Dan masa-masa gelap tersebut bukan tidak mungkin akan kembali lagi jika kita kemudian abai untuk menjaga persatuan tersebut. Abai dalam mendahulukan sifat utama yang harus dimiliki sesama manusia yaitu kasih.
Indonesia adalah negara kesatuan yang terdiri dari banyak suku, etnis dan agama. Dan terus akan seperti itu hingga di masa depan. Tak boleh mencederainya hanya demi kepentingan politis tertentu.
Sehingga praktis, Love All bukan hanya sekadar jargon yang menunjukkan sebutan khas dalam bulutangkis, namun menjadi semacam pesan cinta kepada sesama dan Indonesia, yang memang ingin disampaikan film ini.
Pelepas Dahaga di Tengah Keengganan Kita pada Film Biopik
Saya rasa, para sineas dan studio film nasional bukan tidak mau memproduksi banyak film biopik yang diangkat dari tokoh-tokoh nasional kita. Hanya saja pendapatan film biopik memang tidak pernah memuaskan, di mana selalu kalah dari genre yang lebih populer semisal drama romantis dan tentu saja horor.
Mungkin hanya beberapa saja film biopik nasional yang berhasil menuai sukses luar biasa. Contohnya seperti Sang Pencerah yang mencapai angka 1 juta penonton, A Man Called Ahok di angka 1,4 juta penonton dan tentu saja Habibie & Ainun yang sampai menyentuh angka 4 juta penonton. Sisanya, cenderung kurang dari 1 juta bahkan hanya ada di kisaran 100-300 ribu seperti Chrisye, Sang Kiai dan tentu saja Susi Susanti yang sampai saat ini baru menyentuh angka penonton sebesar 177 ribu-an.
Hanya saja, Habibie & Ainun memang memiliki unsur cinta-cintaan yang lebih dominan dibanding biopik perjalanan BJ. Habibie menuju puncak karirnya sebagai Presiden itu sendiri. Sehingga film ini memang lebih bisa merangkul banyak kalangan.
Sementara Susi Susanti dan beberapa film biopik lainnya yang meskipun dilengkapi unsur romansa, namun tetap mengedepankan cerita sejarahnya sehingga tidak begitu 'ramah' untuk semua kalangan.
Itulah yang sejatinya menjadi dilema bagi sebuah film biopik. Di satu sisi film seperti ini cukup mahal biaya produksinya dan memang dibutuhkan untuk menyampaikan sejarah dalam medium yang lebih ringan. Sederhananya, film seperti inilah yang memang bertujuan untuk mencerdaskan dan menjaga sejarah bangsa kita, pahit ataupun manis, agar tidak terlupakan bagi generasi mendatang.
Namun di satu sisi penonton kita memang masih abai dalam menerima film biopik. Keengganan penonton untuk menikmati sejarah (meskipun dalam medium yang menyenangkan) masih menjadi momok bagi para pelaku industri film.