"Some people believe, if we repeat stories often enough, they become real" - Scary Stories To Tell in The Dark
Membawa nama besar sutradara kawakan Guillermo Del Toro(Pan's Labyrinth, The Shape of Water) pada setiap konten marketingnya, praktis membuat Scary Stories to Tell in The Dark menjadi salah satu film horor yang paling ditunggu kehadirannya di tahun ini. Namun kali ini Guillermo Del Toro hanya berperan sebagai produser saja sementara kursi sutradara diduduki oleh Andre Øvredal yang lebih dulu dikenal lewat film Trollhunter(2010) dan The Autopsy of Jane Doe(2016).
Diangkat dari kumpulan cerita pendek horor klasik untuk anak-anak, film Scary Stories to Tell in The Dark lantas mengadaptasi buku pertama dari total 3 seri Scary Stories yang dirilis antara tahun 1981 sampai dengan 1991. Ditulis oleh Alvin Schwartz, buku ini pun kemudian dilengkapi ilustrasi yang cukup menyeramkan oleh Stephen Gammell.
Scary Stories sendiri menjadi buku horor anak-anak era 80-an yang laris di pasaran dan berhasil memberikan pengalaman menyeramkan yang terus dibawa oleh anak-anak tersebut hingga mereka dewasa kini. Maka kehadiran filmnya pun lantas begitu ditunggu karena diharapkan mampu memberikan nuansa nostalgia atau paling tidak pengalaman menyeramkan yang sama layaknya buku yang mereka baca di masa lalu.
Sinopsis
Dikarenakan masih dalam suasana Halloween, ide untuk pergi ke sebuah rumah angker peninggalan keluarga Bellows pun lantas dikemukakan oleh Stella pasca berakhirnya pengejaran itu, yang kemudian disetujui oleh ketiga pria lainnya. Ruth (Natalie Ganzhorn), kakak dari Chuck yang menyusul ke rumah angker tersebut untuk mencari sang adik, akhirnya menjadi anggota kelima yang ikut dalam eksplorasi rumah angker tersebut.
Buku yang ternyata tak hanya berisi cerita horor peninggalan keluarga Bellows yang konon mendapat kutukan, namun juga mampu menuliskan sendiri kisah horor yang akan dialami pembacanya. Kini, mereka pun harus berjibaku melawan rasa takut sekaligus melepaskan diri dari kutukan buku keluarga Bellows.
Kombinasi Horor dan Petualangan yang Seru dan Mendebarkan
Dengan style penceritaan yang mengkombinasikan antara fairy tales dan horor khas Del Toro serta berbagai unsur horor klasik lainnya yang coba disajikan Øvredal, film ini pun kemudian bertutur layaknya sebuah cerita rakyat atau dongeng masa kecil yang divisualisasikan. Narasinya sederhana, konfliknya sederhana, bahkan endingnya pun tak memiliki plot twist yang mengejutkan.
Film ini pun bisa dibilang mengkombinasikan unsur petualangan dan fantasi dengan beberapa unsur horor semisal thriller, gore, disturbing scene hingga supranatural horor. Praktis di sepanjang film kita akan disajikan berbagai adegan yang tak hanya mengagetkan dan menyeramkan saja, namun juga membuat ngilu, mual bahkan bergidik ngeri.
Sepanjang film berjalan kita akan sering dipermainkan dalam suasana adegan yang full silent. Yaitu hanya menyisakan sang tokoh yang menjadi korban, untuk kemudian backsound menghilang dan ditemani pergerakan kamera spekulatif yang apik.Â
Dimana pada momen ini pikiran kita dibiarkan untuk menebak-nebak kapan sang hantu akan muncul. Dan tentu saja hal ini terbukti efektif menghadirkan jumpscare yang kemudian menghasilkan beberapa teriakan dari kursi penonton karena pada akhirnya kemunculan sang hantu diluar prediksi penonton.
***
Dan lagu soundtrack Season of The Witch yang dinyanyikan ulang oleh Lana Del Rey tentu saja berhasil menambah mood mencekam yang dihadirkan dalam film.Â
Sosok berbagai hantu yang muncul dengan ragam gaya terornya juga cukup segar dan berbeda dari film horor kebanyakan. Namun sayang, sosoknya sendiri kurang memorable dan melekat di benak penonton. Disini desain hantunya sangat segmented bahkan Amerika sekali, sehingga untuk ukuran penonton Asia yang terbiasa dengan sosok hantu yang lebih creepy, mungkin akan menganggap sosok hantu di film ini biasa saja.
Selain itu jalan cerita yang mudah ditebak serta konflik klise yang sudah sering ditemui pada film horor lain juga menjadi nilai minus untuk film ini. Singkatnya, tak ada yang benar-benar segar dari segi penceritaan. Namun untungnya vredal masih mampu menjahit satu persatu cerita yang sejatinya adalah cerita antologi, menjadi satu kesatuan cerita utuh dengan balutan cerita petualangan remaja yang seru dan ringan.
Oh iya, satir yang cukup nakal terkait Amerika juga diselipkan dengan cukup halus di antara deretan teror di sepanjang film. Jika jeli, kita akan bisa melihat berbagai kritikan terhadap perang Vietnam, Richard Nixon yang sama kontroversialnya dengan Trump, berita koran yang nyatanya menjadi sarana propaganda dan bukan kebenaran, hingga isu rasisme antara Amerika dan Mexico yang turut serta dimasukkan pada film ini. Dan semua hal tersebut nyatanya masih relate dengan kondisi sosial politik Amerika bahkan dunia saat ini.
Penutup
Tingkat keseramannya sendiri masuk dalam kategori medium. Sehingga rating PG-13 yang disematkan film ini untuk peredarannya di Amerika Serikat, jelas menjadi alasan mengapa unsur horor film ini masuk kategori "aman" sehingga bisa dikonsumsi juga oleh remaja yang memang menjadi target marketnya.
Scary Stories pada akhirnya memang bisa membuatmu terperanjat di dalam ruangan bioskop, namun juga mampu dengan cepatnya terlupakan berkat kisahnya yang tak bisa memberikan alasan untuk terus diingat.
Scary Stories to Tell in the Dark tayang mulai hari ini, 7 Agustus 2019 di jaringan bioskop XXI.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H