Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Aroma Busuk di Balik Kebijakan Impor Bawang Merah

25 Mei 2016   08:56 Diperbarui: 25 Mei 2016   20:05 1893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - bawang merah (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Kritik keras Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terhadap Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno yang dinilai telah menjadikan BUMN layaknya perusahaan swasta, semakin terbukti dalam kasus impor bawang merah. Rini memaksa dibukanya kran impor bawang merah di tengah surplus produksi di dalam negeri. Kebijakan itu akan mengguncang tata kelola impor bawang yang susah payah telah dibangun Kementerian Pertanian dalam dua tahun terakhir.

Kengototan Rini untuk membuka kran impor impor bawang patut dicurigai sebagai pesanan pihak tertentu yang dirugikan akibat membaiknya tata kelola komoditi bawang merah. Mafia impor bawang merah yang selama bertahun-tahun menikmati keuntungan merasa terusik dengan berbagai gebrakan yang dilakukan Kementan. Pembukaan lahan baru, pola tanam bergantian antar daerah untuk menjaga agar harga komoditi tersebut tidak jatuh akibat over supply di pasar, serta memangkas sistem distribusi yang terlalu panjang, berhasil meningkatkan harga bawang merah di tingkat petani. Dalam satu tahun terakhir petani bawang bawang merasakan kehadiran pemerintah sehingga perlahan taraf kehidupan mereka membaik.

Rupanya kebijakan Kementan tersebut membuat mafia impor bawang merah kelimpungan. Tercatat ekspor tahun 2015 meningkat hingga 219 persen menjadi 14.149 ton dibanding ekspor tahun sebelumnya yang hanya 4.439 ton. Sementara pada tahun yang sama impor bawang merah turun dratis dari 87.526 ton pada 2014 menjadi tinggal 15.769 ton pada 2015. Hal itu disebabkan karena produksi bawang merah tahun 2015 mencapai 1,265 juta ton sementara kebutuhan dalam negeri hanya 947.385 ton. Untuk tahun 2016, Kementan menargetkan produksi bawang merah dalam negeri sebesar 1,291 juta ton dengan kebutuhan konsumen di kisaran 950 ton.

Dari angka-angka itu, tidak berlebihan jika sejak awal tahun 2016 Kementan berani mencanangkan untuk menutup kran impor bawang merah. Petani bawang merah pun gembira karena harga jual di tingkat petani mencapai Rp 15.000-20.000/kg. Harga itu jauh lebih baik dibanding harga di tahun-tahun sebelumnya ketika terjadi panen raya.

Bukan rahasia lagi jika harga komoditi pertanian seperti bawang, menjadi mainan para spekulan dan distributor nakal. Panjangnya rantai distribusi membuat disparitas harga komoditi pertanian di tingkat petani dengan di pasaran sangat lebar. Sebagai contoh, saat ini harga bawang merah varietas super seperti bali karet dan bawang sumenep, di tingkat petani pada kisaran Rp 15.000/kg setelah sebelumnya mencapai Rp 20.000/kg. Namun di pasaran harganya masih tetap di kisaran Rp 38.000-41.000/kg.

Dari fakta-fakta itu, ketika pemerintah hendak menurunkan harga bawang merah di tingkat konsumen, sebenarnya tinggal memangkas peran middle man yang membuat sistem distribusi menjadi sangat panjang dan mahal. Setelah berhasil membenahi infrastruktur pertanian dan mengatur pola tanam secara bergantian antar kelompok tani, Kementan tinggal merampingkan distribusinya. Zonasi menjadi salah satu alternatif untuk menekan biaya. Misalnya bawang merah produksi Brebes dan Cirebon dilarang dibawa keluar Jawa, terutama daerah-daerah yang berdekatan dengan sentra bawang merah di luar pulau Jawa seperti Nusa Tenggara. Demikian juga bawang merah asal BIma, tidak perlu masuk ke pasar Jabodetabek. Pemerintah juga bisa mengaktifkan Bulog untuk menyerap bawang merah dari petani untuk kemudian didistribusikan sesuai permintaan pasar.

Jika saat ini kondisinya mendesak karena menjelang Ramadhan, pemerintah masih bisa mengambil langkah darurat seperti operasi pasar di daerah-daerah dengan lonjakan harga bawang merah di atas kewajaran. Faktanya harga tinggi itu hanya terjadi di Pasar Induk Kramatjati dan daerah sekitarnya. Di daerah lain, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Bojonegoro, harganya sudah stabil pada kisaran Rp 19.000-20.000/kg.

Boneka Mafia

Lalu mengapa Menteri BUMN begitu ngotot ingin membuka kran impor bawang merah? Pertama, Rini mendapat tekanan dari mafia pengimpor bawang merah yang ada di sekelilingnya. Hal itu bisa ditelusuri karena sejak Mentan Amran Sulaiman merilis adanya surplus produksi bawang merah tahun 2015 sebesar 318.325 ton yang menjadi dasar penutupan kran impor bawang merah tahun 2016, berhembus kencang isu akan terjadinya kelangkaan bawang merah mulai Maret 2016. Isu itu hanya berselang beberapa hari sejak keluar rilis Mentan tanggal 29 Januari 2016. Padahal saat rilis dibuat, harga bawang merah sangat stabil dan stok juga cukup.

Artinya, kelompok importir bawang merah yang dirugikan oleh kebijakan Mentan, sudah langsung mencanangkan perlawanan secara sistematis. Dengan adanya isu kelangkaan, beberapa distributor otomatis menahan bawang merahnya untuk menunggu momen lonjakan harga sehingga mendapat untung berlipat-lipat, sekaligus memaksa pemerintah untuk kembali membuka kran impor bawang merah. Terbukti kemudian, memasuki bulan April harga bawang merah mulai naik dan terus meroket hingga Mei. Jika tidak ada upaya dari pemerintah melalui operasi pasar, dikuatirkan saat memasuki bulan Ramadhan, Juni mendatang, harga bawang merah di pasar Jakarta dan sekitarnya akan menembus Rp55.000-60.000/kg. Padahal Presiden Jokowi sudah menginstruksikan agar sebelum memasuki Ramadhan harga bawang merah bisa ditekan pada kisaran Rp 20.000/kg.   

Tekanan importir bawang merah- tentunya disertai dengan iming-iming tertentu (ingat kasus impor daging sapi yang menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq) tidak menggoyahkan Mentan. Berulangkali Mentan dan jajarannya mengatakan tidak akan merestui impor bawang merah. Para mafia ini pun akhirnya beralih ke Menteri BUMN yang selama ini kebijakannya sangat pro pengusaha sampai-sampai Megawati mengingatkan Rini agar mengembalikan tata kelola BUMN sesuai semangat Pasal 33 UUD 1945 yakni menjadi salah satu soko guru perekonomian nasional.

Seperti yang diduga, Rini pun merespon dengan baik keinginan para importir bawang merah. Dalam rapat di Kemenko Perekonomian, diputuskan untuk membuka kran impor bawang merah sebanyak 2.500 ton. Padahal Menko Perekonomian Darmin Nasution usai rapat dengan Menteri BUMN, Menteri Perdagangan Thomas Limbong, Menteri Perindutrian Saleh Husin dan Kepala Staf Presiden Teten Masduki- minus Mentan, mengakui saat ini sudah terjadi sedikit penurunan harga bawang. Namun anehnya, pemerintah tetap menganggap perlu dilakukan impor karena waktunya sangat mendesak. Mentan yang semula ngotot menolak kebijakan Menko Perekonomian, tengah malam kemarin akhirnya mengalah. Meski begitu Amran menegaskan pihaknya tidak mau terlibat dalam impor bawang merah dan menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri BUMN.

Kedua, Rini sengaja ingin menggagalkan konsep ekonomi kerakyatan yang menjadi pilar utama kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo. Sebagai pebisnis, RIni menganggap pemerintah tidak cukup hanya menjadi regulator, namun juga pemain aktif dengan tujuan mengambil keuntungan. BUMN diperlakukan sebagai korporasi swasta yang mengedepankan pendekatan bisnis semata, sebagaimana disinggung Megawati.

Ketiga, Rini tengah bermain aman agar dirinya tidak masuk radar reshuffle. JIka sampai terjadi lonjakan harga-harga pangan selama bulan Ramadhan sehingga tidak sesuai dengan amanat Presiden Jokowi, maka Kementerian BUMN sebagai salah satu pengendali harga melalui BUMN-BUMN terkait seperti Bulog, akan mendapat sorotan tajam. Bukan tidak mungkin Rini akan dicopot usai lebaran Idul Fitri. Hal itu yang kemudian mendorong Rini untuk melakukan berbagai cara, termasuk ‘membunuh’ petani bawang merah, agar posisinya aman.

Apapun alasannya, kebijakan impor bawang merah di tengah surplus produksi menggambarkan buruknya manajemen kementerian-kementerian di bawah Kemenko bidang Perekonomian. Revolusi mental mestinya diterapkan terlebih dahulu pada menteri-menteri yang memegang peranan strategis karena langsung berhubungan dengan hajat masyarakat kecil. Pemerintah harus hadir secara nyata, memberikan perlindungan kepada kaum tani, buruh, nelayan, dan kelompok masyarakat marjinal lainnya yang selama ini tidak berdaya menghadapi mafia pasar. Jika persoalan ini saja tidak dapat diatasi, jangan dulu berbicara muluk-muluk tentang daya saing di tingkat regional.

Salam @yb

Artikel terkait : Loh, Kok Impor Bawang Merah

Sumber : 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun