov DKI Jakarta memberikan tugas tambahan yang dianggap sangat memberatkan. Akankah ketua RT/RW di Jakarta ramai-ramai mundur? Kita tidak ingin hal itu terjadi. Kita berharap Ahok bisa melakukan komunikasi yang lebih tepat agar fungsi RT/RW bisa berjalan, namun penggunaan anggaran yang mencapai ratusan miliar untuk insentif RT/RW juga tepat sasaran dan dapat dipertanggung-jawaban.

Salam @yb  

sumber : 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun