Di satu sisi transisi waktu yang cukup cepat tersebut memang dibutuhkan terkait durasi filmnya. Namun di sisi lain, pada sebuah adegan yang membutuhkan efek ledakan emosional yang membuncah, transisi waktu yang mengubah visual menjadi penjelasan lewat tulisan itu justru melemahkan efek emosional tersebut. Hambar atau tanggung, mungkin menjadi kata yang bisa sedikit menggambarkan hal tersebut.
Walaupun lemah dalam sisi pacing, namun kenyataannya film ini cukup mampu menunjukkan dirinya sebagai file sejarah yang kita serta anak cucu kita butuhkan di kemudian hari. Menjadi salah satu bukti sejarah yang berperan sebagai pelengkap, selain jurnal dan rilisan artikel tentang kasus ini tentunya.
Dan tentu saja kasus ini akan tetap relevan untuk diceritakan sampai kapanpun. Bahkan bagi kita di Indonesia yang juga sedang berjibaku dengan kasus perusakan lingkungan, Dark Waters seakan menjadi pengingat bahwasanya pencemaran lingkungan benar adanya dan permainan korporasi raksasa yang sulit terelakkan itu memang menjadi batu sandungan yang menyulitkan ruang perlawanan kelompok-kelompok penggugat.
Dan hal tersebut masih terus dirasakan Bilott namun tetap tidak membuatnya mundur dari apa yang diyakininya sebagai kebenaran yang harus diungkap dan diperjuangkan.
Penutup
Setiap dinamika konflik, dialog yang kuat dan on point hingga penggambaran adegan pilu sekaligus mencekam di film ini, membuat Dark Waters cukup meyakinkan sebagai film yang efektif menyampaikan pesan terkait kondisi lingkungan di era modern ini. Membuatnya cukup kokoh sebagai film yang mampu menggerakkan kepedulian banyak orang terhadap lingkungan tempat tinggalnya.
Dark Waters siap memberikanmu pengetahuan dan fakta baru lewat layar bioskop sejak 27 November 2019. Film yang dihadirkan CBI Pictures ini tayang di jaringan bioskop CGV, Cinepolis dan Flix.
Skor: 8/10
Salam Kompasiana!