Perang opini yang cukup panjang dan melelahkan terkait reklamasi teluk Jakarta berakhir klimaks. Sikap keras Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) untuk melanjutkan proyek triliunan rupiah itu kandas setelah Presiden Joko Widodo turun tangan melalui Menko Kemaritiman Rizal Ramli. Reklamasi dihentikan untuk sementara waktu (moratorium) untuk mengkaji kembali dasar hukum pemberian izin reklamasi- yang disebutnya tumpang tindih padahal sebenarnya tidak karena undang-undang kita menganut azas undang-undang yang baru mengalahkan undang-undang yang lama (lex posteriore derogate legi priori) terlebih jika undang-undang terbaru bersifat lex specialis- dan juga kajian terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Sampai kapan moratorium itu? Sampai selesainya gelaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017.
Artinya, gubernur DKI Jakarta saat ini sudah “tidak berhak” cawe-cawe terhadap reklamasi teluk Jakarta. Hal itu diperkuat dengan akan dibentuknya tim antara Pemprov DKI dengan Kementerian terkait. Gamblangnya, kewenangan soal reklamasi teluk Jakarta sebagai kawasan strategis nasional tidak lagi mutlak berada di tangan gubernur, tetapi diambilalih oleh pemerintah pusat. Sampai di sini perang opini tentang reklamasi teluk Jakarta terkait keabsahan, izin, dan pernak-perniknya, dengan sendirinya sudah selesai.
Ahok pun telah bahagia karena bebannya (baca: kewenangannya) sudah berkurang sehingga bisa dipakai untuk ngeles manakala para pengembang menuntut janjinya. Bukankah para pengembang sudah banyak keluar uang untuk memenuhi permintaan Ahok terkait penataan infrastruktur dan orang-orang miskin di Jakarta? Ya, Ahok telah berhasil menata orang miskin dalam rusun-rusun sewa karena subjek kebijakan pembangunan Ahok bukan pada manusia namun pembangunan itu sendiri. Kalau menggunakan istilah zaman orba, pembangunan adalah panglimanya sehingga siapapun yang menghalangi pantas dilibas. Jika dulu menggunakan senjata, sekarang dengan bully di media.
Pertanyaanya sekarang, setelah kasus reklamasi, kebijakan apa lagi yang seksi untuk dibahas. Sebab banyak sekali kebijakan Ahok yang memang wajib ‘dibantai’ karena mencederai rasa keadilan terutama bagi rakyat kecil. Kasus pembelian lahan Sumber Waras sudah tidak seksi lagi karena datanya sudah sangat telanjang. Tinggal menunggu ketegasan aparat penegak hukum (KPK) untuk meningkatkan ke penyidikan (dik) atau tidak.
Tapi ingat, no racism, no SARA. Membedah kebijakan kepala pemerintahan dengan argumen yang kuat wajib dilakukan bukan karena faktor kebencian, tapi untuk menguji seberapa bermanfaatnya suatu kebijakan- siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Sebab pembangunan bukan hanya untuk menyenangkan kelompok masyarakat tertentu saja sambil menginjak kelompok masyarakat lainnya. Hal itu juga sudah sering dilakukan pada era-era sebelumnya- termasuk kebijakan gubernur Jakarta terdahulu. Jadi, jangan pula para pendukungnya mengklaim karena Ahok Kristen dan China lantas kebijakannya dikritisi. Bukankah kebijakan reklamasi pantai di Bali juga ‘dibantai’ oleh warganya padahal mayoritas warganya sesuku dan seagama dengan gubernur dan bupatinya?
Sekali lagi, ini bukan tentang rasisme! Sikap kritis terhadap kebijakan pemimpinnya adalah bentuk tanggung jawab dan partisipasi warga yang menginginkan daerahnya, negara, maju dan mensejahterakan seluruh rakyat- termasuk mereka yang berbeda pendapat dan pilihan. Beruntung kita punya Pancasila (tanpa bebek nungging) dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar membangun kehidupan bersama dalam suaru wilayah politik bernama Indonesia. Jadi siapa pun pemimpinnya, jika dia hanya menguntungkan satu golongan saja, maka pemimpin itu telah mengingkari nilai-nilai Pancasila dan kebhinnekaan Bangsa Indonesia. Pemimpin seperti itu bukan saja lalim, namun juga rasis. Jika kita sepakat untuk membuang sikap rasis dalam konteks hubungan bernegara dan bermasyarakat, maka mestinya kita pun sepakat untuk terus mengkritisi kebijakan-kebijakan para pejabat yang kita anggap hanya menguntungkan satu pihak saja.
Satu contoh dalam kasus penggusuran terhadap orang miskin di sejumlah tempat di Jakarta. Bahwa mereka melanggar, iya. Namun seperti halnya maling ayam, mereka pun harus diadili melalui proses peradilan yang transparan dan berkeadilan. Tentu sangat melukai rasa keadilan manakala warga yang menempati tanah negara tidak ‘diadili’ dulu, tapi langsung divonis bersalah sehingga langsung digusur. Dialog adalah sarana peradilan yang berkeadilan bagi mereka yang salah dalam hal pendudukan tanah negara. Terlebih undang-undang kita memungkinkan beralihnya hak negara atas suatu tanah kepada warganya. Ratusan hektare tanah negara di eks bandara Kemayoran dan juga lahan di kawasan Gelora Bung Karno, adalah contoh bagaimana lahan negara beralih menjadi lahan pribadi. Ribuan hektar tanah pada kawasan-kawasan hutan di luar Pulau Jawa juga dapat dikuasai oleh cukong-cukong dari Malaysia, China dan lainnya untuk perkebunan sawit. Mengapa negara mau melepas hak kepemilikan tanah kepada orang-orang kaya, namun begitu angkuh manakala yang meminta orang-orang miskin padahal tanah tersebut sudah ditempatinya selama beberapa generasi?
Jangan langsung menjustifikasi orang-orang yang mendiami tanah negara sebagai maling, sebagai parasit negara. Sangat mungkin dulunya tanah tersebut “tidak bertuan” setelah era nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda oleh pemerintah Republik Indonesia. Sangat mungkin juga dulu tanah itu merupakan lahan terlantar karena berada di suatu wilayah yang kurang strategis seperti dalam kasus tanah Luar Batang. Jangan pula menuding mereka yang melakukan pendampingan terhadap korban ketidakadilan, yang kebetulan orang-orang miskin, dicap sebagai pehlawan kesiangan. Sejak zaman Pak Harto berkuasa, banyak sekali aktivis yang dengan sukarela melakukan pendampingan terhadap korban gusuran. Mereka sudah ada jauh sebelum blog keroyakan ini, atau bahkan beberapa K’ers lahir.
Mereka sudah berjuang melakukan pendampingan tanpa menghiraukan keselamatan dirinya. Jadi berempatilah sedikit terhadap mereka yang berpeluh mendampingi orang-orang yang tertindas, meski mungkin kita beda pilihan politik. Mereka bukan pahlawan kesiangan. Mereka melakukan sesuatu yang memang wajib dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan dan berpengetahuan sebagai bentuk tanggung jawab moral. Orang-orang miskin dan ‘bodoh’ wajib didampingi untuk memastikan mereka mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara yang memiliki kesempatan yang sama untuk hidup bahagia di bawah atap republik ini, memiliki hak yang sama di depan hukum, sebagaimana dianalogikan dengan maling ayam di atas.
3 In 1
Salah satu kebijakan Ahok yang wajib ‘dibantai’ adalah rencana penghapusan 3 in 1 pada sejumlah ruas jalan protokol di ibukota. Kebijakan ini kembali memperlihatkan betapa Ahok sangat memanjakan orang-orang kaya dan sebaliknya sangat bernafsu untuk ‘membuang’ orang-orang miskin dari Jakarta. Ahok mungkin lupa, salah satu tugas seorang kepala daerah adalah mensejahterakan rakyatnya, mengentaskan kemiskinan yang membelenggu sebagian rakyatnya, melalui program-program yang dapat menstimultasi ekonomi rakyat miskin, bukan membuang orang miskin. Bukannya melakukan hal itu, tapi justru membuat kebijakan yang selalu merugikan orang-orang miskin. Faktanya angka kemiskinan di DKI Jakarta dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan, padahal sudah ratusan (sekedar untuk tidak ekstrem menyebut ribuan) orang miskin dipaksa tunggang-langgang menepi ke pinggiran kota, ke tengah laut, atau bahkan pulang ke kampung leluhurnya yang tidak dikenali sebelumnya karena dia lahir dan besar di Jakarta.
Mengapa penghapusan kebijakan 3 in 1 yang sudah berlaku sejak 23 Desember 2003 lalu ditengarai sebagai bentuk arogansi kekuasaan terhadap orang miskin? Sebab wacana kebijakan untuk menghapus ketentuan 3 in 1 itu dikeluarkan sebagai reaksi atas ditangkapnya sejumlah orang miskin yang tengah mengemis di kawasan Blok M, sebagaimana gusuran Kalijodo yang dilakukan Ahok sebagai reaksi atas terjadinya tabrakan maut karena pengemudi mobil yang menabrak motor dan akhirnya terguling itu baru saja minum bir di Kalijodo.
Bagaimana mungkin kebijakan yang diambil dalam sekejap, reaktif tanpa adanya kajian terlebih dahulu, bisa menjamin rasa keadilan masyarakat? Mengapa menyalahkan orang-orang miskin yang menjadi joki mobil mewah berpenumpang satu orang? Mengapa tidak memperketat aturan yang memberatkan orang-orang kaya dengan menerapkan denda tinggi jika ketahuan membawa joki? Bukankah hal yang sangat mudah untuk mengenali apakah mobil mewah itu berpenumpang joki atau tidak? Jika motor bisa dipaksa untuk menyalakan lampu meski pada siang hari, mengapa tidak bisa membuat aturan yang memaksa agar mobil-mobil mewah yang melintas di kawasan 3 in1 membuka kaca jendelanya pada titik tertentu, semisal di Bundaran HI?
Meski mendapat tentangan dari Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Moechgiyarto, namun Ahok tetap ngotot untuk menghapus kebijakan 3 in 1. Untuk menghindari benturan antara Pemprov DKi dengan Polda Metro Jaya, akhirnya masa uji coba penghapusan 3 in 1 yang sebelumnya sudah dilakukan dua tahap yakni 5-8 April dan 11-13 April, diperpanjang lagi sampai 14 Mei mendatang. Ahok berkepantingan untuk menghilangkan (bukan mengentaskan) orang miskin dari Jakarta, namun Kapolda sekarang memiliki pendirian tegas bahwa suatu kebijakan harus didahului dengan kajian yang matang, bukan reaktif.
Akankah kengototan Ahok untuk menghapus 3 in 1 berakhir manis ataukah akan berakhir tragis sebagaimana reklamasi teluk Jakarta? Mari kita simak sambil minum kopi pahit.
salam @yb
Tulisan terkait : http://www.kompasiana.com/yonbayu/lucunya-jakartaku-eksploitasi-anak-mencuat-3-in-1-digugat_56f9d24ca523bd7f0a53f270
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H