Malah pernah ada kejadian di SMPN di daerah Gambir tempat anakku sekolah (maaf aku tidak bisa menyebutkan nama sekolahnya secara lengkap demi menjaga kehormatan para pendidiknya), di mana saat menjelang Idul Adha tahun lalu setiap murid dimintai sumbangan sukarela karena pihak sekolah akan mengadakan kurban, Tanpa berpikir panjang aku menyumbang Rp 50 ribu (tentunya melalui anakku) dengan sangat iklas, Lillahi Ta’ala. Eh, ternyata dua hari kemudian, uang tersebut dikembalikan.
“Pak Guru takut ditangkap kapeka,” kata anakku.
Aku pun tertawa. “Pak Guru bukan takut ditangkap kapeka, Nak, tapi takut dipecat Ahok. Soalnya Pak Gubernur sudah melarang keras adanya pungutan di sekolah-sekolah dalam bentuk atau untuk alasan apapun,” jelasku.
Apakah kurbannya tidak jadi dilaksanakan? Ternyata tetap dilaksanakan karena ada kupon yang dibagikan. Aku tidak tahu persis dari mana uang untuk membeli kambing kurban tersebut. Mungkin dari hasil iuran guru-gurunya.
Jadi, demikianlah Prof pembelaanku, sanggahanku (dikira lelang kali pakai disanggah). Aku bukan anti Ahok. Sebab anti berkonotasi memusuhi. Jadi kalau anti Ahok berarti memusuhi Ahok, sementara aku merasa tidak pernah memusuhi Ahok secara pribadi. Dalam pada ini (masih ingat kalimat seperti itu, Proif?) posisiku hanyalah gelandang bebas (saking bebasnya kadang merangkap jadi gelandangan).
Sekali lagi (tanpa perlu diralat) aku senang namaku ada dalam artikel Prof, namun protes karena sejatinya aku masih tetap pakai celana. Jika ada salah kutip, salah data, yang mohon dimaafkan karena aku bukan Ahok yang (menurut para pendukungnya) tidak pernah salah hehehe…..
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H