Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Catat! Tanah Negara Boleh Menjadi Hak Milik

28 April 2016   17:21 Diperbarui: 29 April 2016   08:15 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasar ikan Luar Batang. Kompas.com/David Oliver Purba

Polemik status tanah Kampung Luar Batang Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara  antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (ahok) dengan warga setempat yang diwakili oleh pengacara senior Yusril Ihza Mahenda (YIM) dipastikan akan berakhir tragis. 

Sadar akan kalah jika kasus tersebut dibawa ke pengadilan, Ahok menunda rencana penggusuran dengan alasan belum tersedianya rusun sewa bagi warga korban gusuran. Sementara warga (baca: YIM) belum bisa mengajukan gugatan sepanjang belum ada proses penggusuran, seperti surat pemberitahuan akan dilakukan penggusuran.  

Ahok akan mencari momentum yang tepat- semisal terjadi keracunan massal dari ikan yang dikonsumsi warga, untuk melakukan penggusuran. Tabrakan maut yang dijadikan landasan penggusuran warga Kalijodo dan penangkapan pengemis sebagai alasan pencabutan 3 in1, adalah dua contoh kebijakan reaktif Ahok dalam membenahi Jakarta. Pola seperti itu dinilai efektif karena tidak memberikan kesempatan kepada warga untuk bernegoisasi, menolak, apalagi menggugat.

Sebab sekali pun dilakukan gugatan perwakilan (class action) ke PTUN, putusan hakim biasanya didasarkan pada realita di lapangan. Artinya bisa saja hakim memenangkan gugatan warga, namun tidak memerintahkan kepada tergugat untuk mengembalikan ke kondisi awal sebelum penggusuran. 

Dengan posisi seperti itu, proses selanjutnya akan dilakukan di luar pengadilan di mana titik bahasannya bukan lagi soal penolakan penggusuran tetapi besaran ganti rugi atas tanah tersebut. 

Jika ilustrasi itu diterapkan untuk kasus Luar Batang, maka pemenang sejatinya tetap pemerintah daerah. Bukankah sejak awal Pemda DKI Jakarta (baca: Ahok)  sudah siap membeli tanah yang memiliki sertifikat, namun ditolak karena warga enggan digusur?

Kasus ini berbeda dengan kasus gugatan warga Bidara Cina Jakarta Timur, terhadap Pemprov DKI Jakarta terkait sodetan kali Ciliwung Kanal Banjir Timur (KBT). 

Warga mendasarkan gugatannya pada rencana kebijakan yang sudah tertulis/menjadi keputusan yakni Surat Keputusan (SK) Nomor 2779 Tahun 2015 tentang memperluas area garapan proyek Sodetan Kali Ciliwung dari sebelumnya 6.000 meter persegi menjadi 10.000 meter persegi. Ketika dalam putusannya hakim memenangkan gugatan warga, pemda pun tidak bisa berbuat apa-apa karena penggusuran belum dilakukan.

Ada pendapat yang mengatakan Ahok kalah di Bidara Cina karena lahan yang dikuasai warga bukan milik negara. Sedangkan lahan di Kalijodo, Kampung Pulo, Pasar Ikan, dan Luar Batang milik negara sehingga Ahok tidak akan kalah. 

Pendapat itu jelas keliru karena dengan mudah akan dipatahkan melalui dalil sebagaimana dikatakan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Ferry Mursyidan Baldan bahwa lahan negara yang telah dikuasai oleh warga selama minimal 10 tahun, bisa diajukan sebagai hak milik.

Bahkan menurut Ferry, seperti dikutip Kompas.com, ketika tanah negara tidak diurus oleh pemerintah maka warga yang menduduki lahan tersebut tidak bisa disalahkan. 

Pernyataan Ferry sejalan dengan semangat UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. Dalam implementasinya di lapangan, banyak tanah-tanah negara yang beralih menjadi tanah pribadi baik karena diberikan oleh negara maupun diminta oleh warga. 

Tanah-tanah di sekitar jalur rel kereta api, adalah contoh tanah negara yang beralih kepemilikan menjadi hak milik warga. Demikian juga tanah-tanah hasil pembukaan hutan di luar kawasan hutan lindung.

Lalu apa yang sebaiknya dilakukan warga Luar Batang, khususnya yang tidak memiliki sertifikat atas tanah negara yang sudah diduduki beberapa generasi dan selama ini membayar pajak bumi dan bangunan (PPB)? Segera ajukan permohonan kepada BPN setempat secara tertulis dengan melampirkan syarat-syarat sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Negeri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, di antaranya :

1. Foto copy Kartu Penduduk

2. Surat bukti kepemilikan tanah

3. Surat pernyataan diatas segel atas penguasaan fisik atas tanah

4. Surat Keterangan Tanah dari Kepala Desa/Kelurahan

5. Foto copy SPPT-PBB tahun terakhir, serta menunjukan aslinya

6. Surat Ukur

7. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanahnya yang telah dimilik pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon 

8. Surat Ijin Mendirikan Bangunan

Jadi, dari pada menunggu apakah akan digusur atau tidak, lebih baik bergerak cepat melakukan sertifikasi atas lahannya. Kalau bisa, manfaatkan orang-orang yang saat ini tengah membelanya, untuk melakukan lobi-lobi politik terkait hal itu.

Andai pun kelak tetap digusur, minimal tanahnya akan dibeli (bukan ganti rugi) oleh Pemprov DKI Jakarta sesuai NJOP sebagaimana tanah-tanah negara lainnya yang saat ini dimiliki para pengusaha dengan status HGU/Hak Pakai dan bermacam-macam hak lainnya.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun