Mencari kesamaan politik antara Presiden Ri ke 7 Ir. Joko Widodo dengan Presiden RI ke 2 Jenderal Besar Soeharto adalah kesia-siaan. Keduanya ibarat langit dan bumi. Namun setelah dipaksa dicocokpadankan, ternyata ada beberapa persamaan bahkan sangat identik sehingga layak jika Jokowi disebut sebagai titisan Pak Harto.
Persamaan pertama terkait bahasa tubuh (gestur). Jika Pak Harto suka tersenyum sehingga dunia barat memberi julukkan The Smiling General maka Jokowi suka cengengesan sehingga aku menyebutnya sebagai Mr Cengengesan.
Jika senyum dimaknai positif, maka cengengesan seharusnya juga memiliki arti positif. Tidak selamanya cengengesan itu menandakan ketidakseriusan sebagaimana tidak selamanya senyum itu berarti positif. Bukankah ada senyum yang menandakan kesinisan?
Bisa jadi senyum Pak Harto dan cengengesan Pak Jokowi adalah katarsis dari suatu masalah yang pelik, menyindir pihak lain, atau bisa juga untuk menghindari pernyataan yang menohok. Dalam konteks pembicaraan secara langsung senyum dan cengengesan sama-sama memberi tenggat waktu untuk berpikir sebelum menyatakan sesuatu.
Kedua, ndeso. Dalam bahasa yang lebih humanis disebut sederhana. Pak Harto tetap mempertahankan beberapa kebiasaan sebagai orang desa yang identik dengan kesederhanaan. Salah satunya menu makan. Tahu dan tempe adalah makanan yang harus tersedia di meja makan Pak Harto. Ternyata menu makan Jokowi pun tidak jauh-jauh dari tempe.
Dalam hal berbusana, Pak Harto sangat identik dengan batik. Tamu-tamu negara- termasuk Nelson Mandela, pun dihadiahi batik. Sedangkan Jokowi identik dengan baju putih yang lengannya digulung sebagai simbol dirinya seorang pekerja lapangan, bukan kantoran.
Ketiga, ketegasan. Pak Harto dikenal sebagai pribadi yang sangat tegas terkait kebijakannya sehingga terkesan anti kritik. Pak Harto mengabaikan tekanan dunia internasional ketika menindak- meminjam istilah Pak Harto- gerombolan pengacau keamanan di Aceh dan Papua serta memberangus organisasi tanpa bentuk (LSM). Pak Harto juga dengan enteng menutup media yang salah memberitakan kebijakannya.
Pak Harto menggunakan militer untuk memastikan kebijakannya berjalan. Tidak heran jika pada saat itu ada warga yang menolak lahannya digusur untuk pembangunan dicap sebagai musuh negara sehingga urusannya bisa berakhir di kantor Koramil. Padahal bisa jadi lahan tersebut sebenarnya digusur untuk pembangunan pabrik, perumahan, lapangan golf yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kepentingan negara.
Presiden Jokowi pun memiliki ketegasan yang nyaris tanpa kompromi sehingga lawan dan kawan politiknya- termasuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama Ahok dan juga petinggi PDI Perjuangan, menyebutnya koppig (keras kepala). Jokowi tidak menghentikan kebijakannya untuk menenggelamkan kapal-kapal asing yang menjarah ikan di perairan Indonesia meski diprotes banyak negara tetangga. Jokowi juga tetap mengeksekusi bandar narkoba meski diancam pemutusan hubungan diplomatik oleh negara-negara yang warganya hendak dieksekusi. Bahkan Jokowi pun mengabaikan ‘nasehat’ Sekjen PBB. Buah ketegasan Jokowi juga akhirnya China menghapus Natuna dari peta negaranya.
Sikap tegas juga dipertontonkan secara nyata manakala sejumlah pihak- baik dari partai pengusungnya maupun haters, mendesak agar Jokowi me-reshuffle beberapa menterinya seperti Menteri BUMN Rini Soemarno, Jaksa Agung HM Prasetyo dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Dengan tegas Jokowi menyatakan reshuffle adalah hak prerogatif sehingga dirinya tidak bisa ditekan atau pun didikte oleh siapapun termasuk partai pendukungnya.
Jika Pak Harto mampu melumpuhkan partai politik dan memaksanya untuk fusi sehingga zaman itu hanya ada dua parpol yakni PDI dan PPP serta satu organisasi kekaryaan yakni Golkar. Hebatnya lagi, meski kedua partai itu diposisikan sebagai oposisi, namun tidak ada kebijakan PDI dan PPP yang bisa berjalan tanpa restu Pak Harto.
Dengan cara berbeda, Jokowi juga berhasil memaksa parpol yang tadinya bersuara sangat keras- bahkan mengancam akan melengserkannya, berbalik arah menyatakan dukungan. Meski pernyataan politik seringkali bersayap – karena memang kalimat politik tidak memiliki titik, namun setidaknya Jokowi mampu merubah konstelasi politik dari posisi yang tadinya ‘dimusuhi’ menjadi ‘dibutuhkan’. Meski aku tidak menyukai teori konspirasi, namun ‘kerusuhan’ yang terjadi di ‘rumah’ Golkar dan PPP kuat diduga ada campur tangan istana- minimal membiarkan kerusuhan itu.
Keempat, pembangunan. Gelar Bapak Pembangunan- terlepas setuju atau tidak, disematkan kepada Pak Harto karena di masa kepemimpinannya, pembangunan menjadi priotitas utama. Puluhan bandara, pelabuhan, jalan tol, bendungan dibangun secara terukur melalui konsep Repelita (rencana pembangunan lima tahun). Meski dalam proses pembangunan tersebut terkadang “memakan korban” rakyat kecil- terutama terkait penggusuran lahan, dan hanya menguntung klik Cendana, namun tidak sedikit dari buah karya Pak Harto yang masih bisa dinikmati sampai sekarang. Misalnya Tol Cikampek, Waduk Kedungombo, Bandara Soekarno Hatta, dll.
Dalam satu tahun terakhir, pembangunan infrastruktur juga gencar dilaksanakan Presiden Jokowi. Tanpa kenal lelah, Jokowi memantau pembangunan dari Papua sampai Aceh. Bahkan ada beberapa pembangunan yang terus dipantau layaknya kepala proyek seperti dalam pembangunan Tol Sumatera. Dari 3 kali blusukannya ke Lampung, dua di antaranya khusus untuk menengok perkembangan pembangunan jalan tol tersebut. Pembangunan pelabuhan, jalan-jalan di daerah perbatasan, hingga waduk di Nusa Tenggara, adalah bukti keseriusan Jokowi dalam upaya pemerataan pembangunan.
Tentu masih banyak persamaan lainnya, di samping beberapa perbedaan. Kita akan menjadi saksi apakah Jokowi akan mampu merubah waktu atau beliau yang diubah oleh waktu. Apakah Jokowi akan lebih besar dari Pak Harto ataukah hanya sebatas menjadi titisannya.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H