Sebelum menulis lebih jauh, izinkan aku menghaturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada mentorku, seniorku di Kompasiana, Prof Pebrianov. Sebab baru kali ini aku berbeda pandangan, dan itu terkait ‘tawaran’ Prof Pebrianov kepada K’ers Revaputra Sugito agar mengajakku masuk dalam gerbong anti Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Artinya, menurut pandangan Prof, aku termasuk golongan anti Ahok.
Tentu aku harus berterima kasih karena Prof ingat namaku saat menulis artikel. Ini suatu kehormatan yang luar biasa mengingat ada 300.00-an member K. Coba bayangkan, opo aku ora hebat, karena ‘berhasil’ menyisihkan ribuan nama lainnya dari pikiran Prof.
Jangan marah dulu, Prof, nanti celananya terbalik hehehe….
Dalam beberapa kesempatan aku terlibat dalam perdebatan dengan pendukung Ahok (maaf aku menyebutnya demikian hanya sebagai pembeda dengan mereka yang anti Ahok), terutama ketika aku menulis artikel yang mengkritisi kebijakan Ahok. Biasanya aku akan menyudahi perdebatan setelah dua-tiga kali saling sahut (jawab). Jika ternyata dia masih ingin berdebat, aku akan membiarkannya. Tapi jika sudah menyerang pribadi, aku akan mengajaknya berdebat di ruang privat (chat).
Mengapa demikian?
Pertama, menurutku, berdebat itu bukan itu mencari pemenang, bukan pula untuk mencari siapa yang lebih pintar. Berdebat itu ajang untuk menguji seberapa kuat argumen yang kita paparkan. Ketika akhirnya aku meninggalkan perdebatan setidaknya ada tiga kemungkinannya. A. Sadar argumentasiku lemah. Tentu aku tidak akan mengakui dengan bahasa telanjang karena menyangkut kredibilitas diri (cie…cie….opo maneh iku!). B. Aku merasa perdebatan itu tidak lagi substansial sehingga tidak akan ada akhirnya (jadi debat kusir). C. Aku melihat argumen lawan debatku sangat lemah dan terlalu dipaksakan sehingga jika pun diteruskan akan membuat malu lawan debatku. Karena tujuan berdebat semata-mata hanya untuk menguji argumentasi yang kita paparkan, bukan untuk membuat malu siapapun, maka jalan yang terbaik adalah meninggalkan (menyudahi) perdebatan itu.
Kedua, Kompasiana merupakan merupakan ruang publik. Kita harus menghormati anggota lainnya. Perdebatan panjang tanpa berkesudahan akhirnya akan mendorong artikel itu masuk ke kolom NT. Tentu ini merugikan penulis lain yang sebenarnya punya potensi masuk ke situ, namun tersundul (benar ngga sih kata itu?) tulisan lainnya yang dipenuhi perdebatan ora mutu babarblas tersebut!
Ketiga, menambah wawasan dan pengetahuan. Orang seperti aku, masih sangat-sangat minim pengetahuannya, apalagi jika menyangkut tema dari disiplin ilmu di luar politik. Namun dari perdebatan-perdebatan itu, akhirnya aku agak (ingat: agak, bukan Ahok) paham mengenai istilah ekonomi (dari uraian Bung Jos Rampisela), akuntansi (dari Bung Ken HIrai), ukuran uang (dari Mba Mike Reyssent), simbolisasi celana (dari Prof Pebrianov sendiri) dan lain-lain.
Masuk ke sub judul kedua terkait maksud dan tujuan pidato, eh, tulisan, ini. Dari semua artikel yang pernah aku unggah di sini, tidak ada sebiji pun pembelaan terhadap Ahok, karena aku memang tidak dalam posisi membela Ahok. Pun sebaliknya, tidak ada sebuah artikel pun yang aku tulis dengan dilandasi semangat agar Ahok jadi pesakitan KPK dan gagal nyagub, kecuali menyangkut Sunny Tanuwidjaja. Aku hanya mengkritisi kebijakan Ahok sebagai gubernurku, terutama yang bersinggungan langsung dengan masyarakat kecil.
Bukan aku sok pahlawan. Bukan pula karena aku dirugikan oleh kebijakan Ahok. Bahkan sebenarnya beberapa kebijakan Ahok menguntungkanku secara pribadi semisal pembebasan pajak bumi dan bangunan di bawah Rp I miliar (maklum nilai jual rumahku tidak sampai segitu meski berada di Jakarta Pusat. Tapi tolong hal ini jangan diperpanjang apalagi dikira-kira ukurannya, karena mungkin tidak lebih besar dari dapur rumah Bung Jos hiks…).
Kebijakan pembebasan uang sekolah, juga sangat menguntungkan aku. Sebab meski kedua anakku (SMP dan SMA) tidak memiliki Kartu Jakarta Pintar, namun dengan tidak adanya pungutan/iuran sekolah dalam bentuk apapun (jujur, sejak Ahok jadi Gubernur Jakarta, aku belum pernah mengeluarkan uang sepeserpun untuk bayar pungutan di sekolah anak-anakku yang kebetulan sekolah negeri. Saya kurang paham yang sekolah swasta), tentu sangat meringankan beban orang tua/wali murid.
Malah pernah ada kejadian di SMPN di daerah Gambir tempat anakku sekolah (maaf aku tidak bisa menyebutkan nama sekolahnya secara lengkap demi menjaga kehormatan para pendidiknya), di mana saat menjelang Idul Adha tahun lalu setiap murid dimintai sumbangan sukarela karena pihak sekolah akan mengadakan kurban, Tanpa berpikir panjang aku menyumbang Rp 50 ribu (tentunya melalui anakku) dengan sangat iklas, Lillahi Ta’ala. Eh, ternyata dua hari kemudian, uang tersebut dikembalikan.
“Pak Guru takut ditangkap kapeka,” kata anakku.
Aku pun tertawa. “Pak Guru bukan takut ditangkap kapeka, Nak, tapi takut dipecat Ahok. Soalnya Pak Gubernur sudah melarang keras adanya pungutan di sekolah-sekolah dalam bentuk atau untuk alasan apapun,” jelasku.
Apakah kurbannya tidak jadi dilaksanakan? Ternyata tetap dilaksanakan karena ada kupon yang dibagikan. Aku tidak tahu persis dari mana uang untuk membeli kambing kurban tersebut. Mungkin dari hasil iuran guru-gurunya.
Jadi, demikianlah Prof pembelaanku, sanggahanku (dikira lelang kali pakai disanggah). Aku bukan anti Ahok. Sebab anti berkonotasi memusuhi. Jadi kalau anti Ahok berarti memusuhi Ahok, sementara aku merasa tidak pernah memusuhi Ahok secara pribadi. Dalam pada ini (masih ingat kalimat seperti itu, Proif?) posisiku hanyalah gelandang bebas (saking bebasnya kadang merangkap jadi gelandangan).
Sekali lagi (tanpa perlu diralat) aku senang namaku ada dalam artikel Prof, namun protes karena sejatinya aku masih tetap pakai celana. Jika ada salah kutip, salah data, yang mohon dimaafkan karena aku bukan Ahok yang (menurut para pendukungnya) tidak pernah salah hehehe…..
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H