2. membantu kelancaran tugas pokok LKMD atau sebutan lain dalam bidang pembangunan di Desa dan Kelurahan
Dan memiliki fungsi sebagai :
1. pengkoordinasian pelaksanaan tugas RT atau sebutan lain di wilayahnya
2. pelaksanaan dalam menjembatani hubungan antar RT atau sebutan lain dan antar masyarakat dengan Pemerintah
Jadi jelaslah, berdasarkan Keppres tersebut RT/RW tidak memiliki kewajiban untuk membuat laporan harian kepada pemerintah daerah. Sebab keberadaan RT/RW merupakan kesepakatan warga dan para pengurusnya juga dipilih oleh warga. Pihak kelurahan tinggal mengesahkan hasil kesepakatan warga tersebut.
Bagimana di Jakarta? Posisi ketua dan pengurus RT/RW tidak terlalu menarik bagi masyarakat Jakarta. Banyak tokoh masyarakat yang menolak menjadi ketua RT/RW. Pada pemilihan ketua RT tahun 2015 lalu di RT 009 RW 007 Kelurahan Petojo Selatan Gambir Jakarta Pusat, hanya ada dua orang yang mau maju sebagai calon ketua. Bahkan rapat pemilihan ketua RT hanya dihadiri tidak lebih dari 30 orang dari 200 warga yang memiliki hak pilih dan dipilih.
Kebijakan memberi insentif kepada RT/RW di Jakarta dimulai sejak Gubernur Sutiyoso dengan dasar SK Gubernur DKI No 2153 Tahun 2003. Awalnya besarnya insentif bagi ketua RT/RW hanya Rp 150.000 per bulan. Jumlahnya terus meningkat hingga pernah mencapai pada kisaran Rp 500.000 per bulan.
Di awal masa pemerintahannya, Ahok mengeluarkan Pergub Nomor 168 tahun 2014 tentang Pedoman RT RW DKI Jakarta disusul SK Gubernur Nomor 903 tahun 2016 tentang Pemberian Uang Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Rukun Tetangga dan Rukun Warga. Kedua peraturan tersebut kemudian digunakan sebagai dasar kewajiban ketua RT/RW melapor terkait kondisi di lingkungannya melalui aplikasi Qlue. Bahkan Ahok berangan-angan program yang saat ini juga dipakai di Bekasi itu, akan digunakan secara nasional. Sebuah inovasi yang bagus sebagai bagian dari program reaksi cepat pemerintah daerah menanggapi keluhan warganya. Sebab RT/RW yang tahu persis kondisi lingkungannya.
Setiap laporan dihargai Rp 10.000 untuk RT dan Rp 12.500 untuk RW. Selain itu, setiap ketua RT/RW masih mendapat tambahan uang pulsa sebesar Rp 75.000 per bulan. Namun jika dalam sebulan jumlah laporannnya kurang dari 90, maka uang insentifnya tidak bisa diambil. Dengan adanya kewajiban itu ketua RT/RW merasa dirinya dijadikan pegawai Pemda DKI Jakarta namun digaji hanya Rp 975.000 perbulan untuk RT, dan Rp 1.200.000 untuk RW.
Padahal kewajiban itu sangat memberatkan ketua RT/RW. Mereka bukan pegawai kelurahan yang harus selalu standby sepanjang waktu di rumah yang merangkap juga sebagai kantor RT/RW. Para ketua RT/RW di Jakarta kebanyakan masih dalam usia produktif sehingga memiliki pekerjaan utama, entah sebagai pekerja kantoran, pedagang, pegawai swasta, tukang ojek dan lain-lain. Mereka biasanya berangkat pagi-pagi dan baru pulang sore hari. Tidak heran warga Jakarta (sebenarnya juga di daerah lain), jika akan berurusan dengan ketua RT/RW, pasti dilakukan sore hari atau pagi-pagi sekalian sebelum jam kerja.
“Kalau harus selalu di tempat, berarti kami pegawai Pemda DKI. Tapi gaji kami, lebih rendah dari PPSU (Pekerja Prasarana dan Sarana Umum) yang mencapai Rp 3,1 juta per bulan. Di Jakarta ini sudah tidak ada lagi pegawai maupun pekerja kasar yang digaji di bawah Rp 1,2 juta. Kami bukan budak Ahok,” ujar Ketua RW 12 Kebon Melati Tanah Abang Jakarta Pusat, Agus Iskandar.