Tentu tidak ada film biopik di belahan dunia manapun yang sejauh ini memiliki tingkat akurasi cerita hingga 100%. Entah ada film yang salah timeline, ada yang melengkapinya dengan karakter fiktif baru, bahkan ada juga yang menutupi beberapa bagian 'menyakitkan' untuk digantikan dengan adegan alternatif yang menunjukkan sisi dramatis.
Namun sejatinya hal tersebut adalah hal biasa di dalam produksi sebuah film biopik. Begitupun dengan film Susi Susanti: Love All ini.
Porsi latihan Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang begitu berat, sejatinya memang kurang di expose pada film ini. Entah karena durasi atau memang fokus kepada hal lainnya semisal visualisasi percintaan mereka, namun kita memang tidak pernah benar-benar diperlihatkan kondisi latihan yang sebenarnya dari Susi Susanti dan kontingen Indonesia lainnya.
"Dulu kita latihan sampai jam 10 malam biasanya. Kalau sudah latihan, kita sudah sampai enggak bisa bangun dari tempat tidur," kata Alan mengenang, kepada Historia.id
Pun pada saat adegan final Barcelona di tahun 1992 yang didatangi oleh MF Siregar dan Try Sutrisno, faktanya tidak berbicara seperti itu. Siregar tak sempat menyaksikan Susi secara langsung kala berlaga di event akbar tersebut lantaran masih berjuang dalam proses pemulihan pasca operasi jantung.
Namun sejatinya, ketidakakuratan beberapa momen sejarah dalam film ini tak lantas melunturkan kualitas lain yang melingkupi film ini. Susi Susanti masih menjadi film yang mampu membakar semangat nasionalisme yang memang saat ini sedang dibutuhkan oleh negara ini.
Beberapa momen dramatis untuk menunjukkan rasa cinta terhadap Indonesia juga mampu ditampilkan dengan sangat baik. Bahkan beberapa momen tersebut juga mampu 'berbicara' cukup banyak meskipun kemudian disampaikan secara subtil.
Konflik pelengkap yang muncul dari isu rasisme yang diangkat pun sejatinya cukup baik dalam menyampaikan pesan toleransi dalam film ini. Etnis Cina yang memang sempat menjadi bahan perundungan di era tersebut, lantas digambarkan dalam momen menyentuh sekaligus menyakitkan.
Di satu sisi nampak membuka luka lama yang sudah tertutup rapat, namun di satu sisi juga menunjukkan dengan gamblang bahwa bangsa ini memang pernah berada dalam masa kegelapannya.
Tak hanya kesulitan mendapat pengakuan sebagai warga negara dari pemerintah, kondisi fisik yang berbeda pun menjadi tujuan utama perundungan kala itu. Apalagi kemudian semakin menjadi-jadi kala pergolakan 1998 mencederai toleransi itu.