Lalu, terhadap kritik pemimpin yang suka menggunakan bahasa toilet (isitilah haters Ahok) dibalas dengan jargon : lebih baik kasar tapi bersih dari pada alim/santun tapi korup. Mengapa jargonnya tidak lebih baik pemimpin yang santun dan bersih?
Namun itulah realitas saat ini. Kemampuan komunikasi yang sangat baik para relawan dan pendukung Ahok dalam menyanggah serangan terhadap Ahok, telah menempatkan Ahok sebagai sosok yang tanpa cela, tanpa salah.  Hasilnya, kini Ahok menjelma menjadi Goliath. Ya, Ahok menjadi calon gubernur petahana dengan elektabilitas sangat tinggi sebagaimana dilansir sejumlah lembaga survei. Ahok didukung relawan fanatik yang bukan hanya rela bekerja siang malam tanpa bayaran, tapi juga ikut mencari uang untuk membiayai pengumpulan copy KTP dukungan kepada Ahok. Belum lagi pasukan di dunia maya yang dengan gagah perkasa akan melibas siapa pun yang coba-coba hendak menjadi penantang Ahok. Sederet nama dari kepala daerah hingga musisi, dari ulama hingga preman, pernah merasakan betapa ‘kejamnya’ komentar-komentar dan juga julukkan yang disematkan para pemuja Ahok saat media memberitakan hendak menjadi lawan Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017. Bahkan orang-orang yang sekedar beda pendapat pun akan langsung dihajar tanpa ampun, diungkit keturunannya sampai tahi lalatnya.
Jika sudah demikian, sepertinya tidak ada celah lagi untuk mengalahkan Ahok dalam gelaran Pilgub DKI Jakarta 2017. Hal itu juga yang ada di dalam benak sebagian relawan dan pendukungnya. Mereka membayangkan Ahok akan seperti Tri Rismaharini di Surabaya yang kesulitan mendapatkan lawan karena tingginya elektabilitas yang dimiliki. Hal itu disebabkan karena sampai hari ini belum ada partai politik yang mendeklarasikan calonnya kecuali Nasdem dan Hanura yang telah mengakui mesin politiknya mandul sehingga mencari jalan pintas dengan menghamba pada organisasi non partai. Ingat, Nasdem dan Hanura bukan mengusung Ahok, tapi mendukung Teman Ahok mencalonkan Ahok melalui jalur independen.
Mengapa partai politik besar seperti PDIP, PKS, Demokrat, Golkar dan lainnya tidak segera mendeklarasikan calon yang akan diusung? Apakah mereka galau seperi ditulis sejumlah Kompasianer?
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan sederet nama lainnya bukan politisi kemarin sore. Mereka sudah terbiasa terlibat dalam pertarungan politik besar nan riuh. Â Lucu rasanya jika mengira mereka galau hanya karena menghadapi pilgub DKI Jakarta, apalagi seorang Ahok.
Ada beberapa kemungkinan mengapa tokoh-tokoh gerot itu mengambil sikap demikian. Namun  tulisan ini hanya akan menyoroti dari sisi Megawati.  Kita tentu masih ingat bagaimana dulu menjelang Pilpres 2014 tekanan agar Megawati segera mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden sangat kuat dan masif. Bahkan sejumlah kader PDIP sempat mengancam akan keluar jika Megawati idak segera mengambil keputusan. Sampai menjelang last minute, Megawati tetap diam. Ada yang berpendapat, Megawati galau sebenarnya tidak akan mencalonkan Jokowi tapi dirinya sendiri, bahkan Puan Maharani. Ada juga yang menuding tidak yakin dengan kemampuan Jokowi.
Benarkah demikian? Tidak. Sejarah kemudian mencatat, setelah melakukan serangkai tahapan sesuai mekanisme partai, Megawati kemudian memberikan keputusan untuk mengusung Jokowi sebagai capres. Artinya keputusan itu bukan didasarkan pada desakkan pihak luar, apalagi tekanan masyarakat, namun memang hasil seleksi internal partai.
Salah satu pertimbangan yang kurang dibahas pengamat adalah terkait waktu. Jika sudah dideklarasikan jauh hari sebelumnya, mungkin Jokowi tidak akan maksimal lagi mengemban tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta. Mungkin juga serangan yang dilakukan haters Jokowi yang dimotori kader-kader PKS seperti Jonru akan sangat dasyat sehingga bisa mengundang bentrok fisik. Dengan pengumuman pencalonannya menjelang dimulainya tahapan pilpres, setidaknya mengurangi resistensi yang mungkin timbul. Ingat saat itu sosok Prabowo Subianto ibarat Goliath yang mustahil dikalahkan sehingga benar-benar perlu kecermatan bukan hanya dalam menyiapkan calon lawannya, namun juga timing. Â Â
Kasus yang hampir sama dengan skala lebih kecil, kini tersaji dalam pentas pilgub DKI Jakarta. Ahok telah muncul sebagai Goliath yang menurut para pendukungnya- tidak mungkin kalah, siapa pun lawannya. Sebagaimana umumnya petahana, Ahok memiliki banyak keunggulan baik sarana untuk nebeng kampanye, nebeng fasilitas pemda untuk kepentingan politik (menggelar pertemuan dan makan siang dengan Teman Ahok di Balaikota untuk membahas pengumpulan KTP dukungan), dan tentu saja nebeng anggaran yang disamarkan dalam program kegiatan pemda. Contohnya, menggenjot revitalisasi Kota Tua sebagai destinasi wisata, lalu hal itu dijadikan salah satu materi kampanye oleh relawannya.
Di tengah kebisingan dan euphoria relawan Ahok, adalah kebodohan tak termaafkan jika saat ini muncul sebagai penantangnya. Kasus Ahmad Dhani, Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno, Abraham Lunggana dan sederet nama lainnya yang terang-terangan ingin menantang Ahok, menjadi pelajaran berharga bagi partai politik untuk melawan Ahok dengan diam, dengan kesunyian. Sebab kesunyian itu yang akan membuat Ahok dan relawannya panik. Sampai hari ini Ahok dan para relawannya belum tahu siapa lawan sesungguhnya, sementara mereka sudah kehabisan amunisi untuk menyerang sana-sini secara membabi-buta sehingga setiap hari menciptakan musuh-musuh baru.
Lihatlah fenomena dalam kotak tanggapan terhadap suatu berita yang disediakan media-media berjejaring. Jika tiga, bahkan dua bulan lalu masih didominasi cyber army Ahok, maka hari ini polanya mulai bergeser. Mereka yang menghujat lawan Ahok dan mereka membalasnya dengan bahasa yang tak kalah garang, mulai berimbang. Jika dipetakan, yang menghujat calon lawan Ahok adalah relawan Ahok (dengan sedikit kemungkinan akun palsu yang disusupkan), maka  yang membalas hujatan itu belum diketahui apakah dia relawan orang-orang yang saat ini sudah memproklamirkan diri untuk melawan Ahok namun belum memiliki dukungan (parpol maupun KTP), mereka yang gerah dengan arogansi cyber army Ahok,  atau relawan seseorang yang masih disembunyikan untuk menunggu momentum?