Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Godzilla: King of The Monsters", Sekuel Epik dalam Parade Visual Efek Spektakuler

30 Mei 2019   02:58 Diperbarui: 1 Juni 2019   18:28 2372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sekian banyak franchise film yang ada saat ini, Godzilla bisa dikatakan sebagai salah satu franchise terbesar dan terlama dalam sejarah.

Dimulai sejak tahun 1954, franchise dengan total pendapatan di atas 1 Milyar USD tersebut telah menelurkan 35 film Godzilla yang muncul hingga saat ini. Dengan 32 di antaranya diproduksi oleh Toho dan 3 film lainnya hasil adaptasi Hollywood.

Godzilla 1954 | Sumber: digitalspy.com
Godzilla 1954 | Sumber: digitalspy.com
Kala itu Toho sebagai pemilik franchise Godzilla, melihat kesuksesan film King Kong(1933) yang dirilis ulang di tahun 1952. King Kong pada saat itu memang mendobrak industri perfilman dengan karakter monster raksasanya. Maka bersama sutradara Ishiro Honda, Godzilla yang digambarkan sebagai makhluk mitologi berukuran raksasa pun kemudian muncul pertama kalinya di layar lebar dalam film berjudul sama.

Ada 3 hal yang setidaknya menjadikan Godzilla klasik begitu dicintai oleh banyak orang, bahkan turut melahirkan fans fanatiknya. Pertarungan antar monster, spesial efek yang memukau (dengan penggunaan miniatur perkotaan khas Eiji Tsuburaya pada film klasiknya), serta isu sosial politik yang berkembang pada saat itu, menjadi 3 hal utama yang kerap disematkan dalam film-film Godzilla.

Maka ketika Hollywood memproduksi ulang filmnya di tahun 1998 lalu dengan cerita yang sama sekali berbeda dan terlalu senada dengan apa yang disajikan Jurassic Park, fans dan kritikus pun sepakat menjadikan film tersebut sebagai film Godzilla terburuk. Hollywood pun lantas tak lagi menyentuh Godzilla hingga 16 tahun kemudian.

Godzilla 1998 | Sumber: ign.com
Godzilla 1998 | Sumber: ign.com
Reboot-nya di tahun 2014 silam yang digarap oleh Gareth Edwards pun kemudian seakan membuka harapan baru bagi franchise ini di industri Hollywood. Apalagi film ini kemudian menjadi landasan bagi semesta sinematik baru, dengan Kong: Skull Island yang dirilis 3 tahun kemudian sebagai jembatan menuju franchise Monsterverse yang lebih solid lagi.

Film ketiga dalam semesta Godzilla ini pun kemudian muncul di tahun ini. Menggandeng Michael Dougherty di kursi sutradara serta deretan aktor dan aktris kelas atas semisal Vera Farmiga(Conjuring Universe, The Departed), Millie Boby Brown(Stranger Things) dan Ken Wanatabe(Godzilla, Inception), Godzilla:King of The Monsters pun bersiap untuk menyajikan kisah barunya bagi para penikmat film.

Lantas apakah film ini hadir sesuai ekspektasi?

Sinopsis

| Sumber: Deadline.com
| Sumber: Deadline.com
Lima tahun setelah kejadian pada film Godzilla(2014), MONARCH kali ini dituntut untuk bertanggung jawab akan kerusakan yang ditimbulkan akibat pertarungan 2 monster raksasa, Godzilla dan MUTO. 

Namun ternyata, penelitian mereka terhadap monster raksasa tak berhenti sampai di Godzilla aja. Monster-monster lain pun kemudian ditemukan di berbagai belahan dunia, dimana beberapa diantaranya masih diam dan tenang di tempat persembunyiannya masing-masing.

Di sisi lainnya, Dr. Emma Russel (Vera Farmiga) masih mencoba melawan kesedihan pasca kehilangan anaknya kala Godzilla pertama kali menyerang 5 tahun yang lalu. Ia pun kemudian membenahi sebuah alat pemancar sonar yang berfungsi layaknya alat komunikasi bagi para Kaiju yang dahulu sempat dihancurkannya bersama sang suami, Mark Russel (Kyle Chandler).

| Sumber: Collider.com
| Sumber: Collider.com
Namun tak disangka, ada kelompok lain yang juga menginginkan alat tersebut demi keuntungan sendiri. Hingga satu kesalahan fatal yang dilakukan Emma, pada akhirnya membangunkan para monster raksasa dan mengancam eksistensi manusia di muka bumi.

Namun sekali lagi, bumi ternyata membutuhkan sosok anti-hero yang semula dilaporkan menghilang tanpa jejak. Ya, Godzilla pun kemudian menjadi harapan terakhir manusia dalam menghadapi serbuan monster raksasa tersebut.

Sekuel Epik dalam Sajian Visual Efek yang Dahsyat

Screencrush.com
Screencrush.com
Sungguh menyenangkan ketika mengetahui film ini ternyata tetap setia pada pakem aslinya. Pertarungan epik antar monster, efek visual bombastis nan dahsyat, hingga isu sosial yang tergambar dalam drama keluarga Russel, masih menjadi 3 unsur utama yang membentuk film ini layaknya film-film Godzilla versi Jepang.

Mungkin bagi para penonton kasual, menyaksikan film ini tak lebih dari sekadar parade efek visual semata. Pertarungan lebih dari 2 monster raksasa pun sekilas juga mengingatkan kita pada film semacam Pacific Rim atau Rampage.

Namun bagi fans Godzilla yang telah mengikuti film-film versi Jepangnya, jelas Godzilla:King of The Monsters menawarkan sebuah sekuel epik nan dahsyat. 

Adegan pertarungannya benar-benar otentik bahkan beberapa diantaranya mampu membawa kita nostalgia akan film-film Godzilla yang semasa kecil wara-wiri di stasiun tv nasional kala libur sekolah tiba.

| Sumber: denofgeek.com
| Sumber: denofgeek.com
Pertarungan brutal hingga gedung pencakar langit yang hancur, Godzilla yang mengeluarkan senjata pamungkas Atomic Breath, hingga deretan monster legendaris semisal Mothra, Rodan dan Ghidorah yang muncul bergantian, membuat tiap fansnya pasti kegirangan kala adegan demi adegan tersebut muncul. 

Belum lagi ditambah penampilan singkat cameo monster lain termasuk Kong, pasti semakin menambah kesan positif bagi fans yang menyaksikannya.

Tone yang cukup gelap dan agak foggy juga sekilas mengingatkan kita akan efek visual film DCEU garapan Zack Snyder. Efek kamera shaky dan permainan zoom in-zoom out pada saat pertarungan pun sekilas mengingatkan kita pada adegan pertarungan antara Superman dan General Zod di film Man of Steel. Namun justru disitulah kekuatannya. 

| Sumber: Empireonline.co.uk
| Sumber: Empireonline.co.uk
Godzilla: King of The Monsters justru tampil artistik dengan kombinasi visual efek jempolan dan tone film semacam itu. Membuatnya nampak gagah, kharismatik namun di sisi lain juga mampu tampil intimidatif kala muncul adegan yang memperlihatkan kekuatan Godzilla juga lawannya.

Dengan sajian visual efek yang sangat halus, detail dan megah tersebut, rasanya Godzilla: King of The Monsters sangat layak untuk masuk dalam nominasi peraih penghargaan visual efek terbaik di gelaran Oscar 2020 nanti.

Scoring dan Sinematografi Apik

| Sumber: joe.ie
| Sumber: joe.ie
Musik sejatinya telah menjadi salah satu elemen penting dalam sebuah film. Tanpa musik, film seakan kehilangan identitasnya dan berjalan begitu saja dengan kesepiannya.

Dan pada film Godzilla: King of The Monsters ini, musik yang ditampilkan pun berhasil disajikan dengan begitu baik. Bear McCreary yang sebelumnya pernah menggarap scoring untuk 10 Cloverfield Lane, Battlestar Galactica dan The Walking Dead, mampu menghadirkan sentuhan magisnya pada film ini.

Bear McCreary| Sumber: rollingatone.com
Bear McCreary| Sumber: rollingatone.com
Tak sekadar membangun suasana seru kala berlangsungnya adegan pertarungan, scoringnya pun begitu efektif kala adegan-adegan emosional muncul antar karakternya. Bahkan Godzilla Theme nya terdengar sangat gagah dan meyakinkan.

Sinematografinya pun begitu apik digarap oleh Laurence Sher yang di tahun ini juga bisa kembali kita lihat karyanya dalam film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix. Berbagai teknik pengambilan gambarnya memiliki keunikannya tersendiri dan menjadi satu kesatuan yang kokoh dalam membentuk keseluruhan kisah film ini.

Lemah di Penceritaan Drama

| Sumber: imdb.com/ Warner Bros. Pictures
| Sumber: imdb.com/ Warner Bros. Pictures
Satu hal yang membuat film ini nampak kurang adalah unsur drama antar manusia yang disematkan di tengah-tengah pertarungan kaiju tersebut. Tidak buruk, hanya saja terlalu ringan bagi sekuel yang juga berperan sebagai jembatan ke film monsterverse lainnya.

Sebenarnya, secara konflik film ini hampir sama dengan apa yang disajikan film pertamanya. Hubungan anak dan orangtua di tengah bencana global tetap menjadi isu utama yang diangkat dalam film ini. Namun bedanya, kali ini ditambahkan dengan unsur penghianatan, pengorbanan dan perjuangan yang lebih kompleks dari film pendahulunya.

| Sumber: syfy.com
| Sumber: syfy.com
Namun ternyata hasilnya pun tak baik-baik amat. Banyaknya konflik menyebabkan chemistry antar karakternya berkurang termasuk antara Vera Farmiga dan Millie Bobby Brown yang berperan sebagai ibu dan anak. 

Maka ketika muncul adegan yang seharusnya menguras emosi, entah perasaan haru, bahagia atau kesal pun nyatanya tak berhasil keluar dari dalam diri kita.

Isu Sosial dan Pesan Sadar Lingkungan

| Sumber: Wired.com
| Sumber: Wired.com
Dibalik aksi spektakuler dalam balutan efek visual yang dahsyat, sejatinya Godzilla juga turut menghadirkan isu sosial dalam filmnya. Kewajiban menjaga kelestarian alam jelas menjadi pesan utama yang ingin disampaikan melalui film ini.

Seperti kita tahu, Godzilla dan beberapa deretan monster raksasa lainnya hadir bukanlah sebagai pembawa bencana. Mereka justru hadir sebagai pembawa keseimbangan bagi alam semesta yang mulai hancur akibat ulah manusia itu sendiri. 

| Sumber: nypost.com
| Sumber: nypost.com
Namun seperti biasa, manusia justru menganggap hal tersebut berbahaya dan melakukan tindakan preventif yang sayangnya tak bisa menghancurkan mereka juga.

Maka ketika kemudian muncul gerakan eco-terorism yang mengatasnamakan keseimbangan lingkungan demi menjalankan tindakan jahat mereka di dunia, pertanyaan besar pun kemudian muncul. Siapakah yang sebenarnya pantas disebut monster dalam dunia ini?

Penutup

| Sumber: Slashfilm.com
| Sumber: Slashfilm.com
Sebagai sekuel film yang di tahun 2014 silam mendapatkan respon positif baik oleh para kritikus maupun para penonton umum, Godzilla: King of The Monsters jelas membawa beban berat di pundaknya. Namun begitu, film ini cukup mampu menjawab ekspektasi setidaknya dari sisi efek visual yang memanjakan mata dan cerita yang membawa kita pada nostalgia film klasiknya.

Sayang, unsur drama yang ditampilkan cenderung membosankan dan nampak klise. Konflik serta chemistry antar karakternya pun tak terbangun dengan sempurna. Sehingga porsi drama yang muncul pun cenderung mudah terlupakan dan tak bisa menyamai aksi Godzilla melawan berbagai monster yang justru sangat memorable itu.

| Sumber: Dreadcentral.com
| Sumber: Dreadcentral.com
Namun bagi anda yang memang tipikal penonton kasual yang menyenangi film aksi seru dengan visual efek mengagumkan tanpa perlu menguras otak dalam mencerna filmnya, Godzilla 2 ini sangat cocok untuk disaksikan. Ya, tipikal film liburan yang bisa ditonton bersama teman, pasangan ataupun keluarga.

Tak lupa, bagi anda fans Godzilla tentu saja harus menyaksikan film ini. Karena tak hanya menyajikan deret aksi yang bisa membawa kita nostalgia ke masa kecil, Godzilla: King of The Monsters juga berhasil menyajikan semua unsur-unsur penting dalam Godzilla klasik yang dicintai oleh fansnya. Ya, film ini nampak begitu mengutamakan fans service sebagai sajian utamanya.

| Sumber: denofgeek.com
| Sumber: denofgeek.com
Oh iya, sekadar informasi akan ada 2 post credit scene yang muncul untuk memberi clue terkait film selanjutnya. Post credit scene pertama dimulai tepat ketika film berakhir berbarengan dengan rolling nama-nama pemeran yang digarap cukup stylish. Sementara yang lainnya ada di akhir credit title.

Jadi bagaimana, siap menonton Godzilla weekend ini?

Godzilla saya beri skor, 7.5/10. Menghibur, epik, visual efek spektakuler, namun dengan unsur drama yang mudah terlupakan.

Selamat menonton. Salam Kompasiana.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun