Jika melihat industri bioskop nasional saat ini, rasanya tentu saja seperti mimpi. Dilansir dari laman twitter @bicaraboxoffice, sekitar 51 juta penonton selama tahun 2018 dan sekitar 29 juta penonton hingga Juli 2019 khusus untuk film Indonesia saja, tentu merupakan sebuah pencapaian angka penonton yang luar biasa.
Tentunya angka tersebut belum dihitung dengan total penonton film impor yang pastinya akan menghasilkan angka penonton nasional yang lebih besar lagi. Padahal jika kita melihat beberapa tahun kebelakang, Indonesia sempat mengalami krisis film nasional yang ditandai dengan maraknya film horor dan komedi dengan kualitas (maaf) sampah.
Industri film Nasional saat ini tentu saja sedang menggeliat dari mulai hulu hingga ke hilir. Produksi film semakin berkualitas, pun ketatnya persaingan antar jaringan bioskop semakin membuat bioskop berbenah dan berlomba-lomba menyajikan fasilitas terbaiknya.
Tak lupa, deretan film eksklusif yang ditayangkan di jaringan bioskop tertentu pun menjadi semacam diferensiasi tambahan antar bioskop yang tentunya semakin memberikan alternatif tontonan berkualitas bagi para penikmat film.
Namun di balik ragam jualan film dan fasilitas menarik dari pihak bioskop, sejatinya masih ada satu hal yang terasa kurang atau mungkin justru terlupakan. Yaitu tentang minimnya penayangan kembali film-film lawas legendaris dalam program menonton kembali film klasik atau "rewatching the classics" di jaringan bioskop nasional saat ini.
Padahal, film-film nasional legendaris sejatinya masih memiliki tempat di hati para penonton baik tua maupun muda. Sekaligus juga sebagai ajang melestarikan budaya film nasional yang sudah mulai dikenal sejak puluhan tahun lalu.Â
Sederhananya, sejatinya jauh lebih baik menayangkan kembali film lawas yang sudah direstorasi daripada harus membuat versi "reborn" nya.
Untuk itu, ada beberapa poin-poin pembahasan dalam tulisan ini yang sekiranya menjadi pertimbangan mengapa perlu adanya penayangan kembali film-film lawas tersebut.
1. Film Hasil Restorasi untuk Melestarikan Budaya
Tak bisa dipungkiri, salah satu cara untuk melestarikan kebudayaan, dalam hal ini adalah film, yaitu dengan mengajak kembali penonton nasional untuk bernostalgia dengan film-film terbaik Indonesia yang diproduksi di masa silam.
Tentunya, film lawas yang sudah direstorasi untuk mendapatkan pengalaman menonton yang lebih baik.
Pun film-film dengan karakter ikonik semisal Suzanna, Warkop DKI dan Barry Prima, juga bisa menjadi pilihan untuk ditayangkan kembali.
2. Amerika dan Jerman sebagai Percontohan
Dengan Amerika Serikat yang saat ini menjadi pemimpin dalam industri perfilman dunia dan Jerman sebagai salah satu negara penghasil film berkualitas di benua Eropa, tentu bisa menjadi negara percontohan terkait bagaimana cara mereka dalam melestarikan film-film lawasnya.
Bahkan dilansir dari www.total-munich.com, salah satu dari 3 bioskop tertua di Jerman yaitu Museum Lichtspiele, masih rutin menayangkan film-film lawas dengan audio original.Â
Dengan film cult The Rocky Horror Picture Show menjadi film terlama yang rutin ditayangkan selama 2x dalam seminggu sejak tahun 1977 dan membuatnya mendapatkan Guiness Book of Records berkat konsistensi penayangannya itu.
Bekerjasama dengan berbagai jaringan bioskop di negeri paman Sam semisal Amstar Cinemas, Cinemawest, CMX Cinema dan masih banyak lagi, film-film lawas mulai dari Big Trouble in Little China, Grease hingga trilogi The Lord of The Rings, diputar kembali selama 2x seminggu. Dengan film-film lawas tersebut dibentuk menjadi program seri dengan total 6 minggu penayangannya.
John Hersker beranggapan bahwa biar bagaimanapun film tetaplah sebuah sajian yang hanya bisa dinikmati secara maksimal pada instalasi ala teater, dengan layar besar dan sound system maksimal serta dinikmati bersama penonton lain tentunya.
Memang film-film lawas tersebut terkadang juga bisa kita nikmati lewat kepingan dvd atau blu-ray serta tayangan pada tv kabel. Tapi sekali lagi, experience lah yang membedakannya.
Jadi bagaimana, alasan experience ini juga bisa diaplikasikan di Indonesia bukan?
4. Harus Ditayangkan Pada Bioskop Konvensional bukan Bioskop Alternatif
Memang saat ini film-film lawas Indonesia sudah sering ditayangkan pada berbagai kelas diskusi film, screening eksklusif di bioskop alternatif atau mungkin pada channel di tv kabel yang khusus menayangkan kembali film-film lawas. Hanya saja, penayangan kembali pada bioskop konvensional atau mainstream juga sejatinya diperlukan.
Efek dari penayangan di bioskop konvensional mungkin tidak akan cepat. Namun dengan adanya rutinitas penayangan minimal seminggu sekali misalnya, ditambah dengan adanya konten marketing yang dibalut dengan unsur edukasi tinggi perihal program penayangan ulang film lawas ini, tentunya akan segera terpatri di benak para penonton bahwa bioskop kini menyediakan alternatif tontonan lawas nan legendaris yang bisa dinikmati dalam rangkaian program yang dikemas menarik.
***
Dengan selera penonton film nasional yang saat ini sudah berkembang pesat, tentunya program menonton ulang ini seharusnya bisa mudah dilaksanakan.
Hanya saja memang perlu strategi khusus dan pas untuk menciptakan hype di tengah-tengah mayoritas penikmat film yang masih terbiasa dengan sajian teknis ala film modern semisal kualitas sound modern, penuh visual efek menarik dan tema cerita yang lebih relate dengan masa kini.
Selain itu, biaya restorasi yang tidak murah serta beberapa master film yang kondisinya tak memungkinkan untuk didigitalisasi, juga menjadi sebab yang membuat program ini mungkin cukup sulit direalisasikan. Selain juga faktor "cuan" yang tentunya menjadi alasan utama bagi bioskop untuk berpikir ulang perihal penayangan kembali film-film lawas tersebut.Â
Karena tentunya bioskop sebagai wadah penyedia tontonan perlu memiliki perhitungan yang jelas mengenai tiket yang terjual dibandingkan dengan beban operasional dan biaya marketing yang dikeluarkan.
Tak lupa, kerjasama dengan jaringan bioskop yang mau "merelakan" salah satu studionya digunakan 1 atau 2 kali dalam seminggu untuk menayangkan ulang film-film tersebut itu pun juga perlu diperhatikan. Tak hanya soal harga yang mungkin diatur lebih murah atau mungkin memiliki skema fixed price, namun juga soal pemilihan lokasi bioskop yang dirasa cukup oke untuk penayangan ini.
Karena jika lebih lawas dan memiliki sisi historis yang tinggi pada pemilihan lokasi bioskopnya, maka bukan tidak mungkin hal tersebut bakal mampu menjadi faktor kunci yang bisa digunakan untuk menarik penonton lebih lagi. Karena penonton akan mendapatkan pengalaman menonton bernuansa vintage yang maksimal.
Penutup
Dengan Jerman, Amerika dan beberapa negara lain yang juga ikut melestarikan industri filmnya lewat program penayangan kembali film lawas, seharusnya juga mampu melecut para pelaku industri film Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Terlebih katalog film klasik kita juga memiliki kualitas yang mumpuni dengan beberapa diantaranya juga diakui di kancah internasional.
Memang akan terasa babak belur pada awalnya terkait persiapan penayangan kembali film lawas yang tentunya bakal berbudget tinggi ini. Tapi percayalah, semakin meningkat selera tontonan para penikmat film Indonesia, maka semakin besar juga dahaga akan film-film lawas tersebut.
Karena penonton tentu saja akan membutuhkan banyak referensi yang hanya bisa didapat dari film lawas. Tak hanya soal cerita dan deretan faktor produksi didalamnya, namun juga soal budaya, kondisi sosio-politik, juga tren fashion yang tertangkap pada masa itu.
Ah, semoga saja rewatching the classics ini bisa menjadi kenyataan.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H