Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menguji Klaim Ahok Soal Dukungan Megawati

23 Mei 2016   15:55 Diperbarui: 23 Mei 2016   21:28 4640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu alasan calon petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) memilih jalur independen (perseorangan) adalah dirinya tidak mau mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk menggerakan mesin partai. Berulangkali, dengan bangga Ahok mengatakan dirinya tidak pernah mengeluarkan uang untuk mengumpulkan copy KTP dukungan karena sudah dikerjakan oleh temanahok- organisasi pendukung Ahok, termasuk mencari dananya melalui penjualan merchandise.

Ahok tentu bukan asal njeplak. Ahok mempunyai hitungan tersendiri. "Saya buka aja. Partai kan selalu berpikir harus menggerakkan mesin partai. Parpol enggak minta mahar loh, tapi cuma minta anak cabang rantingnya bergerak. Kalau 1 bulan Rp 10 juta, 267 kelurahan belum lagi kotanya, kecamatan, itu bisa Rp 2,67 miliar sebulan. Belum kecamatan. Kalau 10 bulan berarti Rp 26 miliar, belum lagi saksi, ini baru 1 partai lho," kata Ahok seperti dikutip dari Liputan 6.

Namun anehnya bin ajaib, setelah Ahok mendeklarasikan pencalonannya melalui jalur independen berpasangan denganKepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah DKI Jakarta Heru Budi Hartono, sejumlah partai yang menawarkan diri penjadi pendukungnya. Diawali oleh Partai Nasdem, Partai Hanura kemudian menyusul. Tidak lama setelah itu Ahok mengklaim akan didukung oleh PAN dan PKB. “Saya sudah ketemu sama Pak Zulkifli. Beliau juga mau dukung,” kata Ahok seperti dikutip di sini Pos Kota.

Namun hingga hari ini baik PAN maupun PKB belum menunjukkan sinyal dukungan untuk Ahok. PAN malah semakin getol ‘menjual’ bupati Bojonegoro Suyoto alias Kang Yoto. Punggawa PAN dari mulai Amien Rais sampai Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan terlihat antusias menyiapkan Kang Yoto sebagai penantang Ahok. Bahkan Amien Rais mulai menyerang dengan menyebut Ahok tidak pantas menjadi gubernur.

Terakhir Ahok mengklaim didukung oleh kader-kader Partai Golkar dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Klaim atas Golkar banyak diamini karena faktor kedekatan Ahok dengan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Sebagai mantan kader Golkar, Ahok juga memiliki link dengan sejumlah punggawa Partai Beringin. Namun tidak demikian halnya dengan klaim dukungan Megawati. Mengapa?

Pertama, saat ini PDIP sudah melakukan penjaringan bakal calon di mana Ahok tidak ikut mendaftar. Artinya ahok tidak mengikuti mekanisme partai. Sepanjang sejarah PDIP, jarang sekali Megawati memberikan rekomendasi calon kepala daerah yang tidak ikut proses penjaringan, kecuali untuk calon yang berasal dari internal.

Megawati pernah menggunakan hak prerogatifnya ketika memutuskan untuk mencalonkan Joko Widodo dalam Pilgub DKI Jakarta 2010. Sebab jika jika sampai PDIP mengusung Ahok dalam Pilgub DKI 2017 mendatang, padahal yang bersangkutan tidak mendaftar dalam bursa penjaringan bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, berarti Megawati melanggar aturan PDIP. Terkait hal ini Ketua DPD PDI-P DKI Jakarta Bambang Dwi Hartono pernah menegaskan, partainya tidak mungkin  mengusung calon di luar yang sudah diseleksi kecuali jika yang bersangkutan kader partai.   

Kedua, hubungan Ahok dan Megawati yang belakangan kurang harmonis. Tentu kita masih ingat insiden dalam acara peluncuran buku “Menangis & Tertawa Bersama Rakyat” yang berisi kumpulan tulisan sejumlah wartawan senior yang pernah meliput kegiatan Megawati, beberapa waktu lalu. Saat itu Megawati terlihat ‘marah’ melihat kedatangan Ahok.

Megawati meminta Ahok bersikap jantan. Ucapan Megawati merujuk pada lambang PDIP yang diplesetkan Teman Ahok sebagai banteng penyihir. Artinya jika memang Ahok sudah memilih jalur independen, mestinya Ahok bisa bersikap jantan dengan tidak membentuk opini masyarakat yang menyudutkan partai politik.

Pernyataan soal mahar untuk partai politik, biaya yang harus dikeluarkan untuk menggerakkan mesin partai hingga ke tingkat ranting sambil menyanjung jalur independen yang (seolah) tanpa biaya, jelas-jelas upaya deparpolisasi dan mendiskreditkan eksistensi partai politik. Megawati juga melarang Ahok ikut saweran yang digagaskan dalam acara peluncuran buku itu sebagai balasan atas ucapan Ahok yang selalu mengatakan dirinya tidak mau mengeluarkan duit untuk partai politik. Selengkapnya baca di sini.

Ketiga, gengsi politik. Tidak mungkin PDIP akan mengorbankan kepercayaan para pendukungnya. Jika PDIP hanya menjadi ‘cheerleaders’ dalam kontestasi Pilgub DKI 2017, berarti PDIP mengabaikan suara rakyat yang telah memenangkan PDIP pada Pemilu 2014 lalu. Beda halnya jika PDIP menjadi pengusung pasangan Ahok-Heru.

Seperti berulangkali ditegaskan Ahok, pengusung dirinya temanahok, dan partai-partai yang bergabung hanya menjadi pendukung. Sehingga ketika ada partai yang ingin menjadi pendukungnya harus melalui persetujuan temanahok. Mungkinkah PDIP (baca: Megawati) mau meminta izin kepada temanahok untuk ikut menjadi pengusung Ahok?

Keempat, proses penjaringan yang dilakukan DPD PDIP Jakarta sudah memasuki tahap fit and proper test. Jika tiba-tiba PDIP mendukung Ahok, kredibilitasnya pasti hancur. Tingginya antusiasme tokoh yang mendaftar dalam penjaringan bakal calon disebabkan karena PDIP merupakan satu-satunya partai yang bisa mengusung calon sendiri dalam Pilgub DKI 2017. Jika kemudian PDIP tidak memanfaatkan keunggulan itu, malah hanya memilih menjadi pendukung, bukan pengusung, tentu akan menjadi tragedi politik dan pendorong deparpolisiasi yang sesungguhnya.    

Kelima, PDIP memiliki kader-kader yang diyakini mampu menyaingi elektabilitas Ahok. Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Bambang DH adalah contoh beberapa kader yang bisa dipoles oleh PDIP untuk menjadi penantang Ahok. Sebagai partai kader, PDIP jelas akan lebih mendorong kadernya untuk merebut jabatan politik di setiap daerah. Jika Risma keluar dari Surabaya, PDIP tetap akan bisa memegang kota itu dengan mengajukan gantinya kepada Mendagri, sebagaimana dulu Djarot menggantikan Jokowi di DKI. Apalagi wakil Risma yakni Whisnu Sakti Buana, merupakan kader PDIP, sehingga tidak akan ada masalah.  

Dari lima poin tersebut, menjadi aneh ketika Megawati memberikan dukungan pada Ahok pada Pilgub 2017 mendatang. Yang ada PDIP tetap akan mengusung calon sendiri untuk melawan Ahok. Namun jika elektabilitas Ahok dinilai terlalu tinggi, kemungkinan PDIP akan bergabung dengan Gerindra dan PKS untuk mengusung Sjafrie Sjamsoeddin. PDIP tinggal menyetorkan nama calon wakilnya antara Djarot, Bambang DH atau Boy Sadikin.

Jadi klaim Ahok dirinya didukung Megawati seperti dibaca di sini rasanya jauh panggang dari api. Entah jika itu hanya cerminan keinginan Ahok sendiri.  

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun