Diana Prince:Â You said the age of heroes would never come again.
Bruce Wayne: It will. It has to.
Sejak Zack Snyder memperkenalkan cerita Superman yang baru dan lebih segar lewat Man of Steel di tahun 2013 silam, penonton lantas diberikan sebuah cerita superhero yang lebih dari sekadar jagoan penjaga umat manusia. Snyder dengan visinya yang unik bahkan mungkin sedikit gila, lantas mencoba menggabungkan cerita superhero klasik dengan elemen mitologi dunia yang pada akhirnya membawa tema "Gods Among Us" dalam cerita Superman yang baru.Â
Snyder juga melanjutkan cerita superhero yang lebih kelam dan dewasa, yang sebelumnya berhasil diperkenalkan Nolan melalui trilogi The Dark Knight miliknya.Â
Melanjutkan arc yang dibangun apik pada Man of Steel, Snyder lantas menelurkan Batman V Superman yang ditujukan sebagai sekuel langsung dari Man Of Steel. Di mana pada film ini, porsi penceritaan Batman lebih dominan dibanding Superman.Â
Bagi banyak orang, Batman V Superman mungkin terasa terlalu berat dan terlalu banyak memiliki dialog. Jalan ceritanya pun cukup jumpy sehingga di beberapa adegan terasa kurang nendang.Â
Namun hal tersebut sejatinya berhasil "ditebus" lewat rilisan Batman V Superman: Ultimate Edition yang memiliki 30 menit durasi tambahan, yang ternyata merupakan total adegan yang dihapus pada versi rilis bioskopnya. Di mana hal tersebut sangat berpengaruh pada detail penceritaan dan penjelasan tiap adegan yang sebelumnya terasa "aneh".Â
Justice League lantas dimaksudkan sebagai periode kebangkitan. Kebangkitan akan simbol harapan yang sebelumnya mati dan dipercaya tak akan kembali lagi. Yang mana pada versi 2017-nya tema ini terasa hilang begitu saja dan tak sedalam dua film pendahulunya.Â
Maka setelah menyaksikan versi utuh dari visi awal sang sutradara melalui Zack Snyder's Justice League, semakin jelaslah apa yang menyebabkan versi tahun 2017-nya terasa begitu garing. Skrip Chris Terrio terasa begitu detail dan dalam, yang pastinya tak cukup bila harus disampaikan dalam durasi 2 jam saja.Â
Hal ini sangat wajar mengingat film ini kebalikan dari Avengers yang konsepnya memang menyatukan para jagoan yang sebelumnya sudah mendapatkan banyak porsi penceritaan melalui film solonya masing-masing. Sehingga 2 jam durasi Avengers memang dirasa cukup. Sementara Justice League ide awalnya memang memulainya dari assemble team yang kemudian berlanjut ke film solo masing-masing.Â
Percayalah, Junkie XL dengan visi musiknya memang menjadi pembeda terkait tone dan nuansa yang ingin dibangun pada film ini. ZSJL jadi terasa lebih grande, gagah, sekaligus indah. Menjadi pelengkap estetika yang memang menjadi concern utama dalam setiap film garapan Snyder.Â
Seperti mengamini pernyataan Chris Terrio di tahun 2016 silam bahwasanya Justice League bakal lebih ringan dari BVS, hal tersebut pun akhirnya terbukti dalam Zack Snyder's Justice League. ZSJL memang sangat ringan dan renyah tanpa harus terasa murahan.Â
Jokesnya cukup segar dengan penempatan yang pas. Tidak berlebihan layaknya apa yang dibuat Whedon di tahun 2017 silam. Pun ini menjadi installment paling segar yang dibuat Zack Snyder, setelah pada MOS dan BVS cenderung lebih muram tanpa ada banyak jokes yang muncul.Â
Namun tenang saja, adegan Aquaman yang nampak hilang wibawa kala dirinya menyatakan takut menghadapi parademon setelah memegang lasso of truth milik Diana, atau adegan The Flash menindih Diana saat dirinya terjatuh tidak akan ada. Dan kedua adegan tersebut memang seharusnya tak pernah ada.Â
Ada unsur mitologi, warisan, dan ambisi yang membuat sosok Darkseid tak sekadar super villain. Membuatnya menjadi sosok jahat yang tak hanya bengis, tapi juga terasa kaya karakterisasinya. Ada cerita dari masa silam yang membuatnya harus sekali lagi berhadapan dengan satu-satunya planet yang para penjaganya pernah membuatnya terluka.Â
Bahkan jika kita merasa bahwa kemunculan Steppenwolf di versi 2017 terasa klise, hal tersebut memang valid. Karena memang tidak akan ada Steppenwolf tanpa kehadiran Darkseid. Dan apa yang dilakukan Steppenwolf dalam ambisinya merebut Motherbox tidak semata-mata ingin memenuhi ambisinya saja. Ada sejarah bahkan hutang yang harus dilunasinya dibalik obsesinya menyatukan motherbox.Â
Victor Stone dengan latar kisahnya yang begitu pedih, memang menjadi semacam penyeimbang di tengah riuhnya peperangan para dewa. Membuat ZSJL terasa lebih membumi setelah di sepanjang film dibombardir dengan berbagai unsur mitologi kuno dan berbagai pertarungan para superhero.Â
Pantas saja Ray Fisher begitu kecewa dengan banyaknya adegan miliknya yang dipotong di tahun 2017 silam. Mengingat perannya sebagai Cyborg di sini ternyata cukup krusial dan berbeda dengan versi 2017 yang terasa hanya sebagai peran penghibur saja.Â
Versi Snyder Cut ini juga lebih menunjukkan natural talent yang dimiliki oleh Barry Allen. Bagaimana kecepatannya tak sekadar digunakan untuk melawan musuh namun juga untuk melakukan keputusan krusial pada final fight melawan Steppenwolf. Kecerdasannya menjadi pembeda bagi super tim tersebut.Â
Keterkaitan antar event pada dua film sebelumnya jadi sangat jelas di sini. Tidak terasa jumpy.
 Semuanya dijelaskan dengan detail pun dengan tebaran easter egg yang juga semakin kuat memberikan sinyal bahwa perjalanan Justice League sejatinya masih sangat panjang.Â
ZSJL jelas membuktikan bahwa visi Snyder memang berbeda. Ia tidak ingin apa yang dibuatnya sama dengan MCU. Diferensiasi menjadi kunci walaupun industri mengakui bahwa cara yang ditempuh MCU jauh lebih cepat mendatangkan profit.Â
Namun permintaan akan versi director's cut yang dituntut para fans membuktikan bahwa tak selamanya yang terlihat menguntungkan akan membuat fans bahagia. Fans butuh layanan yang memuaskan mereka lewat cerita yang padat dan easter egg yang banyak. Juga kemunculan berbagai hero baru serta cameo yang membuat mereka terangsang untuk bermain-main dengan fan theory. Karena fan theory membuat franchise tetap hidup dan dinantikan.Â
Inilah yang sejak awal ditangkap Zack Snyder. Di mana melalui ZSJL-nya, Snyder menunjukkan bahwa ia mengerti apa keinginan terbesar para fans. Dan akhirnya diwujudkan dengan cerita yang benar-benar memuaskan. Terlihat dari bagaimana rating audiens begitu tinggi di situs rotten tomatoes serta IMDB.Â
Pun rasa penasaran akan film ini juga memakan korban pada server HBO GO Asia di tanggal 18 Maret kemarin. Yang sejak jam 14.00 wib tidak bisa diakses. Begitu tingginya demand menyaksikan film ini, membuat HBO GO baru nyaman diakses dua sampai tiga jam setelah film ini rilis.Â
ZSJL pada akhirnya menjadi semacam tamparan bagi Warner Bros. Mereka seharusnya lebih sabar dalam mempercayakan visi yang sudah disetujui sejak awal. Bahwasanya visi tak harus sama dengan tetangga, karena pada akhirnya yang paling unik dan terbaiklah yang akan "menang".Â
Dengan kesuksesan film ini yang begitu masif, selanjutnya pastilah akan ada permintaan sekuel dari para fans. Di mana pada media sosial juga sudah mulai bertebaran hashtag #RestoreTheSnyderverse, merujuk pada permintaan fans kepada WB untuk melanjutkan universe yang sudah dibangun begitu kuat oleh Snyder.Â
Pun tuntutan untuk menjadikan ZSJL sebagai film cannon menggantikan Justice League tahun 2017 juga semakin lantang menggema. Yang berarti memang Snyder Verse harus berlanjut.
Atau melanjutkan permintaan fans karena permintaan yang sangat amat tinggi tersebut? Mengingat demand dari para fans juga berarti cuan dan keberlanjutan waralaba di masa depan.Â
Ya, kita tunggu saja akan bagaimana kelak keputusannya.Â
 Ya, penulis hanya terganggu dengan slow motion yang terlalu banyak, walaupun di beberapa bagian memang sangat estetik dan menarik. Sisanya tak ada yang perlu diperdebatkan karena ini adalah karya terbesar dan terbaik yang pernah dibuat oleh Snyder.Â
Haters: "You said Snyder Cut would never come again?"Â
Fans:"It will. It has to"
Salam Kompasiana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H