Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerakan Buruh Indonesia; Meniru Langkah Gagal Para Pendahulu

1 Mei 2016   03:54 Diperbarui: 1 Mei 2016   12:02 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Faktor kegagalan PBN, bukan semata-mata karena ketidaktahuan kaum buruh pada platform partai ini, apalagi tokoh yang mendirikannya. Di masa Soeharto hingga awal reformasi, nama Muchtar Pakpahan setara dengan tokoh reformasi dan tokoh pergerakan lainnya. Jangan tanya juga soal keberaniannya dalam melakukan kritik terhadap Soeharto. Ia harus menghadapi berbagai macam teror, dan rela keluar-masuk penjara demi mengangkat citra dan kesejahteraan kaum buruh.

Namun tidak disangka, pada Pemilu 1999, PBN hanya meraup 140.980 suara atau 0,13%. Pada Pemilu 2004 setelah berganti nama menjadi Partai Buruh Sosial Demokrat, hanya meraih 636.397 suara atau 0,56% dan pada Pemilu 2009- setelah memakai nama Partai Buruh, diperolehan suaranya justru merosot hingga tinggal 265.203 suara atau 0,25%.

Bahwa saat itu ada banyak partai yang juga memakai label buruh, bukan alas pembenar kekalahan PBI. Faktanya partai-partai sejenis yakni Partai Pekerja Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja, dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia juga gagal meraih dukungan signifikan.Nasib partai-partai yang menyasar suara kaum buruh itu tidak seindah Partai Buruh yang mengikuti Pemilu 1955. Partai pimpinan Prof. S.M. Abidin itu ternyata bisa mendapatkan dua kursi di DPR dan lima kursi di Konstituante.

Lalu bagaimana peluang partai buruh bentukan Said Iqbal yang dideklarasikan dengan label ormas GBI? Meski masyarakat Indonesia sangat permisif terhadap hal-hal baru, termasuk partai politik, namun diperkirakan nasibnya tidak akan berbeda dengan partai-partai yang lahir di era reformasi. GBI hanya akan menambah monumen kegagalan partai-partai buruh. Mengapa?

Pertama, kesalahan dalam memetakan kekuatan. Said Iqbal dan teman-temannya masih terjebak pola pikir para pendahulunya bahwa buruh pasti akan memilih partai buruh. Dengan basis pemikiran seperti itu, mereka berfantasi partainya akan didukung oleh sekian puluih juta buruh. Target perolehan suaranya didasarkan pada jumlah buruh yang ada dalam catatan mereka, semisal aktif dalam kegiatan demo. Padahal, buruh yang ikut bergerak pada momen-momen tertentu, semisal perayaan May Day, belum tentu sejalan dengan pandangan politik para pemimpinnya. Sebagian dari mereka hanya ingin menyuarakan harapannya tanpa peduli apakah akan dipenuhi atau tidak oleh penguasa dan pemilik modal. Sebagian lainnya terpaksa ikut demo supaya tidak dikucilkan. Sementara sisanya menganggap aktifitas itu sebagai tamasya di hari libur.

Kedua, menempatkan buruh sebagai objek, bukan subjek partai. Dalam forum-forum diskusi dan laporan keuangan serikat buruh, pemimpin serikat buruh selalu mengklaim telah melakukan banyak hal, sementara para buruh merasa tidak mendapatkan manfaatnya sama sekali. Satu-satunya perubahan yang berhasil dilakukan oleh para pemimpin serikat buruh adalah menaikkan jumlah iuran anggotanya, sementara kondisi buruh tetap saja sama seperti sebelum ada serikat pekerja di tempatnya bekerja. Jika ukurannya hanya kenaikan gaji, bukankah tanpa kehadiran serikat pekerja pun, gaji buruh pasti naik mengikuti kenaikan harg-harga kebutuhan pokok?

Hal yang sama dilakukan dalam pembentukan partai buruh. Said Iqbal dan teman-temannya hanya melakukan klaim sepihak bahwa buruh memerlukan perwakilan di DPR/DPRD untuik membuat undang-undang dan mengawal kebijakan pemerintah yang pro buruh. Padahal faktanya tidak demikian. Buruh,- terlebih saat ini, tidak percaya jalan politik akan membawa mereka pada kesejahteraan. Mayoritas buruh tidak peduli siapa yang akan menjadi wakil mereka di DPR/DPRD. Tidak percaya? Silahkan lakukan survei tertutup dengan satu pertanyaan: apakah buruh butuh partai politik sendiri.

Ketiga, partai buruh sulit melepaskan diri dari cap negatif terkait ideologi dan perjuangannya. Keberadaan organisasi buruh selalu mengingatkan masyarakat pada peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu. Ideologi partai buruh dianggap berkelindan dengan ideologi komunis-  yang oleh sebagian besar masyarakat,Indonesia, termasuk buruh itu sendiri, dianggap sebagai ideologi anti Tuhan. Tegasnya, sekali pun partai buruh dipimpin oleh pemuka agama, tetap saja sulit untuk membuang stigma tersebut.

Itu sebabnya masyarakat yang begitu trauma dengan hal-hal berbau PKI- meski sebagian cerita tentang kekejaman PKI hasil racikan rezim Soeharto, akan menolak partai yang dianggap kekiri-kirian.

Selamat Hari Buruh

Salam @yb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun