Praktis, unsur musikal yang disematkan sebagai salah satu genre di film ini hanya menjadi sekadar penegas bahwa film ini memiliki adegan bernyanyi yang cukup banyak.Â
Tak ada yang salah memang, namun cerita yang tiba-tiba terpotong dan berganti dengan cerita lain membuat film ini cukup kehilangan arah dan kebingungan antara tetap di jalur satir politik atau komedi percintaan. Sederhananya, tiap-tiap adegan film ini hanya menjadi semacam visualisasi atas lagu-lagu yang diciptakan oleh Pidi Baiq.
Sepanjang Jalan Ganesha, Yang Penting Nia Nya, Dunia Tanpa Nia dan Sudah Jangan ke Jatinangor, menjadi beberapa lagu yang dinyanyikan di tengah film, entah sebagai pembuka sebuah adegan ataupun jawaban atas konklusi sebuah adegan yang sejatinya juga, ehhm, masih tanggung.Â
Dan bagi yang sudah pernah mendengarkan The Panas Dalam sebelumnya, mungkin akan sedikit tercerahkan dengan maksud tiap-tiap lagu yang dibuat oleh ayah Pidi Baiq tersebut.
Hanya saja jika gaya penceritaan Pidi Baiq terpotong-potong seperti itu, alangkah baiknya jika film ini dibuat sebagai antologi saja. Gabungan 5 cerita pendek misalnya, yang tema politik, percintaan dan juga komedi khas anak kampus menjadi benang merah antar ceritanya. Ya, setidaknya itu menurut saya.
Era 90-an yang Kental dan Mengundang Nostalgia
Sama seperti dua film Dilan yang mampu membangkitkan nostalgia era 90-an, film ini pun demikian. Dari segi fashion, mobil-mobil yang berseliweran, hingga berbagai kegiatan di tempat umum seperti bertelepon di telepon umum dan juga di bilik KBU Wartel(Warung Telepon), menjadi adegan yang menampilkan nostalgia jaman tersebut.Â
Bahkan kejadian lucu yang memang relate dengan keadaan saat itu juga turut dimunculkan. Seperti telepon umum yang digebuk lantas mengeluarkan banyak koin ataupun mengerjai teman dengan cara memberikan nomor telepon perempuan yang ternyata merupakan nomor telepon agen kecap manis.