Your silent so thunderous - Jenderal Frederick ‘Boy’ Browning
Banyak peperangan besar yang dimenangkan bukan dengan persenjataan super canggih, pasukan besar, ataupun kekuatan ekonomi.  300 pasukan Sparta mengalahkan 170 ribu pasukan Persia, pasukan  Akhaia berhasil membobol benteng Kota Troya yang terkenal tangguh melalui tipu muslihat kuda kayu, hingga yang modern di mana pasukan Vietcong dengan peralatan seadanya mengalahkan pasukan Amerika Serikat yang didukung peralatan canggih, hanyalah contoh kecil gambaran bagaimana David mengalahkan Goliath.
Tulisan ini tentu bukan hendak membahas soal peperangan, melainkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur (pilgub) DKI Jakarta. Kemunculan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang akan berusaha mempertahankan kekuasaannya melalui gelaran pilgub 2017 mendatang, telah menciptakan sejumlah paradoks sekaligus kegaduhan luar biasa yang getarannya sampai ke pelosok negeri. Sejak enam bulan terakhir, media-media berjejaring (daring) termasuk blog keroyokan seperti Kompasiana, selalu diramaikan dengan tulisan-tulisan terkait pilgub DKI Jakarta di mana penulisnya kebanyakan berasal dari luar Jakarta. Bahkan tidak sedikit yang tinggal di luar negeri. Sebagai ibukota negara, Jakarta memang bukan hanya milik warga ber-KTP Jakarta, namun milik semua anak bangsa.
Suka atau tidak suka kemunculan Ahok dalam blantika politik tanah air membawa sejumlah paradoks. Meski di luar Jawa bukan hal baru ada warga etnis China  yang menjadi kepala daerah- terutama di daerah Kalimantan Barat dan Bangka Belitung, namun tidak demikian halnya di daerah Jawa. Meski tidak ada larangan, namun bisa dibilang, jarang ada warga China yang maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jawa.  Hanya Joko Widodo yang berani mendobrak kebekuan itu dengan menggandeng Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2012 lalu. Setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden, Ahok pun resmi menjadi Gubernur Jakarta definitif. Sebuah paradoks politik yang luar biasa.
Meski bukan hal baru, bukan pula fenomena, keberanian Ahok melawan dominasi anggota DPRD DKI Jakarta dalam hal penentuan kebijakan umum anggaran – salah satunya menolak anggaran siluman dan pengadaan barang yang harganya di luar kewajaran seperti dalam kasus pengadaan uninterruptible power supply (UPS), membuat banyak pihak tercengang. Bukan rahasia lagi jika selama ini banyak anggota DPRD yang bermain mata dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam penentuan suatu anggaran kegiatan. Bukan hal baru pula ada kepala daerah yang kemudian menentangnya sehingga seringkali terjadi ketegangan antara legislatif dan kepala daerah yang berujung pada langkah politik seperti impeachment. Namun yang terjadi di Jakarta, Ahok sangat frontal melawan-  menurut bahasa Ahok, begal anggaran. Akibatnya hubungan eksekutif dan legislatif tidak harmonis dan puncaknya terjadi ketika DPRD menolak mengesahkan APBD DKI Jakarta 2015 sehingga disahkan melalui Pergub dengan mengacu pada besaran APBD 2014.
Di satu sisi, boleh jadi itu prestasi karena Ahok dianggap berani melawan begal anggaran. Namun bagi lainnya, hal itu justru bukti ketidakmampuan Ahok dalam mengelola manajemen pemerintahan daerah sehingga tidak bisa menciptakan hubungan yang harmonis dengan kelembagaan daerah lainnya. Jika memang Ahok pandai, mestinya dia tetap bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan mitranya di DPRD namun tetap tegas menolak permainan anggaran. Banyak daerah yang transparan dalam pengelolaan anggaran dan mampu meminimalisir terjadinya kebocoran tanpa harus terjadi benturan antara kepala daerah dengan DPRD sebagaimana yang dilakukan Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo dan juga Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Ahok kembali membuat paradoks politik ketika lebih memilih jalur perseorangan (independen) dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta 2017. Padahal sebelumhya PDIP dan beberapa partai sudah mengisyaratkan dukungannya. Pernyataan-pernyataan Ahok berikutnya membuat bos partai, terutama PDIP, geram. Pertama Ahok bilang jika melalui jalur partai politik membutuhkan mahar. Setelah diminta membuktikan apakah dirinya membayar mahar pada saat maju dalam pilgub sebelumnya, Ahok meralat ucapannya dengan mengatakan tidak ada mahar. Namun Ahok kemudian mengatakan jika menggunakan jalur partai politik memerlukan biaya yang sangat besar karena harus membiayai mesin partai hingga ke tingkat ranting. Sementara jika menggunakan jalur independen dirinya tidak perlu mengeluarkan uang karena segala sesuatunya sudah dipenuhi oleh relawannya yang tergabung dalam organisasi Teman Ahok.
Tentu masih banyak hal-hal yang dianggap melawan kemapanan, dianggap tidak mungkin. namun benar-benar dilakukan oleh Ahok. Kecepatan Ahok melakukan penggusuran Kalijodo, ancaman yang ditebar untuk melawan semua pihak- termasuk DPR, Â BPK dan KPK apalagi dirinya dijadikan tersangka dalam kasus Sumber Waras, benar-benar membuat geger jagat politik tanah air. Saat pisah sambut Kapolda Metro Jaya Ahok mengaku berani melakukan itu semua karena dibeking oleh Kapolda Metro Jaya (saat itu) Irjen Tito Karnavian (kini Komjen). Hubungan yang sangat mesra antara Tito dengan Ahok sempat mengundang kecurigaan pihak lain. Terlebih saat Polda Metro begitu all out membereskan Kalijodo dalam tempo tidak kurang dari satu minggu, dan setelah itu Ahok menghibahkan dana sampai Rp 70 miliar untuk membangun lahan parkir di Mapolda Metro Jaya yang dananya diambil dari pihak ketiga terkait denda koefisien lantai bangunan (KLB). Tito pun memuji Ahok sebagai pemimpin yang tidak hanya memberikan angin surga. Akhir dari drama ini, Tito dipromosikan menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Meski dianggap sebagai peningkatan karir karena bintang di pundaknya bertambah satu, namun kasus ini sempat disamakan dengan kasus Komjen Budi Wasesa yang digeser dari Kepala Bareskrim Polri menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) usai geger penggrebekkan kantor Pelindo II.
Kerancuan pola pikir juga muncul dalam jargon-jargon menarik. Misalnya, terhadap kritik rendahanya penyerapan APBD DKI Jakarta di mana realisasi APBD 2015 hanya sekitar Rp 40 triliun  alias cuma  pada kisaran 60 persen, cyber army Ahok, relawan, pendukung atau apalah namanya, membuat jargon : lebih baik tidak terserap daripada dikorupsi.
Padahal dengan tidak terserapnya anggaran secara maksimal, otomatis menggagalkan program kerja yang sudah dicanangkan sebelumnya. Â Sebagai catatan, tersimpannya dana triliunan di kas pemda- biasanya di simpan di bank pemerintah/daerah karena memang diperbolehkan, maka akan diperoleh bunga simpanan yang tidak sedikit. Siapa yang menikmati bunga bank tersebut? Rendahnya realisasi program yang terlihat dari rendahnya serapan anggaran, menjadikan angka kemiskinan di DKI Jakarta melonjak. Dalam setahun yakni Maret 2014 sampai Maret 2015 terjadi peningkatan angka kemiskinan yang cukup signifikan seperti dikutip di sini.
Tegasnya, rendahnya penyerapan anggaran suatu daerah/instansi itu cermin kegagalan dalam hal pengelolaan anggaran. Jadi, mengapa jargonnya tidak : lebih baik anggaran terserap dan tidak dikorupsi?
Lalu, terhadap kritik pemimpin yang suka menggunakan bahasa toilet (isitilah haters Ahok) dibalas dengan jargon : lebih baik kasar tapi bersih dari pada alim/santun tapi korup. Mengapa jargonnya tidak lebih baik pemimpin yang santun dan bersih?
Namun itulah realitas saat ini. Kemampuan komunikasi yang sangat baik para relawan dan pendukung Ahok dalam menyanggah serangan terhadap Ahok, telah menempatkan Ahok sebagai sosok yang tanpa cela, tanpa salah.  Hasilnya, kini Ahok menjelma menjadi Goliath. Ya, Ahok menjadi calon gubernur petahana dengan elektabilitas sangat tinggi sebagaimana dilansir sejumlah lembaga survei. Ahok didukung relawan fanatik yang bukan hanya rela bekerja siang malam tanpa bayaran, tapi juga ikut mencari uang untuk membiayai pengumpulan copy KTP dukungan kepada Ahok. Belum lagi pasukan di dunia maya yang dengan gagah perkasa akan melibas siapa pun yang coba-coba hendak menjadi penantang Ahok. Sederet nama dari kepala daerah hingga musisi, dari ulama hingga preman, pernah merasakan betapa ‘kejamnya’ komentar-komentar dan juga julukkan yang disematkan para pemuja Ahok saat media memberitakan hendak menjadi lawan Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Bahkan orang-orang yang sekedar beda pendapat pun akan langsung dihajar tanpa ampun, diungkit keturunannya sampai tahi lalatnya.
Jika sudah demikian, sepertinya tidak ada celah lagi untuk mengalahkan Ahok dalam gelaran Pilgub DKI Jakarta 2017. Hal itu juga yang ada di dalam benak sebagian relawan dan pendukungnya. Mereka membayangkan Ahok akan seperti Tri Rismaharini di Surabaya yang kesulitan mendapatkan lawan karena tingginya elektabilitas yang dimiliki. Hal itu disebabkan karena sampai hari ini belum ada partai politik yang mendeklarasikan calonnya kecuali Nasdem dan Hanura yang telah mengakui mesin politiknya mandul sehingga mencari jalan pintas dengan menghamba pada organisasi non partai. Ingat, Nasdem dan Hanura bukan mengusung Ahok, tapi mendukung Teman Ahok mencalonkan Ahok melalui jalur independen.
Mengapa partai politik besar seperti PDIP, PKS, Demokrat, Golkar dan lainnya tidak segera mendeklarasikan calon yang akan diusung? Apakah mereka galau seperi ditulis sejumlah Kompasianer?
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan sederet nama lainnya bukan politisi kemarin sore. Mereka sudah terbiasa terlibat dalam pertarungan politik besar nan riuh. Â Lucu rasanya jika mengira mereka galau hanya karena menghadapi pilgub DKI Jakarta, apalagi seorang Ahok.
Ada beberapa kemungkinan mengapa tokoh-tokoh gerot itu mengambil sikap demikian. Namun  tulisan ini hanya akan menyoroti dari sisi Megawati.  Kita tentu masih ingat bagaimana dulu menjelang Pilpres 2014 tekanan agar Megawati segera mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden sangat kuat dan masif. Bahkan sejumlah kader PDIP sempat mengancam akan keluar jika Megawati idak segera mengambil keputusan. Sampai menjelang last minute, Megawati tetap diam. Ada yang berpendapat, Megawati galau sebenarnya tidak akan mencalonkan Jokowi tapi dirinya sendiri, bahkan Puan Maharani. Ada juga yang menuding tidak yakin dengan kemampuan Jokowi.
Benarkah demikian? Tidak. Sejarah kemudian mencatat, setelah melakukan serangkai tahapan sesuai mekanisme partai, Megawati kemudian memberikan keputusan untuk mengusung Jokowi sebagai capres. Artinya keputusan itu bukan didasarkan pada desakkan pihak luar, apalagi tekanan masyarakat, namun memang hasil seleksi internal partai.
Salah satu pertimbangan yang kurang dibahas pengamat adalah terkait waktu. Jika sudah dideklarasikan jauh hari sebelumnya, mungkin Jokowi tidak akan maksimal lagi mengemban tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mungkin juga serangan yang dilakukan haters Jokowi yang dimotori kader-kader PKS seperti Jonru akan sangat dasyat sehingga bisa mengundang bentrok fisik. Dengan pengumuman pencalonannya menjelang dimulainya tahapan pilpres, setidaknya mengurangi resistensi yang mungkin timbul. Ingat saat itu sosok Prabowo Subianto ibarat Goliath yang mustahil dikalahkan sehingga benar-benar perlu kecermatan bukan hanya dalam menyiapkan calon lawannya, namun juga timing. Â Â
Kasus yang hampir sama dengan skala lebih kecil, kini tersaji dalam pentas pilgub DKI Jakarta. Ahok telah muncul sebagai Goliath yang menurut para pendukungnya- tidak mungkin kalah, siapa pun lawannya. Sebagaimana umumnya petahana, Ahok memiliki banyak keunggulan baik sarana untuk nebeng kampanye, nebeng fasilitas pemda untuk kepentingan politik (menggelar pertemuan dan makan siang dengan Teman Ahok di Balaikota untuk membahas pengumpulan KTP dukungan), dan tentu saja nebeng anggaran yang disamarkan dalam program kegiatan pemda. Contohnya, menggenjot revitalisasi Kota Tua sebagai destinasi wisata, lalu hal itu dijadikan salah satu materi kampanye oleh relawannya.
Di tengah kebisingan dan euphoria relawan Ahok, adalah kebodohan tak termaafkan jika saat ini muncul sebagai penantangnya. Kasus Ahmad Dhani, Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Abraham Lunggana dan sederet nama lainnya yang terang-terangan ingin menantang Ahok, menjadi pelajaran berharga bagi partai politik untuk melawan Ahok dengan diam, dengan kesunyian. Sebab kesunyian itu yang akan membuat Ahok dan relawannya panik. Sampai hari ini Ahok dan para relawannya belum tahu siapa lawan sesungguhnya, sementara mereka sudah kehabisan amunisi untuk menyerang sana-sini secara membabi-buta sehingga setiap hari menciptakan musuh-musuh baru.
Lihatlah fenomena dalam kotak tanggapan terhadap suatu berita yang disediakan media-media berjejaring. Jika tiga, bahkan dua bulan lalu masih didominasi cyber army Ahok, maka hari ini polanya mulai bergeser. Mereka yang menghujat lawan Ahok dan mereka membalasnya dengan bahasa yang tak kalah garang, mulai berimbang. Jika dipetakan, yang menghujat calon lawan Ahok adalah relawan Ahok (dengan sedikit kemungkinan akun palsu yang disusupkan), maka  yang membalas hujatan itu belum diketahui apakah dia relawan orang-orang yang saat ini sudah memproklamirkan diri untuk melawan Ahok namun belum memiliki dukungan (parpol maupun KTP), mereka yang gerah dengan arogansi cyber army Ahok,  atau relawan seseorang yang masih disembunyikan untuk menunggu momentum?
Jadi, jika sampai saat ini belum muncul penantang sejati Ahok, bukan karena tidak ada lawan sebagaimana kasus Risma di Surabaya. Itu hanya strategi dalam peperangan, strategi politik tingkat dasar yang sebenarnya sudah dipelajari oleh mahasiswa FISIP semester pertama.
Mari kita nikmati risak-riak demokrasi menjelang gelaran pilgub DKI Jakarta sambil minum kopi pahit agar tidak migrain.
Â
Salam @ybÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H