Film laga bertema perampokan atau heist movie sejatinya sudah cukup sering disajikan oleh Hollywood. Pun begitu dengan film bertema kriminal yang menggunakan unsur 'keluarga' sebagai penggerak inti ceritanya.
Baby Driver, Reservoir Dogs, The Bank Job, Logan Lucky, Widows dan Four Brothers adalah beberapa contoh film-film yang memiliki tema seperti yang disebutkan sebelumnya. Namun jika berbicara dalam lingkup perfilman Indonesia, film dengan tema seperti ini rasanya masih sangat langka dan meninggalkan ruang kosong yang masih sangat lapang untuk diisi.
Darah Daging kemudian muncul dengan maksud mengisi kekosongan tersebut. Film ini menjadi debut penyutradaraan Sarjono Sutrisno yang sebelumnya lebih sering berkutat di kursi produser untuk film-film seperti Tebus, The Witness, Valentine dan Surat Kecil untuk Tuhan.
Dibantu oleh Beby Hasibuan(Valentine, The Witness) dalam penulisan skripnya, Darah Daging lantas memadukan unsur heist movie dalam aksi laga yang memikat dengan drama keluarga yang juga cukup kokoh sebagai inti ceritanya.
Lantas, apakah film ini worth untuk disaksikan di minggu tayangnya ini? Yuk, kita masuk ke pembahasannya.
Sinopsis
Darah Daging bercerita tentang 3 orang kakak beradik yaitu Arya(Ario Bayu), Rahmat(Rangga Nattra) dan Fikri(Arnold Leonard) yang dengan terpaksa masuk ke dalam aksi perampokan bank demi menyelamatkan nyawa ibu mereka yang sedang kritis.
Dibantu oleh Salim(Donny Alamsyah) dan Borne(Tanta Ginting) yang menyediakan senjata api untuk melancarkan aksinya, mereka pun lantas melakukan aksi tersebut dengan nekat dan tanpa pengalaman sama sekali.
Sebuah insiden di dalam bank lantas menjadi titik balik rangkaian aksi yang mereka lakukan. Satu kesalahan fatal yang memakan korban pada akhirnya membuat berantakan seluruh rencana dan mencederai kepercayaan satu sama lain terkait motif tersembunyi dibalik perampokan tersebut.
Kini, mereka pun harus segera berjuang melewati segala rintangan yang ada di depan mereka sembari tetap memperjuangkan hak darah daging mereka.
Drama Aksi yang Tak Hanya Seru Namun Juga Menyentuh
Darah Daging bisa dibilang memiliki performa yang melebihi ekspektasi penulis. Bahkan jika boleh jujur, film ini menjadi counter programming yang cukup worth untuk disaksikan di tengah gempuran Jumanji dan Frozen IIÂ yang hingga kini masih menguasai layar bioskop nasional.
Setidaknya ada beberapa hal yang menentukan film heist, dalam hal ini film Darah Daging, menarik atau tidak untuk disaksikan. Yang pertama adalah motif atau latar belakang tindakan mereka. Yang kedua adalah eksekusi aksinya. Dan yang terakhir adalah konklusi atas segala tindakan yang mereka lakukan.
Dikarenakan film ini memulainya dengan adegan perampokan terlebih dahulu, maka dalam pembentukan latar belakang atau motif tindakan perampokan yang dilakukan oleh para tokoh utamanya, film ini menggunakan pendekatan flashback untuk menjelaskannya. Tricky namun beruntung hal tersebut berhasil dengan mulus dieksekusi.
Tiap-tiap karakternya mendapatkan porsi penceritaan latar belakang yang cukup padat. Pun dengan alasan-alasan yang menjadi dasar atas tindakan perampokan yang mereka lakukan masih terasa logis dan terbangun dengan cukup apik. Ya, kecuali karakter Borne-nya Tanta Ginting yang terasa kurang solid penceritaan latar belakangnya sehingga nampak muncul sebagai pelengkap saja.
Karena pujian jelas patut disematkan pada dua nama baru yaitu Rangga Nattra dan Arnold Leonard. Keduanya seakan menjadi angin segar di tengah kemunculan aktor Indonesia yang terkesan itu-itu saja.
Penampilan mereka di sini jelas mampu jadi sorotan. Sehingga menurut penulis, sudah sangat layak bagi mereka untuk bisa diberikan kesempatan bermain di proyek film lain yang lebih menantang.
Sedangkan untuk eksekusi aksinya, meskipun tidak terasa spesial namun cukup baik dalam menghadirkan nuansa pertempuran sengit dan mencekam antara polisi melawan perampok.
Kombinasi ilustrasi musik garapan Rizal Mamun juga berpadu apik dengan sound effect desingan peluru senjata laras panjang yang terdengar real. Sehingga mampu menghasilkan adegan aksi intensitas tinggi yang cukup terjahit rapi.
Pemilihan teknik Shaky Cam oleh sinematografer Budi Utomo untuk menangkap adegan aksinya juga dirasa cukup tepat. Memang visualnya tak sebagus The Raid yang sampai saat ini masih menjadi film yang dengan sukses memadukan teknik Shaky Cam dan Steady Cam untuk menghasilkan adegan laga yang cukup real. Namun hasil pada Darah Daging sejatinya juga bisa dibilang cukup baik.
Karena penonton seakan diajak ke dalam suasana aksi dalam film meskipun efek sampingnya mungkin terasa memusingkan bagi penonton yang tak terbiasa dengan teknik pengambilan gambar seperti ini.
Hanya saja, titik lemah film ini ada pada bagian aksi dan reaksi yang tidak cukup halus. Seperti kita tahu, untuk film laga seperti ini reaksi yang natural sangat dibutuhkan untuk mendukung kekuatan tiap aksi yang dilakukan. Namun Darah Daging tidak seperti itu.
Ada beberapa adegan yang seharusnya memiliki reaksi lebih real, namun jadi terkesan mengada-ada. Seperti orang-orang yang hanya menyaksikan dari jauh dan sama sekali tak ada yang datang ketika adegan Rahmat kecelakaan mobil. Atau adegan baku tembak dengan polisi yang masih terasa kaku. Hingga adegan membobol ATM yang terasa sia-sia karena sejatinya mereka ada di dalam bank yang sama, tempat mereka membobol brankas besarnya.
Memang adegan-adegan tersebut cukup make sense jika mengingat mereka adalah segerombolan perampok amatir. Hanya saja sedikit riak pada unsur reaksi tersebut memang cukup mengganggu intensitas aksi yang sudah dibangun apik di sepanjang film.
Bahkan salah satu adegan yang menurut penulis seharusnya tidak memerlukan adanya green scene, kembali menjadi faktor yang memperlemah film ini. Adegan jadi terasa kurang real karena editannya pun terasa kurang rapih pada bagian ini.
Orang baik yang dalam kondisi terjepit bisa terpaksa melakukan tindak kejahatan, jelas menjadi pesan utama yang sukses disampaikan pada film ini. Selain juga tentang betapa berharganya sebuah keluarga dan pengorbanan yang mereka lakukan demi mempertahankan kelangsungan hidup darah daging yang dicintainya.
Dan Darah Daging pada akhirnya justru meninggalkan after taste yang lebih mengena terkait pesan pada sisi dramanya tersebut dibandingkan dengan adegan aksinya.
Penutup
Darah Daging memang bukanlah film laga dengan close combat rapat dan hujan darah layaknya The Raid atau The Night Comes For Us. Sisi drama keluarga yang menyentuh dan hangat jelas lebih dominan meskipun setengah durasinya memang dipenuhi adegan pertempuran seru menggunakan senjata api.
Darah Daging jelas memiliki banyak kekurangan di sana-sini. Namun hasil karya sang sutradara debutan ini tetap berada di atas ekspektasi dan patut diapresiasi.
Skrip yang kokoh, visual yang apik serta performa ciamik dari para aktornya jelas menjadikan film ini sebagai tontonan yang worth untuk disaksikan di minggu ini.Â
Keberanian mengangkat tema 'baru' lewat film Darah Daging jelas menjadi bukti bahwa genre film Indonesia kini semakin menarik dan beragam dengan kualitas penggarapan yang cukup maksimal dan memuaskan.
Darah Daging juga menjadi semacam penanda bagi Skylar Pictures dalam menatap masa depan yang cerah terkait film-filmnya yang akan diproduksi di masa depan, setelah hiatus cukup lama di industri perfilman Indonesia.
Darah Daging tayang mulai 5 Desember 2019 di jaringan bioskop XXI, CGV dan Cinepolis. Tontonlah.
Skor: 7,5/10
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H