Ah, Arini akhirnya kembali lagi dalam petualangan cinta terbarunya. Beberapa tahun setelah ia meninggalkan Richard (Gading Marten) di film pertamanya dan seketika menghasilkan patah hati yang begitu hebat bagi Richard.
Arini, dengan sosoknya yang manis, pandai dan mampu menaklukkan hati pasangannya melalui cara uniknya untuk kemudian ditinggal begitu saja, lantas disebut sebagai salah satu karakter wanita paling jahat yang pernah ada dalam sejarah film Indonesia. Maka jargon 'the most horror love story' lantas disematkan pada poster film keduanya ini.
Lantas, apa iya Love for Sale 2 benar-benar menampilkan sosok Arini layaknya seorang villain yang layak ditakuti?
Maka sebelum melangkah ke pembahasan lebih jauh, terlebih dahulu penulis ingatkan bahwa tulisan ini mengandung beberapa spoiler. Karena nampaknya agak sulit untuk membahas film ini tanpa ada spoiler yang menyertainya.
So bagi anda yang tidak mau terganggu dengan spoiler, saya tegaskan bahwa anda harus berhenti membaca tulisan ini sampai di sini.
***
Bagi yang belum pernah menyaksikan film pertamanya, masih bisa mengikuti jalan cerita film ini secara keseluruhan meskipun mungkin akan sedikit kebingungan terkait poin penting yang disampaikan di awal serta akhir film ini. Tepatnya pada mid-credit scene.
Adalah Ican (Adipati Dolken) dan keluarganya yang kali ini menjadi fokus penceritaan. Ican harus mengalami tekanan untuk menikah dari keluarga besarnya terutama ibunya, Ros(Ratna Riantiarno), karena kini ia sudah berada pada usia 32 tahun.
Ican yang masih senang sendiri karena fokus pada karier dan menjalani hubungan dengan berbagai wanita untuk maksud senang-senang saja, lantas dibuat cukup lelah oleh keinginan sang ibu. Bahkan perkenalan dengan sosok wanita rekomendasi sang ibu pun tak berjalan lancar.
Pada dasarnya keluarga Ican pun merupakan keluarga biasa namun bahagia layaknya keluarga kita masing-masing di dunia nyata. Ada Ndoy (Ariyo Wahab), sang kakak yang jadi panutan karena bekerja sebagai PNS layaknya almarhum sang ayah. Juga ada Buncun (Bastian Steel), sang adik yang tampil urakan, tak punya perkerjaan, juga seorang pemadat.
Kecuali Ican, mereka semua telah berkeluarga meskipun mantu-mantunya jauh dari kata sempurna bagi sang ibunda. Itulah sebabnya ibunya tak pernah akur dengan mantu, khususnya pada istri Ndoy, Maya (Putri Ayudya), meskipun rumah mereka berdekatan.
Namun sang ibu yang juga melakukan aktifitas hari tua layaknya sosok ibu kita di dunia nyata ini semisal mengaji, ngobrol seputar anak di teras rumah bersama tetangga dan pergi ke pasar, nampak masih tidak menemukan kebahagiaan yang ia cari.
Bu Ros cenderung selalu memasang wajah murung meskipun hal tersebut tak menghilangkan jejak kebaikan di wajahnya.
Ican yang pada awalnya memang hanya 'menyewa' Arini untuk memberikan ketenangan bagi keluarganya terkait status lajang tanpa pacarnya, lama kelamaan menemukan sesuatu yang berbeda dalam diri Arini.
Ada harapan sekaligus perasaan berbeda yang timbul dalam diri Ican. Ican pun kemudian sadar bahwa ia telah jatuh cinta dengan Arini, dan itu berbahaya.
***
Deretan scoringnya pun berada pada posisi yang pas dan mampu menambah efek dramatis ataupun momen emosional pada setiap adegan yang berlangsung. Ditambah dengan deretan soundtrack berirama folk yang mengalun lembut di sepanjang film, tentu saja semakin membuat tiap adegan terasa hidup.
Love for Sale 2Â sejatinya juga cukup baik menangkap kondisi keseharian warga biasa menjadi gambaran aktual terkait lingkungan sosial kota Jakarta saat ini. Rumah di lingkungan padat penduduk lengkap dengan suara kentongan dari gerobak penjual makanan, tongkrongan ala bapak-bapak, kondisi lingkungan di pusat bisnis Jakarta, hingga suasana rumah yang guyub di mana masih jamak ditemui hingga saat ini.
Semua hal tersebut nampak menyatu dengan halus pada narasi yang akan dibawa pada film ini. Termasuk kenapa pada akhirnya Ican memilih aplikasi Love Inc yang kemudian mengirim sosok Arini untuk 'membahagiakan' ibunya.
Arini justru kini datang di tengah keluarga yang normal, yang meskipun konflik kerap terjadi namun masih tetap mempertahankan nilai-nilai kekeluargaan.
Kali ini Arini tidak hanya menunjukkan profesionalismenya kepada satu orang saja seperti halnya Richard, namun juga kepada keluarga besar Ican. Ya, keluarga yang memang sedikit kehilangan harapan dan kebahagiaan, di mana semuanya bersumber dari sang ibunda.
Jika kita sebagai penonton ikut merasakan penderitaan Richard pasca ditinggal Arini di sepertiga akhir film Love for Sale, maka kita tak akan menemukan sensasi itu pada film Love for Sale 2. Kepergian Arini bukanlah sesuatu yang mengagetkan lagi, pun bukanlah sesuatu yang nampak jahat karena Ican pun menyadarinya.
Praktis, kali ini Arini meninggalkan luka begitu dalam yang justru dirasakan oleh sang ibu, bukan Ican. Karena alih-alih mendalami cerita hubungan antara Arini dan Ican, film ini memang berfokus pada sosok ibu dan bagaimana Arini mengambil hatinya untuk seketika berperan layaknya anak perempuan bagi sang ibu. Sementara relationship dengan Ican sendiri baru dipadatkan di sepertiga akhir.
Sulit memang menyamai pencapaian yang dihasilkan film pertamanya. Namun usaha sutradara Andibachtiar Yusuf bersama penulis skenario Mohammad Irfan Ramly dalam menggodok kisah petualangan Arini menjadi sebuah cerita baru jelas patut diapresiasi.
Love For Sale 2 mampu berjalan secara mandiri meskipun tetap membutuhkan benang merah yang sudah terbentuk di film pertamanya sebagai penguat berbagai konflik dan karakter baru di film ini.
Meskipun di filmnya kali ini terdapat multiple conflict yang sebenarnya berpotensi memperkuat rasa utama film ini, namun entah mengapa, deretan konflik tambahan tersebut justru banyak yang nampak antiklimaks dan terkesan ada hanya untuk memberikan penjelasan yang sejatinya tak diperlukan.
Baik Bastian Steel, Revaldo dan Egy Fedly, semuanya mampu memberikan performa terbaiknya sesuai dengan supporting character nya masing-masing. Penampilan mereka begitu membumi dan membuat kita percaya bahwa tokoh mereka benar ada di dunia nyata. Mereka sangat baik dalam merepresentasikan suku Padang lintas generasi.
Pujian patut diberikan kepada Ratna Riantiarno yang begitu luar biasa merepresentasikan sosok ibu 'impian' di dunia nyata. Dia baik, taat beribadah, bahkan mampu menjadi role model bagi anak-anaknya pasca ditinggal suaminya, meskipun tingginya ekspektasi kepada para menantunya selalu mengiringnya kepada kekecewaan dan cerewet tiada akhir.
Sementara Adipati Dolken, meskipun menampilkan performa yang tidak bisa dibilang mengecewakan, penampilannya disini tak begitu iconic layaknya apa yang ditampilkan Gading Marten sebelumnya. Sosoknya yang jauh 'lebih teratur' membuatnya tampak biasa, tak sesegar Gading dengan garukan di sekitar selangkangan yang menjadi cici khasnya.
Karena biar bagaimanapun saya tetap berada dalam posisi membela Arini meskipun tagar #AriniBaik vs #AriniBangsat menggema di jagat twitter. Arini yang kali ini dilengkapi dengan fam Chaniago, jelas punya itikad baik untuk membahagiakan orang-orang yang mempercayakan 'jasanya'. Arini, sangat profesional.
Maka film ini pun juga meninggalkan sebuah pesan yang begitu dalam terkait kebahagiaan, sudut pandang dan ekspektasi. Karena nyatanya kebahagiaan hanya bisa didapat jika kita memiliki sudut pandang yang baik dan mampu menangkap segala hal yang terjadi di sekitar kita dalam lingkup yang lebih luas.
Ya, sama seperti konsep Arini. Karena bagi saya sejatinya Arini itu baik dengan segala niatnya memberikan kebahagiaan pada semua orang. Justru ekspektasi kitalah yang kemudian membuatnya nampak menjadi jahat.
Skor: 8/10
*Jangan lewatkan mid credit scene film ini. Dan bagi yang belum menyaksikan film pertamanya, Love for Sale sudah bisa di streaming di platform Netflix.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H