Berangkat dari sebuah lagu berjudul sama karya The Panas Dalam Bank, Koboy Kampus lantas dipilih menjadi judul film yang menceritakan masa kuliah Pidi Baiq di Institut Teknologi Bandung, sekitar tahun 1997 sampai 1998-an.Â
Seperti yang kita tahu, Pidi Baiq sendiri merupakan seorang seniman yang karyanya dikenal lewat trilogi novel Dilan dan juga band The Panas Dalam yang membawakan lagu-lagu ballad dengan lirik jenaka, apa adanya bahkan absurd, namun dengan nada-nada yang cukup catchy.
Disutradarai oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy yang sebelumnya juga pernah bekerjasama dalam film Baracas: Barisan Anti Cinta Asmara, film ini lantas memiliki kombinasi aktor senior dan pendatang baru yang sejatinya cukup menjanjikan.Â
Sebut saja 2 musisi indie yaitu Jason Ranti dan Danilla Riyadi yang melakukan debutnya di film ini dan beradu akting dengan aktor-aktor lain yang lebih senior seperti Ricky Harun, Bisma Karisma, Chicha Koeswoyo, dan Ria Irawan. Serta tak ketinggalan penampilan spesial dari Vienny JKT48.
Sinopsis
Memiliki keresahan terkait kondisi sosial politik yang tak menentu di masa-masa akhir pemerintahan presiden Soeharto, para mahasiswa pada akhirnya menjadikan demonstrasi sebagai opsi untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah. Namun turunnya mereka ke jalan justru membuat mereka mendapatkan sanksi keras berupa skorsing larangan berkuliah untuk sementara waktu.
Melihat fenomena yang makin carut marut itu lah lantas membuat sekelompok anak kampus jurusan seni rupa ITB memilih untuk membuat negara sendiri sebagai jawaban atas ketidakpuasan mereka terhadap NKRI.Â
Negara bernama The Panas Dalam yang merupakan singkatan dari Atheis, Paganisme, Nasrani, Hindu, Buddha dan Islam tersebut lantas didirikan di ruang kecil seni rupa ITB.Â
Negara yang menerima segala perbedaan dan digagas oleh Pidi Baiq(Jason Ranti) tersebut lantas disetujui oleh beberapa anak muda seperti Ninu(Ricky Harun), Erwin(David Jhon), Deni(Bisma Karisma), Rianto(Anfa Safitri) dan Nova(Danilla Riyadi) serta tak ketinggalan Inggrid(Jennifer Lepas) yang menjadi duta besar Inggris untuk Negara Kesatuan The Panas Dalam.Â
Dengan slogan "Kingdom of Have Fun", mereka pun lantas menjalani hari-harinya dengan bersenang-senang tanpa harus memusingkan perpolitikan NKRI yang mereka anggap sebagai negara tetangga.
Mereka pun menjalani lika-liku kehidupan mahasiswa semester akhir dengan percintaan dan tingkah laku konyol sebagai bumbu penyedapnya. Tak juga lulus namun tetap berkeliaran di area kampus, mereka pun lantas dikenal dan dijuluki sebagai Koboy Kampus.
Sebuah Kolase Komedi Satir yang Jenaka
Lucu, itu adalah kata pertama yang keluar dari mulut begitu selesai menyaksikan film ini bersama rekan-rekan Komik di XXI Paragon City Mall, Kamis malam lalu.Â
Durasi 1 jam 32 menit-nya benar-benar diisi oleh ragam komedi satir, sarkas hingga cringe moment yang mampu mengundang gelak tawa seisi penonton. Bahkan tiap celetukan yang keluar dari tiap dialog terasa sangat natural dan apa adanya.
Dikarenakan diangkat dari kisah nyata, maka banyak sekali momen adegan yang juga relate dengan pengalaman pribadi kita, khususnya bagi yang mengalami masa kuliah di era 90-an. Setiap unsur komedi yang muncul di film ini begitu cair dan tak terkesan dipaksakan. Semua mengalir apa adanya.
Misalnya pada adegan kala Rianto mengunjungi rumah Nia(Vienny JKT48) untuk pedekate. Selain menampilkan suasana pedekate ala anak 90-an lengkap dengan segelas teh dan sekaleng Khong Guan yang disediakan orangtua si wanita, adegan Rianto di rumah tersebut juga menunjukkan bagaimana konyolnya Pidi Baiq dan kawan-kawan dalam mengerjai dirinya.
Bolak-balik telepon ke rumah Nia hanya sekadar berbicara iseng kepada Rianto, menjadi momen absurd yang mengundang gelak tawa hebat. Jelas saja, karena telepon rumah tersebut berada di tengah ruang keluarga yang notabene sedang dipenuhi oleh tamu orang tua Nia.Â
Maka ketika Rianto mengucap permisi berkali-kali hingga kemudian berjongkok disamping meja tv sambil mengangkat telepon dari Pidi Baiq, menjadi momen terlucu dan relate dengan kondisi saat itu
Namun tak hanya itu, unsur komedi cringe dan hiperbolis juga turut serta dimasukkan di tengah-tengah film sehingga menambah unsur ke-absurd-an film ini.Â
Nia yang bercahaya kala membuka pintu, gitar Pidi Baiq yang tiba-tiba diberikan oleh nenek Rianto yang juga bercahaya, atau cara pedekate Ninu yang out of the box, menjadi beberapa contoh komedi yang begitu absurd namun tetap mengundang gelak tawa.
![sumber: mncp movie](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/07/26/images-2019-07-26t081506-455-5d3a549b0d82303ae44174b2.jpeg?t=o&v=770)
Praktis, unsur musikal yang disematkan sebagai salah satu genre di film ini hanya menjadi sekadar penegas bahwa film ini memiliki adegan bernyanyi yang cukup banyak.Â
Tak ada yang salah memang, namun cerita yang tiba-tiba terpotong dan berganti dengan cerita lain membuat film ini cukup kehilangan arah dan kebingungan antara tetap di jalur satir politik atau komedi percintaan. Sederhananya, tiap-tiap adegan film ini hanya menjadi semacam visualisasi atas lagu-lagu yang diciptakan oleh Pidi Baiq.
Sepanjang Jalan Ganesha, Yang Penting Nia Nya, Dunia Tanpa Nia dan Sudah Jangan ke Jatinangor, menjadi beberapa lagu yang dinyanyikan di tengah film, entah sebagai pembuka sebuah adegan ataupun jawaban atas konklusi sebuah adegan yang sejatinya juga, ehhm, masih tanggung.Â
Dan bagi yang sudah pernah mendengarkan The Panas Dalam sebelumnya, mungkin akan sedikit tercerahkan dengan maksud tiap-tiap lagu yang dibuat oleh ayah Pidi Baiq tersebut.
![sumber: jppn.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/07/26/images-2019-07-26t081638-042-5d3a5526097f366d914499c2.jpeg?t=o&v=770)
Hanya saja jika gaya penceritaan Pidi Baiq terpotong-potong seperti itu, alangkah baiknya jika film ini dibuat sebagai antologi saja. Gabungan 5 cerita pendek misalnya, yang tema politik, percintaan dan juga komedi khas anak kampus menjadi benang merah antar ceritanya. Ya, setidaknya itu menurut saya.
Era 90-an yang Kental dan Mengundang Nostalgia
Sama seperti dua film Dilan yang mampu membangkitkan nostalgia era 90-an, film ini pun demikian. Dari segi fashion, mobil-mobil yang berseliweran, hingga berbagai kegiatan di tempat umum seperti bertelepon di telepon umum dan juga di bilik KBU Wartel(Warung Telepon), menjadi adegan yang menampilkan nostalgia jaman tersebut.Â
Bahkan kejadian lucu yang memang relate dengan keadaan saat itu juga turut dimunculkan. Seperti telepon umum yang digebuk lantas mengeluarkan banyak koin ataupun mengerjai teman dengan cara memberikan nomor telepon perempuan yang ternyata merupakan nomor telepon agen kecap manis.
Belum lagi adegan ospek yang juga sesuai dengan tradisi anak kampus saat itu. Semuanya berpadu baik dan menghasilkan kilas balik era 90-an yang menyenangkan.
![Tirto.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/07/26/images-2019-07-26t081602-896-5d3a54fa0d82303ae44174b4.jpeg?t=o&v=770)
Aktor lain semisal Ricky Harun, Danilla, dan Jennifer Lepas juga mampu memberikan impresi yang baik meskipun durasi tampilnya tak cukup lama. Sementara adegan-adegan milik Anfa Safitri alias Rianto, jelas menjadi scene stealer yang sangat baik di film ini.
Penutup
Sebagai film komedi yang menceritakan lika-liku anak kampus yang mendekati D.O, film ini cukup mampu menghadirkan gelak tawa hebat selama 1 jam 32 menit durasi film berjalan. Namun 1 jam 32 menit itu juga lah yang nyatanya membawa kita ke berbagai penceritaan absurd yang kemudian juga out of focus.
Satir sosial politik yang sejatinya tegas disampaikan di awal film menjadi begitu lemah di pertengahan dan berganti dengan komedi percintaan yang tak ada hubungannya dengan narasi yang coba dibangun sejak awal film. Padahal tema menjaga persatuan dan menerima perbedaan seharusnya masih bisa dikembangkan lagi.
Maka ketika narasi sosial politik kembali coba dihadirkan mendekati akhir film, tentu saja membuat jalan cerita film ini bak wahana niagara di Dunia Fantasi.Â
Naik perlahan untuk kemudian dihempaskan ke bawah dan basah tanpa meninggalkan arti lebih, selain hanya pengalaman menyenangkannya saja yang sesaat juga terlupakan. Menjadi semacam kolase komedi satir yang lucu namun nyaris tanpa arti.
![sumber: mncp movie](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/07/26/koboy-kampus-1-660x400-5d3a55bc097f367e8661cd92.jpg?t=o&v=770)
So, yang ingin menyaksikan komedi pengocok perut yang efektif tanpa peduli dengan jalan ceritanya maka film ini bisa jadi pilihan. Namun jika anda tipikal penonton yang mengutamakan jalan cerita, maka film ini bukanlah film yang tepat untuk anda. Karena jalan cerita yang berantakan akan membuat anda pusing menjahit satu demi satu adegan yang terlepas begitu saja.
Saya pribadi memberikan skor 5 pada awalnya di aplikasi cinepoint, namun setelah dipikir-pikir rasanya film ini masih layak mendapat rating 6/10. Karena meskipun absurd dan berantakan, namun kelucuan dan kentalnya nuansa 90-an serta pesan tentang persatuan Indonesia yang dihadirkan, menjadi beberapa hal yang masih bisa ditoleransikan untuk film ini.
So, selamat menonton. Salam Komik Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI