Dengan langkah tegap sejumlah pengurus Partai Gerindra Jakarta mengunjungi kantor DPD PDI Perjuangan di Tebet Raya Jakarta Selatan. Mereka membawa satu misi: mencari dukungan untuk mengusung Sjafrie Sjamsoeddin sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Tidak lupa, Gerindra pun mempersilakan kader PDIP Djarot Saiful Hidayat untuk menjadi pendampingnya. Dalam konteks politik, langkah Gerindra termasuk tidak etis dan maksa. Jika pun akhirnya terjadi koalisi di antara dua partai pemilik kursi terbesar di DPRD Jakarta, pondasinya sudah rapuh sejak awal sehingga berpotensi pecah di kemudian hari.
DPD Gerindra DKI Jakarta sepertinya tidak belajar dari kasus sebelumnya. Pada pilkada 2012 lalu, Gerindra berkoalisi dengan PDIP untuk mengusung Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang saat itu masih anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI. Setelah resmi menjadi calon wakil gubernur berpasangan dengan kader PDIP Joko Widodo, Ahok keluar dari Golkar dan masuk ke Gerindra.
Hanya bertahan sekitar dua tahun, Ahok yang saat itu sudah dipastikan menjadi Gubenur karena Jokowi terpilih menjadi Presiden, mulai ribut dengan Gerindra. Ahok kemudian benar-benar keluar dari Gerindra menggunakan momentum pembahasan UU Pilkada yang diwacanakan hendak mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Saat itu partai besutan Prabowo Subianto diisukan mendukung penghapusan pilkada langsung, sementara Ahok menolak wacana tersebut.
Kini, menghadapi pilkada DKI 2017, Gerindra kembali mengusung calon non kader. Gerindra tega ‘membuang’ Sandiaga Uno- kader potensialnya yang juga mengincar kursi DKI 1, hanya demi menuntaskan misi balas dendamnya kepada Ahok. Gerindra melupakan tujuan mendirikan partai yakni menyiapkan kader-kadernya sebagai calon pemimpin bangsa. Sangat naif ketika Gerindra memilih Sjafrie Sjamsoeddin dengan alasan elektabilitas karena keduanya sama-sama belum memiliki elektabilitas yang memadai.
Sikap Gerindra semakin aneh ketika mengajak PDIP membangun koalisi untuk menghadapi pilkada DKI setelah pihaknya menetapkan calon gubernur yang akan diusung.
Pertama, Gerindra bukan partai yang dapat mengusung pasangan calon sendiri karena hanya memiliki 15 kursi di DPRD dari 21 kursi yang dibutuhkan. Sementara PDIP dengan 28 kursi yang dimiliki dapat mengusung pasangan calon tanpa perlu berkoalisi. Secara etika, mestinya Gerindra datang dengan menyodorkan calon wakil gubernur, bukan calon gubernur.
Kedua, calon gubernur yang dibawa bukan calon dengan elektabilitas tinggi sebagaimana Prabowo Subianto saat Pilpres 2014 lalu sehingga partai sebesar Golkar pun rela menjadi pendukungnya hanya dengan iming-iming jabatan Menteri Besar untuk ketua umumnya. Sampai hari ini elektabilitas Sjafrie masih jauh di bawah calon petahana.
Bahkan dibanding dengan kader PDIP seperti Djarot sekali pun, elektabilitas Sjafrie masih di bawah. Belum lagi dugaan berbagai pelanggaran HAM di masa lalu. Jangankan membangun citra untuk menaikkan elektabilitas, sekedar untuk menangkis serangan dari para penggiat HAM saja bakal kedodoran.
Ketiga, kader-kader Gerindra di level nasional masih belum ‘akur’ dengan penggede PDIP. Meski hal itu bukan ganjalan utama, namun tetap saja akan berimbas ke bawah. Apakah mungkin Megawati mau sepanggung dengan Prabowo untuk menjadi juru kampanye bagi pasangan hasil koalisi Gerindra-PDIP setelah keduanya terlibat perseteruan terbuka terkait Perjanjian Batutulis menjelang pilpres kemarin?
Dari gambaran di atas, koalisi maksa ala Gerindra berpotensi layu sebelum berkembang. Koalisi itu hanya mungkin terlaksana jika:
- Gerindra menyodorkan wakil gubernur.
- Gerindra mampu meyakinkan PDIP untuk menarik Partai Demokrat atau Golkar ke dalam koalisi. Hal ini penting untuk meminimalisir jumlah calon peserta pilkada DKI.
- Prabowo melakukan pertemuan langsung dengan Megawati.
- Hasil survei internal PDIP menunjukkan elektabilitas Ahok hanya bubble hasil rekayasa lembaga survei. Artinya Ahok masih mungkin dikalahkan oleh calon dengan kualitas “sedang-sedang saja”.
Internal PDIP Menolak