Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerakan Buruh Indonesia; Meniru Langkah Gagal Para Pendahulu

1 Mei 2016   03:54 Diperbarui: 1 Mei 2016   12:02 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejarah perjuangan kaum buruh yang terentang dari abad 18 hingga hari ini, tidak pernah beranjak dari tuntutan paling mendasar: kesejahteraan. Pertentangan buruh dengan pemilik modal yang (sebagian) juga pemegang kendali politik, adalah pertentangan kelas sosial sehingga tidak akan pernah berakhir. Dengan pemahaman itu, maka memenuhi tuntutan buruh ibarat minum air laut- semakin diminum semakin merasa haus. Mengapa?

Tuntutan buruh selalu berkelindan dengan kepentingan politik para penggeraknya. Buruh dengan keluguannya menerima dogma tentang hak-hak istimewa sebagai buruh yang layak diperjuangkan, sementara para pemimpin buruh menggunakan isu buruh untuk merebut kekuasaan. Tidak heran, banyak aturan yang menguntungkan buruh justru ditolak oleh serikat-serikat buruh. Sebab dengan menerima aturan tersebut, para pemimpin buruh akan kehilangan isu-isu seksi sebagai perekat perjuangan.

Pemimpin buruh akan mendorong buruh untuk menuntut apa saja, bahkan yang paling tidak mungkin akan dipenuhi oleh pengusaha. Munculnya tuntutan uang kosmetik, ongkos nonton film, hingga biaya karaoke, adalah tuntutan-tuntutan yang mendapat dukungan penuh para pimpinan serikat buruh. Tuntutan itu didasarkan atas nama persamaan hak karena setelah bekerja mati-matian demi kemakmuran pemilik modal, buruh pun berhak untuk mendapatkan biaya perawatan tubuh dan refreshing sebagaimana yang biasa dilakukan oleh pemilik pabrik/usaha tempat mereka bekerja. Semakin absurd tuntutan buruh, semakin seksi untuk dijadikan alat pengikat perjuangan. Sebab tuntutan tersebut pasti tidak dipenuhinya sehingga para pemimpin serikat buruh memiliki panggung yang lebih luas untuk tujuan-tujuan politiknya, di luar kepentingan buruh. Tidak berlebihan jika kemudian muncul tudingan sinis bahwa para pemimpin buruh bergembira ria, menari-nari, beralas cucuran darah dan keringat buruh.

Kini, para pimpinan lintas serikat pekerja mewacanakan untuk mendeklarasikan ormas baru tepat pada saat perayaan Hari Buruh (May Day) 1 Mei 2016 ini. Menurut Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal, Gerakan Buruh Indonesia (GBI) yang akan dideklarasikan merupakan wadah politik kaum buruh. Dalam perkembangannya, GBI juga akan membentuk sayap politik untuk menampung aspirasi dari kelompok lain di luar buruh seperti guru, petani, dan nelayan.

Meski GBI mendapat dukungan lintas serikat pekerja, namun sulit disangkal pada akhirnya GBI hanya perahu politik seorang Said Iqbal. Meski membantah menjadi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Said Iqbal diketahui pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPR Pemilu 2009 lalu. Said yang ikut bertarung di daerah pemilihan Kepulauan Riau dengan nomor urut 2 dicalonkan oleh PKS yang saat itu membuka kesempatan kepada siapa saja untuk maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus menjadi kader partai.      

Terlepas apakah benar Said Iqbal kader PKS atau bukan, namun fakta bahwa yang bersangkutan pernah nyaleg, menguatkan asumsi bahwa Said Iqbal memiliki tujuan politik sendiri dibalik kegigihannya dalam memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh. Tentu hal itu tidak haram. Karir politik bisa dibangun dengan berbagai jalan, termasuk pergerakan. Namun menyembunyikan agenda lain untuk kepentingan diri sendiri dalam sebuah gerakan solidaritas, yang dibangun dan dipupuk atas dasar kebersamaan, hanya akan berujung pada kesia-siaan.   

Jalan Politik

Sejarah mencatat, banyak pemimpin buruh akhirnya masuk ke wilayah politik praksis. Sebagian sukses, lainnya gagal menapaki karir politik yang dirintis dari jalanan itu.

Namun di Indonesia, sejarah perjuangan kaum buruh untuk bisa menguasai parlemen dengan mengusung misi membuat undang-undang yang berpihak kepada kaum buruh, adalah sejarah kegagalan berlumur darah. Terlebih di era 60-an di mana buruh ‘diperalat’ untuk kepentingan politik praksis oleh banyak partai politik, terutama PKI. Banyak kaum buruh yang tidak tahu-menahu urusan politik, tiba-tiba mendapati dirinya sudah menjadi bagian dari partai politik hanya karena ikut pawai atau hadir dalam pertemuan yang diadakan di pabrik tempatnya bekerja.

Setelah dikekang oleh rezim Soeharto,  kaum buruh kembali mendapat tempat di masa reformasi. Buruh diperbolehkan untuk membentuk serikat kerja, organisasi buruh, atau kelompok-kelompok lainnya sebagai wadah perjuangan demi mencapai tujuan hakiki: kesejahteraan.

Era reformasi juga ditandai dengan munculnya partai-partai buruh baik yang menggunakan nama secara langsung maupun mencatut buruh dalam visinya. Partai Buruh Nasional (PBN) pimpinan Muchtar Pakpahan adalah contoh partai yang  langsung menggunakan nama buruh. PBN sempat mengikuti Pemilu 1999, namun tidak ada satu pun kadernya yang lolos ke Senayan. Meski  sempat berganti-ganti nama hingga bisa mengikuti Pemilu 2004 dan 2009, namun tetap gagal menempatkan kadernya di DPR. .

Faktor kegagalan PBN, bukan semata-mata karena ketidaktahuan kaum buruh pada platform partai ini, apalagi tokoh yang mendirikannya. Di masa Soeharto hingga awal reformasi, nama Muchtar Pakpahan setara dengan tokoh reformasi dan tokoh pergerakan lainnya. Jangan tanya juga soal keberaniannya dalam melakukan kritik terhadap Soeharto. Ia harus menghadapi berbagai macam teror, dan rela keluar-masuk penjara demi mengangkat citra dan kesejahteraan kaum buruh.

Namun tidak disangka, pada Pemilu 1999, PBN hanya meraup 140.980 suara atau 0,13%. Pada Pemilu 2004 setelah berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat, hanya meraih 636.397 suara atau 0,56% dan pada Pemilu 2009- setelah memakai nama Partai Buruh, diperolehan suaranya justru merosot hingga tinggal 265.203 suara atau 0,25%.

Bahwa saat itu ada banyak partai yang juga memakai label buruh, bukan alas pembenar kekalahan PBI. Faktanya partai-partai sejenis yakni Partai Pekerja Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja, dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia juga gagal meraih dukungan signifikan.Nasib partai-partai yang menyasar suara kaum buruh itu tidak seindah Partai Buruh yang mengikuti Pemilu 1955. Partai pimpinan Prof. S.M. Abidin itu ternyata bisa mendapatkan dua kursi di DPR dan lima kursi di Konstituante.

Lalu bagaimana peluang partai buruh bentukan Said Iqbal yang dideklarasikan dengan label ormas GBI? Meski masyarakat Indonesia sangat permisif terhadap hal-hal baru, termasuk partai politik, namun diperkirakan nasibnya tidak akan berbeda dengan partai-partai yang lahir di era reformasi. GBI hanya akan menambah monumen kegagalan partai-partai buruh. Mengapa?

Pertama, kesalahan dalam memetakan kekuatan. Said Iqbal dan teman-temannya masih terjebak pola pikir para pendahulunya bahwa buruh pasti akan memilih partai buruh. Dengan basis pemikiran seperti itu, mereka berfantasi partainya akan didukung oleh sekian puluih juta buruh. Target perolehan suaranya didasarkan pada jumlah buruh yang ada dalam catatan mereka, semisal aktif dalam kegiatan demo. Padahal, buruh yang ikut bergerak pada momen-momen tertentu, semisal perayaan May Day, belum tentu sejalan dengan pandangan politik para pemimpinnya. Sebagian dari mereka hanya ingin menyuarakan harapannya tanpa peduli apakah akan dipenuhi atau tidak oleh penguasa dan pemilik modal. Sebagian lainnya terpaksa ikut demo supaya tidak dikucilkan. Sementara sisanya menganggap aktifitas itu sebagai tamasya di hari libur.

Kedua, menempatkan buruh sebagai objek, bukan subjek partai. Dalam forum-forum diskusi dan laporan keuangan serikat buruh, pemimpin serikat buruh selalu mengklaim telah melakukan banyak hal, sementara para buruh merasa tidak mendapatkan manfaatnya sama sekali. Satu-satunya perubahan yang berhasil dilakukan oleh para pemimpin serikat buruh adalah menaikkan jumlah iuran anggotanya, sementara kondisi buruh tetap saja sama seperti sebelum ada serikat pekerja di tempatnya bekerja. Jika ukurannya hanya kenaikan gaji, bukankah tanpa kehadiran serikat pekerja pun, gaji buruh pasti naik mengikuti kenaikan harg-harga kebutuhan pokok?

Hal yang sama dilakukan dalam pembentukan partai buruh. Said Iqbal dan teman-temannya hanya melakukan klaim sepihak bahwa buruh memerlukan perwakilan di DPR/DPRD untuik membuat undang-undang dan mengawal kebijakan pemerintah yang pro buruh. Padahal faktanya tidak demikian. Buruh,- terlebih saat ini, tidak percaya jalan politik akan membawa mereka pada kesejahteraan. Mayoritas buruh tidak peduli siapa yang akan menjadi wakil mereka di DPR/DPRD. Tidak percaya? Silahkan lakukan survei tertutup dengan satu pertanyaan: apakah buruh butuh partai politik sendiri.

Ketiga, partai buruh sulit melepaskan diri dari cap negatif terkait ideologi dan perjuangannya. Keberadaan organisasi buruh selalu mengingatkan masyarakat pada peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu. Ideologi partai buruh dianggap berkelindan dengan ideologi komunis-  yang oleh sebagian besar masyarakat,Indonesia, termasuk buruh itu sendiri, dianggap sebagai ideologi anti Tuhan. Tegasnya, sekali pun partai buruh dipimpin oleh pemuka agama, tetap saja sulit untuk membuang stigma tersebut.

Itu sebabnya masyarakat yang begitu trauma dengan hal-hal berbau PKI- meski sebagian cerita tentang kekejaman PKI hasil racikan rezim Soeharto, akan menolak partai yang dianggap kekiri-kirian.

Selamat Hari Buruh

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun