Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Halloween | Bu Lik Memanggilku dengan Lirih

31 Oktober 2019   19:30 Diperbarui: 31 Oktober 2019   20:01 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dek, cepat makan dulu sana, nasi sama lauknya sudah siap," seru ibu. "Habis itu tinggal mandi terus istirahat, kan capek seharian," tambahnya.

Aku pun bergegas menuju dapur setelah terlebih dahulu berganti pakaian dari seragam sekolah ke kaos oblong harian. Maklum, hari itu aku baru saja pulang dari bimbingan belajar untuk menghadapi UAN di jenjang Sekolah Menengah Pertama.

Dua lembar tempe goreng digoreng kering, satu butir telur bumbu balado dan cah kangkung yang kuambil secukupnya pun lantas memenuhi sepiring nasi yang kuambil cukup banyak malam itu. Oh iya, bahkan aku sempat menambah nasi sekali lagi saking laparnya. Maklum, perut anak sekolah memang dikenal tak bisa cepat kenyang.

Selesai makan malam aku pun langsung bergegas mandi. Guyuran air dingin seketika menyegarkan tubuhku yang sebelumnya terasa lelah dan gerah. Energi baru pun seakan muncul kembali dan ide untuk bermain video gim pun muncul di kepala.

Ya, sekadar untuk melepas lelah setelah seharian berkutat dengan materi-materi pelajaran yang jumlahnya sangat banyak itu. Rasanya, bermain video gim satu hingga dua jam tak masalah, sebelum kemudian aku menutup hari di pulau kapuk yang tak lagi empuk itu.

"Bu, aku main play station ya di atas," teriakku pada ibu yang sedang berada di dalam kamar mandi.

"Iya, tapi jangan lama-lama. Jam 9 atau 10 selesai ya, terus tidur. Besok sekolah lagi lho," jawab ibu menyetujui keinginanku.

Aku pun bergegas ke lantai atas, tempat di mana konsol gim Play Station 2 lengkap dengan televisi tabung Sony 20 inch diletakkan. Ya, ibu sengaja meletakkan video gim dan juga dvd player di lantai atas agar kegiatan anak-anaknya menyaksikan film atau bermain video gim tidak mengganggu aktifitasnya menyaksikan sinetron pada televisi yang ada di ruang keluarga.

Namun sebelum ke lantai atas melewati tangga terbuka yang menghubungkannya dengan balkon kecil dan pintu kamar atas, terlebih dulu aku harus melewati taman kecil dan kolam ikan yang ada di dekat meja makan

 Antara meja makan dan taman yang berdekatan itu dipisahkan oleh pintu geser yang menghubungkannya dengan ruang tv atau ruang keluarga. Jadi dari ruang keluarga aku bisa melihat aktifitas di meja makan, taman, serta tangga menuju lantai atas, begitupun sebaliknya.

Nah, dari taman kecil itu aku juga bisa melihat rumah salah satu tetanggaku yang kebetulan juga berlantai dua. Rumah yang bagus sebenarnya, namun entah mengapa selalu dibiarkan gelap gulita di bagian balkonnya. Dan entah mengapa juga selalu saja ada yang seperti berusaha 'menarik' mata ini untuk melihat ke arah balkon itu. Meskipun ketika dilihat tidak ada apa-apa.

Ya, tidak ada apa-apa. Setidaknya hingga malam itu.

Aku yang terbiasa bermain video gim ditemani seekor anjing peliharaan bernama Cimut, lantas mengajak anjingku untuk ikut serta ke lantai atas. Kebetulan dia sedang duduk di pinggir taman. Duduk tenang namun dengan pandangan 'marah' ke arah balkon rumah tetanggaku.

"Cimut, yuk ke atas," aku pun memanggil anjingku. "Mut, woy. Ayok. Lihat apa sih?" tambahku sambil melihat ke balkon rumah tetanggaku yang memang tidak ada apa-apa.

Tak digubris, aku pun memanggilnya kembali dengan suara yang lebih kencang dan sedikit gerakan menarik tubuhnya. Namun anehnya, tubuhnya tetap keras dan sulit ditarik. Seperti ada yang benar-benar membuatnya marah hingga ia membentuk posisi duduk sembari membentuk setengah kuda-kuda.

Aku yang malas mengajaknya lagi kemudian memilih untuk ke lantai atas sendirian. Berharap ia akan menyusul dan menggonggong untuk dibukakan pintu seperti biasanya.

Namun sebelum benar-benar sampai di lantai atas, fenomena aneh lantas aku rasakan saat itu. Rumahku yang kebetulan berada persis di samping jalan raya di mana biasanya terdistorsi oleh raungan knalpot sepeda motor, seketika hening sehening-heningnya.

Aku tidak merasa curiga, hanya sedikit aneh akan fenomena itu. Ditambah kemudian hembusan angin yang entah darimana datangnya menerpa tubuhku dengan lembut dan menimbulkan sensasi merinding yang luar biasa.

Aneh pikirku, tapi aku tak mau berspekulasi lebih jauh. Menekan tombol di stick Play Station adalah tujuanku satu-satunya saat itu.

Hingga tiba-tiba seseorang menegurku.
Dari balkon rumah tetanggaku.

"Sst!" seru suara itu.

Aku yang tidak menggunakan kacamata pada saat itu, lantas melihat si sumber suara dengan penglihatan yang agak kabur. Tapi satu yang pasti, aku melihat sosok perempuan disitu. Berdiri di antara jemuran pakaian yang memang diletakkan di balkon rumah tetanggaku.

"Eh, siapa tuh, Bu Lik ya?" tanyaku pada si sumber suara.

-Aku memang memanggil tetanggaku dengan sebutan Bu Lik yang juga berarti tante karena beberapa alasan. Yang pertama dia orang Jawa dan yang kedua usianya lebih muda dari ibuku. Maka sebutan itulah yang lantas disematkan keluargaku, yang akhirnya juga diikuti tetanggaku yang lain.-

Namun sumber suara itu tak bergeming. Hanya diam dan sesekali menggoyangkan badannya secara kaku. Bergerak lesu dalam balutan kain putih yang nampak lusuh dan kotor seperti terkena noda tanah.

Karena tak menjawab pertanyaanku, aku pun lantas berpikir Bu Lik hanya iseng menggodaku saat itu. Aku pun hanya menggelengkan kepala tanda heran untuk kemudian berjalan menuju kamar atas dan bersiap untuk membuka pintu. Sampai sosok itu bersuara kembali.

"Sst!" si sumber suara itu lagi-lagi seperti memanggilku. Namun kali ini dengan suara yang lebih kencang namun dengan nuansa yang lebih lirih, seperti sedang kesakitan.

"Ya Bu Lik, ada apa toh sat set sat set aja daritadi?" jawabku mulai kesal.

"Bu Lik? Itu Bu Lik kan?"kembali aku bertanya untuk memastikan karena lagi-lagi tak ada jawaban.

Si sumber suara tetap diam. Lagi-lagi tak menjawabku. Hingga kemudian aku keluarkan kacamataku dari kantong celana dan segera aku kenakan.

Namun apa yang kulihat setelah aku mengenakan kacamata benar-benar membuatku tertegun saat itu. Setidaknya beberapa detik aku terdiam, tertuju pada si sumber suara dan tak bisa menggerakkan tubuhku. Jelas, itu bukan Bu Lik yang aku kenal.

Bu Lik yang aku kenal memiliki tubuh yang lebih gempal, rambut sebahu dan senang menggunakan daster motif bunga-bunga berbagai warna. Namun yang kulihat saat itu sangat jauh berbeda.

Sosok itu berambut panjang, yang panjang rambutnya mungkin hingga sepinggang. Menutupi wajahnya yang tak pernah aku tahu seperti apa bentuknya. Tubuhnya kurus bahkan sangat tinggi, lengkap dengan kain putih panjang lusuh dengan bercak kecoklatan seperti terkena tanah basah.

Dia bergerak kaku, sesekali menggoyangkan kepalanya. Dan percayalah, gestur tubuh seperti itu sangat amat membuatku tidak nyaman.

Seselesainya momen kaku tersebut, aku pun lantas berlari secepat-cepatnya menuju lantai bawah. Kurang dari 3 anak tangga lagi pun ku lompati saking ingin segera sampai di lantai bawah.

Aku yang masih penasaran namun takut, lantas kembali melihat ke balkon rumah tetanggaku, kalau-kalau sosok itu masih ada. Dan ternyata masih ada meskipun hanya sekadar bayangan tipis, yang kemudian menghilang bak ditelan bumi.

Seiring dengan menghilangnya sosok tersebut, anjingku pun lantas kembali bergerak dengan normal dan kemudian menjilati tanganku yang masih terasa kaku setelah kejadian tersebut. Aku yang duduk kursi meja makan lantas tersadar bahwa kini situasi kembali ramai. Sangat ramai hingga membuatku kembali merasa aman dan tenteram.

"Hei, kenapa kamu?" tepukan ibu di pundakku sontak mengagetkanku. "Kok pucat banget mukamu, sakit?" tanya ibuku kembali sambil mengukur panas tubuhku menggunakan tangannya.

"Nggak, kok bu. Cuma tadi.. a.a..aku ngeliat sesuatu," jawabku terbata-bata.

"Hah, lihat apa kamu emangnya?" tanya ibu.

"Aku lihat..k..k..kuntilanak bu. Aku pikir Bu Lik, pas aku pakai kacamataku ternyata bukan," jelasku pada ibu.

Ibu pun kaget mendengar ceritaku. Kaget karena baru kali ini ia dengar kembali ada cerita penampakan di sekitar rumah. Pernah terjadi sebelumnya, tapi itu belasan tahun yang lalu, sebelum aku lahir. Dan sosoknya pun berbeda dengan apa yang aku ceritakan.

Maka sambil mendengar ceritaku lebih dalam, ibu lantas memijat tubuhku sembari dibuatkan teh manis panas agar aku segar kembali. Aku pun diajak berdoa agar gangguan tersebut tak lagi mendatangiku.

Entah berapa menit waktu yang kulewati kala insiden balkon itu terjadi. Tapi yang pasti, malam itu dan beberapa malam sesudahnya, aku tidak lagi bermain Play Station di kamar atas karena masih trauma. Dan kejadian itu masih menjadi pengalaman mistis yang paling jelas aku rasakan dan tak pernah aku lupakan hingga hari ini.

*kejadian dalam tulisan ini seutuhnya kisah nyata yang penulis alami di kala remaja, belasan tahun yang lalu. Sedikit sentuhan fiksi dilakukan demi memberikan bumbu penceritaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun