Jujur saya pribadi sempat kaget ketika melihat visual, tone warna, set, dan efek visual yang nampak sama dengan apa yang dulu pernah saya saksikan.
Alih-alih membuat special show ini kaya akan unsur CGI modern dan cerita "berat" khas film-film superhero masa kini, Power Rangers: Once & Always justru tetap "setia" dengan kesederhanaannya yang membuat beberapa adegan dan dialog terasa cringe.
Tapi cringe itulah yang menurut saya menjadi 'tradisi' yang sengaja dipertahankan karena Power Rangers: Once & Always ini bukan didesain untuk memodernisasi Power Rangers (karena hal ini sudah pernah kita temui di film Saban's Power Rangers tahun 2017), melainkan sebagai surat cinta bagi para fans lawasnya.
Hal ini menjadi pro-kontra karena di lingkungan teman-teman sinefil banyak yang tidak puas akan apa yang disajikan oleh Once & Always ini. Namun bagi saya pribadi, film ini benar-benar memuaskan.
Memuaskan bukan karena sisi produksi kelas atas melainkan karena film ini mampu membangkitkan kenangan masa kecil di tiap scene-nya melalui koreo pertarungan yang khas, efek visual "murahan" khas Power Rangers, jalan cerita apa adanya, dialog yang "cringe", dan tentu saja kehadiran berbagai gimmick seperti "morphin time" yang legendaris itu hingga munculnya megazord di akhir film, khas tv seriesnya.
Menonton film ini seakan menaiki mesin waktu yang membawa kita ke hari Minggu pagi era 90-an dan menyaksikan serial ini di layar kaca sambil mengunyah sarapan. Ah, asyiknya masa itu.
Namun dengan segala kesederhanaan itu film ini masih membawa kemewahan kepada para fansnya melalui hadirnya para aktor original yaitu David Yost (Billy/Ranger Biru), Walter Emanuel (Zack/Ranger Hitam), Steve Cardenas (Rocky/Ranger Merah) dan Catherine Sutherland (Kat/Ranger Pink).Â
Hanya absennya Amy Jo Johnson (Kimberly/Ranger Pink) dan Austin St.John(Jason/Ranger Merah) saja yang memang harus diakui sedikit mengecewakan. Apalagi Amy Jo Johnson jadi aktris favorit saya waktu itu karena (ehem) cantik, heuheu.