Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Black Mirror: Season 5", Lanjutan Antologi Distopia dengan Pendekatan Isu Sosial yang Relevan

19 Juni 2019   17:07 Diperbarui: 19 Juni 2019   17:20 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain Chernobyl dan juga When They See Us yang saat ini masuk dalam topik obrolan teratas para penggemar serial televisi, Black Mirror yang sudah masuk di musim ke-5 nya pun masih jadi bahasan yang menarik untuk diikuti. Selain karena 3 episode terbarunya yang memiliki ide cerita cukup segar, kehadiran musim barunya yang hadir tak lama setelah Event Special Black Mirror: Bandersnatch yang cukup mendapat respon positif, membuat serial ini cukup dinanti oleh fans setianya.

Ditayangkan pertama kali di tahun 2011, Black Mirror langsung menyita perhatian lewat episode perdananya yang berjudul The National Anthem. Sajian satir dalam balutan political thriller nya yang kelam namun juga sarat isu sosial, membuat episode ini menjadi pembuka yang pas untuk memperkenalkan apa itu Black Mirror.

Barstoolsports.com
Barstoolsports.com
Sekadar informasi bagi yang belum pernah menyaksikan Black Mirror sebelumnya, Black Mirror adalah serial televisi rekaan Charlie Brooker yang diproduksi Netflix, dimana menyajikan antologi kisah tentang hubungan manusia dengan teknologi dalam latar waktu yang tak jauh dari sekarang hingga latar dunia futuristik. 

Narasinya bukan hanya menggambarkan mengenai hal buruk apa yang bisa terjadi antara manusia dan teknologi, namun apa kemungkinan terburuk dari kemungkinan yang paling mungkin terjadi di masa depan terkait teknologi. Terkesan menyeramkan namun di satu sisi juga relevan.

Memiliki sedikit episode tiap seasonnya (sekitar 3-6 episode per season), Black Mirror pun menjadi serial yang cocok dinikmati dalam metode binge watching(menonton berkelanjutan) khas Netflix. Dan di season 5 nya kali ini, Black Mirror kembali menyajikan 3 episode yang tak kalah menarik dari musim-musim sebelumnya.

Lantas, harus stream atau skip kah serial ini? Yuk, kita masuk ke pembahasan 3 episodenya.

Khas Black Mirror dengan Pendekatan Lebih Relevan

Radiotimes.com
Radiotimes.com
Season ke-5 Black Mirror ini bisa dibilang memiliki respon penonton yang terbelah menjadi 2 kubu. Ada kubu yang menerima, namun tak sedikit juga yang kecewa karena dianggap cukup "melenceng" dari pakem Black Mirror.

Karena selain latar waktu yang tak terlalu jauh dengan saat ini, kurangnya efek kelam dan plot twist khas Black Mirror yang membuat kita terpana tiap selesai menyaksikannya, membuat 3 episode di musim kelimanya ini nampak biasa saja bagi sebagian orang. Tak salah, namun tak 100 persen benar juga.

Musim kelima Black Mirror ini cenderung menjadi pengingat akan plus minus teknologi yang saat ini kita gunakan. Ya, tak perlu terlalu jauh ke masa depan, 3 episode Black Mirror kali ini langsung menyorot dampak sosial media, AI Robotic, hingga teknologi VR(Virtual Reality) pada mesin gim yang saat ini jamak digunakan.

Bleedingcool.com
Bleedingcool.com
Lantas, masihkah relevan penceritaan sisi gelap teknologi di masa kini? Di masa dimana bencana ekologis, politik gelap dan terorisme menjadi isu utama yang menghiasi kolom utama media seluruh dunia?

Dan lewat Striking Vipers, Smithereens dan Rachel, Jack and Ashley Too, Black Mirror  membuktikan bahwa gambaran efek samping teknologi yang saat ini perkembangannya sedang dielu-elukan dunia, masih cukup relevan untuk dinarasikan.

Episode 1: Striking Vipers

Esquire.com
Esquire.com
Episode pertama yang berjudul Striking Vipers, mengisahkan tentang pertemuan 2 orang sahabat lama, Danny(Anthony Mackie) dan Karl(Yahya Abdul Mateen). Sekeping CD video gim bergenre fighting dan teknologi virtual reality yang bernama Striking Vipers kemudian menjadi hadiah dari Karl kepada Danny. 

Gim tersebut membangkitkan kembali nostalgia permainan Striking Vipers lawas yang dulu sering mereka mainkan semasa kuliah. Namun kali ini, teknologi yang disematkan jauh lebih canggih.

Namun bukan pertarungan antar karakter yang didapat, namun justru mereka menikmati hubungan sex yang tercipta oleh avatar mereka. Danny dengan avatar petarung laki-laki dan Karl dengan avatar petarung wanita, justru menikmati sensasi berhubungan sex dalam dunia virtual tersebut.

Hollywoodreporter.com
Hollywoodreporter.com
Episode ini mungkin bisa dibilang yang terbaik pada season ke-5 ini. Selain menampilkan visualisasi dunia virtual yang futuristik khas Black Mirror, tema penyalahgunaan teknologi VR pun menjadi bahasan yang cukup relevan. 

Tak hanya itu, Striking Vipers juga memberikan beberapa catatan penting semisal gambaran homoerotisme dalam dunia virtual lewat karakter Danny dan Karl. Serta kekerasan dan gender fluidity dalam sebuah dunia virtual. 

Meskipun Danny bahagia dengan kehidupan pernikahannya dan Karl juga bahagia dengan kisah cintanya sendiri, namun di dunia virtual mereka menjadi pribadi yang berbeda. Tidak, mereka tidak memiliki hasrat hubungan sesama jenis.

Express.co.uk
Express.co.uk
Hanya saja, sensasi seksual dunia maya membuat orang tak peduli lagi apa gendernya di dunia nyata. Toh dibalik avatar yang tercipta, mereka bisa menjadi siapapun bukan?

Dan faktanya, cara kerja seperti inilah yang membuat sex online menjadi candu. Tak peduli siapa atau apa yang ada dibelakangnya, tiap karakter dan avatar nyatanya mampu menciptakan fantasinya sendiri.

Plot twist nya memang tak sekuat episode Black Mirror lainnya. Hanya saja episode ini meninggalkan banyak pelajaran penting tentang sisi gelap teknologi dengan unsur seksualitas didalamnya, serta meninggalkan pelajaran penting tentang betapa pentingnya nilai kejujuran dan pengorbanan dalam suatu hubungan.

Skor: 8,5/10

Episode 2: Smithereens

inverse.com
inverse.com
Episode ini merupakan episode yang paling relevan dan sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Tak ada hologram super canggih, smartphone super tipis ataupun robot yang berlalu lalang. Smithereens memberikan pesan tentang efek samping media sosial yang membahayakan sekaligus realita pahit yang terjadi tentang unsur kehidupan yang tergantikan oleh kedipan notifikasi.

Seperti kisah si supir taksi ala uber, Chris(Andrew Scott) yang menyandera seorang pegawai magang, Jaden(Damson Idris). Jaden yang baru bekerja di perusahaan sosial media Smithereens harus menjadi tawanan di mobilnya agar Chris bisa berkomunikasi dengan pemilik sosial media tersebut, Billy Bauer(Topher Grace). Masa lalu yang menyedihkan terkait sosial media itulah yang membuat Chris nekat melakukan hal tersebut.

Meskipun ending dari episode ini cukup tragis dan penuh teka-teki, namun setidaknya ada 2 hal yang bisa diambil dari episode ini.

Radiotimes.com
Radiotimes.com
Yang pertama tentang bagaimana sosial media mampu merenggut kehidupan setiap manusia. Karena tanpa sadar, setiap detik hidup kita saat ini bergantung pada media sosial. Entah hanya sekadar mencari informasi, bertegur sapa dengan sesama, atau hanya sekadar mencari tahu seberapa banyak "likes" yang didapat dari sebuah foto yang kita unggah.

Poin kedua tentu saja yang paling realistis namun kelam dan juga menyakitkan. Setidaknya saya menangkap bahwa media sosial mengganti cara kita peduli terhadap orang lain dengan kedipan notifikasi di ponsel. 

Radiotimes.com
Radiotimes.com
Entah itu dalam bentuk like, komentar ataupun reaction, semua sisi emosional yang seharusnya menjadi fundamental dalam kehidupan sosial manusia, tergantikan oleh satu kedipan notifikasi. Hal itu pulalah yang membuat kita tak peduli dengan sebuah kabar, terlebih jika tak ada sangkut pautnya terhadap diri kita sendiri. 

Setidaknya begitulah makna hidup di era sosial media modern ini. Layaknya sebuah notifikasi yang muncul, hanya dilihat dan kemudian secepat itu pula dilupakan. 

Skor 8/10

Episode 3: Rachel, Jack and Ashley Too

hindustantimes.com
hindustantimes.com
Mungkin ini adalah episode Black Mirror paling ringan dan di luar pakem selama ini. Selain karena tone nya lebih cerah, episode ini memiliki ending yang cenderung happy ending layaknya film remaja pada umumnya. 

Namun, bukan berarti episode ini tidak bagus.

Layaknya A Star is Born, episode ini tak hanya menceritakan bagaimana sisi gelap industri musik modern saat ini, namun juga kemarahan terkait perkembangaj industri pop yang semakin tak manusiawi. Banyak artis dituntut untuk tak menjadi dirinya sendiri dan harus tunduk pada kemauan pasar.

Kesuksesan dan gelimang harta membuat label rekaman senang, namun di satu sisi sang artis tak mampu bertahan lagi dengan kepura-puraannya. Ada letupan kreativitas yang mesti dikeluarkan meskipun hal tersebut tak memungkinkan.

Empireonline.com
Empireonline.com
Tak hanya itu, karakter robot Ashley too yang merupakan robot dengan kecerdasan artifisial milik Ashley O(Miley Cyrus), menjadi contoh nyata bagaimana label saat ini terobsesi membuat seorang artis populer untuk hidup selamanya. Rekaman sample suara yang dimodifikasi menjadi lagu dan hologram yang memunculkan sosok sang artis pun nampaknya belum cukup. 

Artificial Intelligence kemudian menjadi solusi yang cukup seksi meskipun juga membahayakan di satu sisi. Semuanya dibentuk atas nama industri dan tuntutan fans.

Namun di episode yang sejatinya paling ringan ini, pujian memang patut disematkan pada Miley Cyrus dan Angourie Rice yang pada episode ini memberikan penampilan terbaiknya. Tanpa mereka berdua nampaknya episode ini tak akan sebaik ini. Karena dari sisi naskahnya sendiri memang yang paling biasa saja dibandingkan 2 episode lainnya.

Express.co.uk
Express.co.uk
Rachel, Jack and Ashley Too praktis hanya menjadi sarana edukasi bagi remaja tentang betapa pentingnya menjadi diri sendiri. Konflik dalam batin kadang diperlukan untuk menentukan arah masa depan. 

Apakah harus berani keluar dari zona nyaman namun bisa mencapai passion yang sesuai? Atau tetap berada di zona nyaman namun terkungkung kebebasan berekspresinya?

Skor: 7/10

Penutup

Indiewire.com
Indiewire.com
Bagi para fans Black Mirror garis keras, season 5 mungkin dianggap kurang berkesan seperti episode Black Mirror lainnya. Tak terlalu futuristik dan masih dalam lini waktu yang tak begitu jauh dengan kita saat ini, menjadi sebab season 5 ini kurang terasa Black Mirror nya.

Namun, season 5 lah yang sejauh ini memiliki gambaran paling relevan dan isu yang diangkat pun begitu dekat dengan keseharian kita. Banyak pelajaran berharga yang mengingatkan kita kembali akan pentingnya sebuah hubungan yang nyata antar manusia dan tak sekadar menggantungkan hidup pada perangkat teknologi.

Denofgeek.com
Denofgeek.com
Dan diluar krisis ekologi, politik gelap dan terorisme yang saat ini juga menjadi isu utama, rasanya penceritaan sisi gelap teknologi masih relevan untuk disaksikan. Black Mirror masih memberikan alasan bagi kita untuk terbuka sekaligus waspada terhadap perkembangan teknologi yang begitu cepat.

Black Mirror season 5, sudah bisa anda nikmati di Netflix.

Salam Kompasiana.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun