Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca ‘Amarah’ Megawati: PDIP Siap All Out Lawan Ahok

24 Maret 2016   16:36 Diperbarui: 25 Maret 2016   10:31 8724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Amarah Megawati. Sumber: KOMPAS.com"][/caption]Politik adalah cara (seni) untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Maka jelaslah tujuan (utama) partai politik adalah merebut dan/atau mempertahankan kekuasaan. Dalam perkembangannya, untuk mewadahi aspirasi masyarakat yang tidak tertampung dalam partai politik, dibuka jalur perseorangan (independen). Dengan pemahaman itu, baik jalur partai politik maupun jalur perseorangan memiliki tujuan yang sama yakni merebut kekuasaan dan/atau mempertahankan kekuasaan.

---

Acara peluncuran buku “Menangis & Tertawa Bersama Rakyat” berisi kumpulan tulisan sejumlah wartawan senior yang pernah meliput kegiatan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, terutama di masa rezim Orde Baru, berubah menjadi ajang untuk mempertontonkan ‘amarah’ Megawati terhadap Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam kapasitasnya sebagai calon petahana dalam pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017. Amarah di sini sengaja diberi tanda kutip mengingat bahasa politik senantiasa bersayap sehingga ‘amarah’ bisa saja diterjemahkan sebagai tanda sayang. Namun dalam tulisan ini ‘amarah’ (selanjutnya ditulis tanpa tanda petik) akan diulas dalam konteks-an sich.

Kedatangan Ahok atas undangan panitia peluncuran buku sebagaimana dikatakan oleh Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Bukan hanya Ahok, Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat juga turut diundang beserta sejumlah menteri Kabinet Kerja. Hadir juga Kepala Kepala BIN Letjen (Purn) Sutiyoso dan mantan Kepala BIN Jenderal (Purn) AM Hendropriyono.

Namun Megawati tidak mengetahui jika Ahok ikut diundang sehingga merasa heran (terkejut?) Mungkin Megawati benar-benar tidak mengharap kedatangannya. Hal itulah yang memicu amarahnya. Dugaan ini diperkuat dengan ‘serangan’ Megawati berikutnya.

Pertama, Megawati meminta Ahok bersikap jantan. Megawati merujuk pada lambang PDIP yang diplesetkan Teman Ahok sebagai banteng penyihir. Artinya jika memang Ahok sudah memilih jalur independen, mestinya Ahok bisa bersikap jantan dengan tidak membentuk opini masyarakat untuk menyudutkan partai politik. Pernyataan soal mahar untuk partai politik, biaya yang harus dikeluarkan untuk menggerakkan mesin partai hingga ke tingkat ranting sambil menyanjung jalur independen yang (seolah) tanpa biaya, jelas-jelas upaya deparpolisasi dan mendiskreditkan eksistensi partai politik.

Lucunya, meski telah memojokkan partai politik sedemikian rupa, Ahok tetap menerima Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) sebagai pendukungnya. Soal ada atau tidaknya biaya untuk menggerakkan mesin kedua partai tersebut, hanya masalah permainan kata. Tidak ada bedanya dengan ungkapan Teman Ahok yang mengatakan mereka membiayai semua kegiatannya dari hasil penjualan kaos dan merchandise lainnya. Belakangan diketahui, seluruh biaya dari mulai pendirian hingga ‘sewa’ kantor Teman Ahok dibiayai oleh Cyrus Network. Dengan bahasa lain, lima orang anak muda yang diagung-agungkan sebagai pendiri Teman Ahok dan bekerja demi Jakarta yang lebih baik, demi demokrasi yang tidak terkooptasi partai politik - diduga kuat adalah relawan (karyawan?) Cyrus Network, sebuah lembaga survei dan think tank politik yang selama ini memoles citra Ahok.

Megawati juga kecewa karena Ahok yang awalnya merapat ke PDIP (rajin datang dalam kegiatan Megawati dan PDIP) telah diperkenalkan kepada kader PDIP sebagai calon pilihan dalam pilgub DKI Jakarta, ternyata tidak mau mengikuti mekanisme partai. Ahok ‘takut’ pada ancaman Teman Ahok yang akan meninggalkannya jika Ahok memilih menggunakian jalur partai. Untuk memperkuat argumen ini, aku akan cuplik ucapan Ahok yang dikutip dari sini.

"Makanya, saya ngomong. Anak-anak Teman Ahok ini pintar ngomong juga, tahu enggak. Aku bilang, 'Hei aku kalau sama PDI-P kan udah dapat mobil lengkap nih dikasih Ibu (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P), tinggal naik sampai ke kampung berikutnya, kota berikutnya. Kalau sama kalian kan naik bus enggak jelas nih,'" ujar Basuki.

"Mereka bilang apa coba? Kata mereka, 'Kalau naik bus bisa bareng-bareng, Pak. Kalau naik mobil mewah kan kita enggak bisa ikut.' Pintar juga mereka ngomong. Ya sudah, ikut naik bus sajalah, gitu ceritanya," kata Ahok tentang pertimbangannya sebelum membuat keputusan. 

Mungkin bagi Ahok dan para pendukungnya sikap Ahok dinilai sebagai ketegasan dalam menentukan suatu pilihan. Namun tidak salah juga jika pihak lain menilai, ternyata Ahok tidak jantan, mudah digertak dan ditakut-takuti. Ahok ‘terpaksa’ memilih jalur independen, bukan murni pilihan politik, karena adanya ‘ancaman’ akan ditinggalkan oleh Teman Ahok. Bukankah akan lebih elok jika Ahok memilih menggunakan jalur independen tanpa dialasi ‘ancaman’ dari Teman Ahok?

Kedua, Megawati melarang Ahok ikut saweran yang digagaskan dalam acara peluncuran buku itu. Ini bukan main-main. Ada pesan yang sangat serius melalui larangan itu yakni membalas ucapan Ahok yang selalu mengatakan dirinya tidak mau mengeluarkan duit untuk partai politik. Bagaimana pun kegiatan tersebut bernuansa politis karena duitnya akan digunakan untuk membangun monumen demokrasi dan Megawati adalah ketua partai politik. Dengan melarang Ahok memberikan saweran Megawati tengah mengatakan, PDIP tidak butuh duit Ahok.

Kini perseteruan Megawati (PDIP) dan Ahok (plus partai pendukungnya) telah ditabuh. Ketidakhadiran Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto dalam acara peluncuran buku tersebut, padahal sebelum deklarasi dukungan kepada Ahok keduanya selalu ada di sebelah Megawati, semakin menguatkan hal itu.

Melalui amarahnya, Megawati juga tengah menyeru kepada para kader PDIP untuk all out dalam mendukung calon yang akan diusung PDIP dalam pilgub DKI Jakarta. Meski belum diumumkan secara resmi namun pernyataan Hasto dapat menjadi petunjuk siapa calon yang akan diusung dalam pilgub DKI Jakarta. Pertama, dalam beberapa kesempatan berbeda Hasto mengatakan calon yang akan diusung nanti merupakan calon yang berasal dari internal partai PDIP. Kedua, pengumuman calon tersebut disesuaikan karena saat ini PDIP tengah fokus membantu pemerintah menyiapkan pelaksanaan Asian Games 2018. Ketiga, PDIP hanya menjaring beberapa nama bakal calon.

Jika dipetakan maka calon yang dimaksud Hasto hanya merujuk pada satu orang yakni Djarot Saiful Hidayat. Kata kuncinya ada pada kalimat “kader internal dan Asian Games”. Saat ini hanya ada dua kader internal yang selalu muncul dalam bahasan PDIP soal Pilgub Jakarta, yakni Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat. Namun Risma tidak ada kaitannya dengan pelaksanaan Asian Games yang akan digelar di Jakarta dan Palembang.

Tentunya jika PDIP mengumumkan calonnya saat ini, tidak bisa dihindari akan terjadi benturan antara Ahok dengan Djarot plus Presiden Joko Widodo. Sebagai kader PDIP, dalam kapasitas pribadi Jokowi harus ikut menyukseskan calon PDIP. Posisi Jokowi yang dekat dengan Ahok dan seringkali membantu programnya, tentu akan dilematis seperti yang pernah aku ulas di sini.

Kini pertempuran menuju Jakarta 1 sudah digaungkan. Tahapannya akan dilaksanakan mulai akhir April 2016 ini. Bagi Ahok tahapannya akan lebih cepat dibanding calon dari jalur partai politik karena KPU harus melakukan verifikasi copy KTP dukungan dari masyarakat yang dipakai sebagai kendaraannya.

Pertempuran Jakarta 1 tahun 2017 bukan hanya perebutan kursi antar dua-tiga calon, tetapi mempertaruhkan kredibilitas dan gengsi partai politik. Meski bukan hal baru calon yang maju melalui jalur independen berhasil memenangkan pilkada, namun persoalan menjadi beda jika terjadi di Jakarta. Hal itu tentu karena kelebihan dan kekurangan seorang Ahok.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun