Dari sekian banyak franchise film yang ada saat ini, Godzilla bisa dikatakan sebagai salah satu franchise terbesar dan terlama dalam sejarah.
Dimulai sejak tahun 1954, franchise dengan total pendapatan di atas 1 Milyar USD tersebut telah menelurkan 35 film Godzilla yang muncul hingga saat ini. Dengan 32 di antaranya diproduksi oleh Toho dan 3 film lainnya hasil adaptasi Hollywood.
Ada 3 hal yang setidaknya menjadikan Godzilla klasik begitu dicintai oleh banyak orang, bahkan turut melahirkan fans fanatiknya. Pertarungan antar monster, spesial efek yang memukau (dengan penggunaan miniatur perkotaan khas Eiji Tsuburaya pada film klasiknya), serta isu sosial politik yang berkembang pada saat itu, menjadi 3 hal utama yang kerap disematkan dalam film-film Godzilla.
Maka ketika Hollywood memproduksi ulang filmnya di tahun 1998 lalu dengan cerita yang sama sekali berbeda dan terlalu senada dengan apa yang disajikan Jurassic Park, fans dan kritikus pun sepakat menjadikan film tersebut sebagai film Godzilla terburuk. Hollywood pun lantas tak lagi menyentuh Godzilla hingga 16 tahun kemudian.
Film ketiga dalam semesta Godzilla ini pun kemudian muncul di tahun ini. Menggandeng Michael Dougherty di kursi sutradara serta deretan aktor dan aktris kelas atas semisal Vera Farmiga(Conjuring Universe, The Departed), Millie Boby Brown(Stranger Things) dan Ken Wanatabe(Godzilla, Inception), Godzilla:King of The Monsters pun bersiap untuk menyajikan kisah barunya bagi para penikmat film.
Lantas apakah film ini hadir sesuai ekspektasi?
Sinopsis
Namun ternyata, penelitian mereka terhadap monster raksasa tak berhenti sampai di Godzilla aja. Monster-monster lain pun kemudian ditemukan di berbagai belahan dunia, dimana beberapa diantaranya masih diam dan tenang di tempat persembunyiannya masing-masing.
Di sisi lainnya, Dr. Emma Russel (Vera Farmiga) masih mencoba melawan kesedihan pasca kehilangan anaknya kala Godzilla pertama kali menyerang 5 tahun yang lalu. Ia pun kemudian membenahi sebuah alat pemancar sonar yang berfungsi layaknya alat komunikasi bagi para Kaiju yang dahulu sempat dihancurkannya bersama sang suami, Mark Russel (Kyle Chandler).
Namun sekali lagi, bumi ternyata membutuhkan sosok anti-hero yang semula dilaporkan menghilang tanpa jejak. Ya, Godzilla pun kemudian menjadi harapan terakhir manusia dalam menghadapi serbuan monster raksasa tersebut.
Sekuel Epik dalam Sajian Visual Efek yang Dahsyat
Mungkin bagi para penonton kasual, menyaksikan film ini tak lebih dari sekadar parade efek visual semata. Pertarungan lebih dari 2 monster raksasa pun sekilas juga mengingatkan kita pada film semacam Pacific Rim atau Rampage.
Namun bagi fans Godzilla yang telah mengikuti film-film versi Jepangnya, jelas Godzilla:King of The Monsters menawarkan sebuah sekuel epik nan dahsyat.Â
Adegan pertarungannya benar-benar otentik bahkan beberapa diantaranya mampu membawa kita nostalgia akan film-film Godzilla yang semasa kecil wara-wiri di stasiun tv nasional kala libur sekolah tiba.
Belum lagi ditambah penampilan singkat cameo monster lain termasuk Kong, pasti semakin menambah kesan positif bagi fans yang menyaksikannya.
Tone yang cukup gelap dan agak foggy juga sekilas mengingatkan kita akan efek visual film DCEU garapan Zack Snyder. Efek kamera shaky dan permainan zoom in-zoom out pada saat pertarungan pun sekilas mengingatkan kita pada adegan pertarungan antara Superman dan General Zod di film Man of Steel. Namun justru disitulah kekuatannya.Â
Dengan sajian visual efek yang sangat halus, detail dan megah tersebut, rasanya Godzilla: King of The Monsters sangat layak untuk masuk dalam nominasi peraih penghargaan visual efek terbaik di gelaran Oscar 2020 nanti.
Scoring dan Sinematografi Apik
Dan pada film Godzilla: King of The Monsters ini, musik yang ditampilkan pun berhasil disajikan dengan begitu baik. Bear McCreary yang sebelumnya pernah menggarap scoring untuk 10 Cloverfield Lane, Battlestar Galactica dan The Walking Dead, mampu menghadirkan sentuhan magisnya pada film ini.
Sinematografinya pun begitu apik digarap oleh Laurence Sher yang di tahun ini juga bisa kembali kita lihat karyanya dalam film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix. Berbagai teknik pengambilan gambarnya memiliki keunikannya tersendiri dan menjadi satu kesatuan yang kokoh dalam membentuk keseluruhan kisah film ini.
Lemah di Penceritaan Drama
Sebenarnya, secara konflik film ini hampir sama dengan apa yang disajikan film pertamanya. Hubungan anak dan orangtua di tengah bencana global tetap menjadi isu utama yang diangkat dalam film ini. Namun bedanya, kali ini ditambahkan dengan unsur penghianatan, pengorbanan dan perjuangan yang lebih kompleks dari film pendahulunya.
Maka ketika muncul adegan yang seharusnya menguras emosi, entah perasaan haru, bahagia atau kesal pun nyatanya tak berhasil keluar dari dalam diri kita.
Isu Sosial dan Pesan Sadar Lingkungan
Seperti kita tahu, Godzilla dan beberapa deretan monster raksasa lainnya hadir bukanlah sebagai pembawa bencana. Mereka justru hadir sebagai pembawa keseimbangan bagi alam semesta yang mulai hancur akibat ulah manusia itu sendiri.Â
Maka ketika kemudian muncul gerakan eco-terorism yang mengatasnamakan keseimbangan lingkungan demi menjalankan tindakan jahat mereka di dunia, pertanyaan besar pun kemudian muncul. Siapakah yang sebenarnya pantas disebut monster dalam dunia ini?
Penutup
Sayang, unsur drama yang ditampilkan cenderung membosankan dan nampak klise. Konflik serta chemistry antar karakternya pun tak terbangun dengan sempurna. Sehingga porsi drama yang muncul pun cenderung mudah terlupakan dan tak bisa menyamai aksi Godzilla melawan berbagai monster yang justru sangat memorable itu.
Tak lupa, bagi anda fans Godzilla tentu saja harus menyaksikan film ini. Karena tak hanya menyajikan deret aksi yang bisa membawa kita nostalgia ke masa kecil, Godzilla: King of The Monsters juga berhasil menyajikan semua unsur-unsur penting dalam Godzilla klasik yang dicintai oleh fansnya. Ya, film ini nampak begitu mengutamakan fans service sebagai sajian utamanya.
Jadi bagaimana, siap menonton Godzilla weekend ini?
Godzilla saya beri skor, 7.5/10. Menghibur, epik, visual efek spektakuler, namun dengan unsur drama yang mudah terlupakan.
Selamat menonton. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H