Kasus tewasnya Wayan Mirna Salihin (27) di Kafe Olivier Grand Indonesia, tanggal 6 Januari 2016 lalu, masih akan menjadi misteri. Sejak awal, masyarakat sudah pesimis polisi  bisa menemukan jejak pembunuhnya. Tidak heran jika penetapan Jessica Kumala Wongso (27) sebagai tersangka, mendapat cibiran karena terkesan dipaksakan. Kini, keraguan masyarakat mendapatkan pembenarannya setelah dua kali berkas penyidikan dari Polda Metro Jaya ditolak Kejati DKI Jakarta.
Pertama kali berkas diserahkan pada 18 Februari. Setelah dilakukan pemeriksaan, Kejati lantas mengembalikan berkas tersebut pada 24 Februari. Kejati menyatakan pihaknya memberikan petunjuk untuk melengkapi berkas tersebut. Setelah dilakukan perbaikan sesuai permintaan Kejati, penyidik Polda Metro Jaya kembali menyerahkan  berkas tersebut untuk kedua kali pada 22 Maret. Namun lagi-lagi Kejati  menilai berkas tersebut masih kurang terutama menyangkut keterangan ahli dan keterangan saksi. Berkas itu pun dikembalikan lagi ke penyidik pada 4 April 2016. Hingga akhirnya pada Jumat (21/4) kemarin untuk ketiga kalinya penyidik mengirimkan berkas yang sudah diperbaiki. Saat ini berkas tersebut masih dipelajari oleh tim jaksa di Kejati sebelum diputuskan apakah akan dikembalikan (lagi) untuk perbaikan (P19) ataukah dinyatakan sudah lengkap (P21) sehingga bisa diteruskan ke pengadilan.
Menarik dicermati, penolakan berkas perkara Jessica didasari oleh lemahnya keterangan ahli dan saksi yang terkait langsung dengan kejadian itu serta kurangnya barang bukti. Jaksa menilai, ada rangkaian yang hilang (missing link) jika dua hal tersebut tidak dipenuhi. Terkait keterangan ahli dan keterangan saksi mungkin bisa dipaksakan untuk memenuhi permintaan jaksa. Namun bagaimana dengan barang bukti?
Masyarakat masih menduga-duga barang bukti apakah yang gagal dipenuhi oleh penyidik. Sebagian berasumsi celana panjang yang dipakai Jessica saat kejadian namun sudah dibuang oleh pembantunya. Barang bukti kedua, gelas tempat es kopi Vietnam yang diminum Mirna. Seperti diketahui, pihak kafe langsung membersihkan gelas dan juga tempat kejadian perkara (TKP) sehingga secara hukum barang bukti dan TKP sudah rusak.
Benarkah hal itu yang menyebabkan ditolaknya berkas pembunuhan Mirna dengan tersangka Jessica? Bukan. Secara teori, celana Jessica, gelas dan TKP bukan bukti pokok, melainkan bukti pendukung. Bukti pokoknya adalah sianida sebagai ‘alat’ pembunuh dan saksi yang melihat langsung saat Jessica memasukkan racun rasa almon tersebut ke dalam gelas yang kemudian diminum oleh Mirna. Tanpa bisa membukti hal itu, berkas perkara akan sangat lemah untuk disidangkan.
Bagaimana menemukan racun berbentuk cairan yang mudah menguap (hydrogen) yang digunakan sebagai alat atau media pembunuhan? Sebab barang itu otomatis hilang (larut dan menguap) setelah dituangkan ke dalam kopi. Pertama, tentu mencari sisa-sisanya, semisal tempat yang dipakai untuk membawa sianida. Jika diasumsikan kasus ini sebagai pembunuhan berencana, tentu pelaku sudah memperhitungkan hal itu sehingga dia pun akan melenyapkan barang yang dipakai untuk membawa sianida. Teori ini yang kemudian dipakai polisi sehingga sibuk mencari celana yang dipakai Jessica dengan harapan ada jejak atau sisa-sisa sianida yang tertinggal. Padahal jika pun celana tersebut ditemukan, belum tentu ada jejak yang tertinggal karena benda tersebut sangat mudah menguap. Dalam hitungan jam saja, jejaknya tidak akan bisa dikenali lagi kecuali melalui proses pemeriksaan laboratorium yang canggih.
Kedua, mencari tahu asal sianida. Sebab meski pun bukti fisik tidak ditemukan, namun jika penyidik bisa menemukan bukti adanya pembelian sianida oleh Jessica, sementara jenis pekerjaan atau kegiatan Jessica tidak memiliki kaitan dengan benda tersebut, secara teori Jessica bisa ‘dijebak’ untuk mengakui adanya kaitan kematian Mirna dengan sianida yang dibeli dan dimilikinya. Sayangnya, polisi gagal menemukan adanya transaksi sianida yang dilakukan oleh Jessica. Tidak ada toko, tidak ada aliran dana dan tidak ada yang melihat Jessica membeli sianida. Sempat muncul asumsi Jessica membeli sianida di Australia karena saat itu dirinya baru datang dari Negeri Kanguru. Namun ternyata kepolisian Australia pun tidak menemukan toko yang menjual sianida kepada Jessica.
Jika barang bukti tidak ada, transaksi tidak ada, bagaimana cara menyakinkan majelis hakim jika Jessica telah membunuh Mirna dengan menggunakan sianida? Hal ini juga berkaitan dengan faktor ketiga yakni tidak ada saksi yang melihat saat Jessica memasukkan sesuatu ke dalam gelas kopi yang diminum Mirna. Rekaman CCTV yang ada sama sekali tidak menunjukkan suatu aktifitas/gerakkan saat Jessica memasukan/menyentuh gelas kopi yang diminum Mirna karena terhalang paperbag yang diletakkan di atas meja.
Itulah barang bukti yang tidak didapatkan oleh pihak kepolisian sehingga dakwaan menjadi lemah karena ada mata rantai yang hilang. Jika dalam berkas ketiga yang dikirim penyidik Polda Metro Jaya ke Kejati DKI, tidak disertai hal-hal tersebut, maka dipastikan jaksa akan kembali menolaknya. Andai itu terjadi, meski masih ada sekitar 30 hari dari 120 hari masa penahanan yang bisa dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap seseorang yang dianggap sebagai pelaku kejahatan, sebaiknya atas nama dan demi keadilan Jessica harus dibebaskan dari tahahan.
Gagap Sejak Awal
Kasus tewasnya Mirna Salihin sejak awal sangat kental nuansa sinetronnya. Meski diakui bahwa kasus pembunuhan dengan menggunakan sianida merupakan kasus yang sangat sulit dibuktikan, namun sejak awal penyidik sudah membidik satu pelaku yakni Jessica. Pemeriksaan hanya dilakukan untuk memperkuat dugaan tersebut sehingga menghilangkan kemungkinan adanya pelaku lain. Bahkan media massa pun sudah melakukan peradilan (trial by press) terhadap Jessica. Tidak kalah garang, masyarakat pun ikut mengadilinya (trial by mass) dengan menempatkan Jessica sebagai tersangka tunggal.
Padahal pembunuhan (jika memang sebuah pembunuhan) yang dilakukan di tempat terbuka seperti Kafe Oliver, sangat mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak ada di lokasi kejadian. Dalam teori pembunuhan berencana, maka pelaku sudah sangat memperhitungkan segala kemungkinannya sehingga akan menempatkan dirinya di suatu tempat yang tidak mengundang kecurigaan polisi. Artinya, ada kontradiktif manakala kita sepakat menyebutnya sebagai pembunuhan berencana tetapi dengan gampang menuding seseorang yang berada di lokasi tersebut sebagai pelakuknya. Jika pelaku adalah satu dari dua teman Mirna yang ada di lokasi (Jessica dan Hani) maka itu adalah pembunuhan berencana dengan pelaku idiot, kecuali memang dengan sengaja tengah melakukan antithesis terhadap teori pembunuhan berencana.
Sejak awal, penyidik memang terlihat sudah gagap dalam menangani kasus ini. Meski Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti membantah pembukaan hotline untuk menerima masukan dari masyarakat jika mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan kasus tewasnya Mirna Salihin, namun masyarakat pun tidak salah jika mempunyai pandangan lain. Seperti pernah ditulis, membuka hotline, menyuruh pelakunya mengaku, memeriksa sejumlah orang hingga berkali-kali (beberapa saksi diperiksa lebih dari satu kali), terutama hani dan Jessica yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka, Â adalah bukti bagaimana polisi kedodoran menangani kasus ini.
Jangan lupa, munculnya motif asmara sejenis, juga membuat masyarakat tertawa karena dugaan itu hanya didasarkan pada asumsi, pada isi percakapan keduanya tanpa disertai bukti kuat.  Penyidik juga membuat ‘jebakan’ yang menggelikan usai menangkap Jessica dari sebuah hotel, di pagi buta. Seakan ingin mematahkan argumen Jessica bahwa dirinya tidak suka kopi sehingga tidak ikut mencicipi kopi yang diminum Mirna, maka saat memeriksa Jessica, penyidik ‘menghidangkan’ kopi hangat dan air mineral.  Penyidik langsung ‘bersorak’ saat Jessica dengan enteng mengambil kopi hangat dan menyeruputnya tanpa dosa. Gambar ini langsung beredar di masyarakat sehingga Jessica pun berada pada posisi yang sangat sulit: terduga pembunuhan ternyata seorang berbohong!
Namun bagi yang kritis, tentu melihatnya dari sudut lain. Meski tidak suka kopi hangat, namun dalam kondisi kedinginan, masih mengantuk karena dibangunkan secara paksa (digrebek), dan kebingungan, sangatlah wajar Jessica memilih kopi yang hangat dibanding air mineral yang dingin. Ini bukan masalah suka atau tidak suka, tetapi terkait situasi dan kondisi saat itu. Kecuali dalam keadaan normal dengan banyak pilihan semisal di kafe, ternyata Jessica memilih kopi daripada minuman lainnya, ceritanya tentu akan lain. Berarti dia betul-betul bohong saat mengatakan dirinya tidak suka kopi. Â
Pertanyaan menariknya kemudian adalah, jika sampai Jessica dilepas, benarkah Mirna tewas dibunuh? Siapa pembunuhnya? Jika tetap pada keyakinan Mirna tewas dibunuh, polisi harus mulai bergerak dengan memperluas calon tersangka. Meski Jessica tetap masuk sebagai orang yang patut diduga, tentu dengan bukti-bukti baru (novum), polisi harus mulai memeriksa Hani secara intensif sebagai teman Mirna lainnya yang sama-sama berada di kafe tersebut. Polisi juga harus memberikan perlakuan yang sama kepada para pelayan kafe dan orang-orang yang saat itu sempat mendekati Kafe Olivier. Terakhir, polisi harus mulai membidik calon tersangka dari tempat lain karena sesuai teori, sianida baru akan  bereaksi dalam hitungan menit (5-20 menit) sehingga ada kemungkinan pelaku sudah meracuni Mirna sebelum yang bersangkutan tiba di kafe. Siapa orang terakhir yang bersama  Mirna sebelum tiba di Kafe Olivier? Â
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menilai kinerja kepolisian atau menyudutkan pihak tertentu, tetapi sebagai bentuk kepedulian agar penegakan hukum dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
Â
Salam @yb
Â
tulisan terkait :Â http://fiksiana.kompasiana.com/yonbayu/antitesis-teori-pembunuhan-berencana-yang-nyaris-sempurna_56ac5a593793732b071226dc
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H