Siapa menghina sesamanya berbuat dosa, tetapi berbahagialah orang yang menaruh belas kasihan kepada orang yang menderita. --- Amsal 14:21
Gelaran Pemilu 2019 telah usai. Meninggalkan banyak cerita dari mulai cerita lucu, penuh semangat kebersamaan hingga yang agak menyesakkan dada yaitu kisah saling hina antar pendukung yang kemudian kita kenal dengan istilah cebong dan kampret.
Meskipun ribut-ribut terkait hasil pemilu masih terjadi hingga saat ini, namun tak bisa dipungkiri bahwa kita patut bersyukur karena gelaran pemilu yang kompleks ini akhirnya selesai dengan baik. Pesta demokrasi pun mampu dihadirkan ke tengah-tengah masyarakat dengan baik meskipun memang masih banyak kendala yang terjadi di lapangan.
Namun satu hal yang unik kemudian ada di gelaran pemilu 2019 kali ini. Pasalnya, perayaan minggu Paskah yang dimulai dari peringatan Jumat Agung serta Kamis Putih bagi umat Katolik, dirayakan tepat pasca pemilu 2019.Â
Tentunya perayaan kali ini menjadi cukup spesial bagi umat Kristiani karena tak hanya merayakan kematian dan kebangkitan Kristus itu sendiri, namun juga sekaligus merayakan kebangkitan kebhinekaan serta demokrasi dalam wujud pesta demokrasi tahun ini.
Namun sejatinya Paskah tak hanya berbicara tentang perayaan pengorbanan serta kebangkitan Kristus semata. Lebih dari itu, Paskah menjadi refleksi diri atas apa yang telah kita lakukan hari, bulan bahkan tahun sebelumnya, juga apa yang akan kita lakukan hari, bulan bahkan tahun-tahun mendatang.Â
Layaknya pengorbanan Kristus yang berlaku sepanjang masa untuk orang-orang yang percaya kepada-Nya, Paskah pun hendaknya menjadi semacam pengingat untuk tetap menjaga hati, pikiran dan perbuatan selama kita hidup agar tak mudah dikuasai oleh si jahat.
Dan seperti kita tahu, Pemilu 2019 ini sejatinya sudah menguras energi kita jauh sebelum gelaran tersebut dimulai. Energi yang sayangnya begitu negatif hingga pada akhirnya turut mempengaruhi hati, pikiran serta tindakan kita entah disadari ataupun tidak.
Sebaran berita hoax di media sosial, saling caci antar pendukung, hingga melakukan tindak kekerasan atas nama agama, nampak menjadi makanan sehari-hari jauh sebelum pemilu dimulai. Tak jarang, hoax yang mengatasnamakan agama pun kemudian menyulut banyak pihak dari berbagai agama untuk "bertarung" dalam sebuah arena semu dan menyesatkan.
Untuk itulah Paskah hendaknya menjadi momen rekonsiliasi pasca Pemilu yang melelahkan tersebut. Menjadi refleksi diri atas apa yang sudah orang lain bahkan kita lakukan selama ini.Â
Lantas, darimana kita memulainya?
Berhentilah Menghina Sesamamu
Kutipan Alkitab dari Amsal 14 ayat 21 di awal tulisan ini sengaja saya letakkan di awal agar siapapun yang membaca tulisan ini bisa segera menyadari apa akibat dari sebuah hinaan kepada sesama. Maka sudah selayaknya sebutan cebong dan kampret dari kedua kubu segera dihentikan dan kembali kepada ikatan persaudaraan dalam tali kebhinekaan yang erat.
Tak ada gunanya saling menjatuhkan apalagi menghina dengan sebutan seperti itu. Selain terus menyulut api kebencian antar sesama, "pertarungan" kekanak-kanakan tersebut justru semakin membuat diri kita terjebak pada nafsu duniawi yang semu. Tak lagi mengindahkan kedamaian dan toleransi, malah sibuk masuk pusaran keributan yang tak berujung.
Berhentilah mempercayai hoax dan tersulut emosi kepada orang lain yang berbeda agama hanya karena berita yang belum tentu terbukti kebenarannya. Karena bukan saja kita akan menyulut api permusuhan, namun juga menimbun dosa kebencian yang mungkin tak kita sadari.
Taatilah dan Hormatilah Pemimpinmu
Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu-Ibrani 13:17
Nampaknya ayat tersebut sudah berbicara cukup jelas tentang apa yang harus kita lakukan pada para pemimpin kita. Namun nyatanya, gelaran pemilu kali ini lebih sering membuat orang lupa akan konsep taat apalagi menghormati para pemimpin dan berbagai lembaga negara yang menaunginya.Â
Tak hanya menghina capres kedua kubu, hinaan pada Presiden dan jajarannya yang masih aktif pun kerap dilakukan tanpa tedeng aling-aling. Bahkan yang terbaru tuduhan-tuduhan tanpa dasar yang jelas pada lembaga penyelenggaraan pemilu makin kencang disuarakan hingga membuat panik dan khawatir banyak orang.
Bukannya tidak boleh mengkritisi hasil kerja pemerintah yang mungkin belum maksimal, hanya saja kita tetap harus mampu memilah antara kritik sehat dan ketaatan pada pemerintahan berjalan itu sendiri. Kritiklah dengan data yang akurat dan juga cara penyampaian yang benar.
Hanya saja yang terjadi kini bukanlah kritik sehat, melainkan hinaan dan cacian seolah-olah semua yang dilakukan pemerintah salah. Dan jika hal tersebut terus terjadi, bukan tidak mungkin kepercayaan kepada pemerintahan siapapun yang terpilih di masa-masa mendatang akan berkurang.
Dan persis seperti kutipan ayat di awal paragraf, "Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu", semakin menjelaskan bahwa sudah selayaknya kita harus menjadi warga negara baik terlebih dahulu. Tak perlu lah mencari-cari siapa yang patut disalahkan terlebih dahulu.Â
Tunduklah pada konstitusi sekaligus mampu menyuarakan aspirasi dengan baik tanpa hinaan, cacian bahkan kekerasan. Niscaya, jika dari diri kita sendiri sudah bisa bersikap baik, masakkan Tuhan tidak mau menolong rakyat lewat hadiah berupa pemerintahan yang baik?
Maafkanlah Tiap Orang yang Membenci Kita
Sama seperti Kristus yang memaafkan orang-orang yang menyalibkan-Nya, sudah seharusnya kitapun bersikap seperti itu. Memaafkan sebagai wujud berbelas kasih kita, jelas harus lebih diutamakan dari kebencian itu sendiri.
Seorang hamba Tuhan pernah berkata seperti ini, "Belas kasihan meninggalkan tanda yang dalam daripada penghakiman". Maka jelas, senjata paling ampuh untuk meredam konflik itu sendiri adalah memaafkan bukan malah mengakimi yang malah akan menyulut kebencian tak berujung. Sentuhlah hati yang terdalam melalui sikap memaafkan bukan dengan sindiran dan perkataan tak mengenakkan hati lainnya.
Maka dari itu, berhentilah menyebut cebong dan kampret, berhentilah menggiring opini dan membuat narasi yang semakin menyudutkan satu sama lain. Mulailah saling memaafkan dan bersiaplah menuju kehidupan baru, siapapun pemimpin terpilih nantinya.
Penutup
damai penuh kasih dan toleransi antar sesama dimulai dari minggu Paskah ini.Â
Tak hanya bagi pembaca, tulisan ini pun sejatinya sebagai pengingat bagi saya yang mungkin secara tak sadar ikut larut dalam "keramaian" jelang Pemilu 2019 lalu. Sudah selayaknya kita hidupkan kembali suasanaBerhentilah bermusuhan dan saling hina hanya karena perbedaan pandangan politik. Mulailah rekonsiliasi dari diri sendiri. Janganlah terus menerus bersungut-sungut.
Percayalah, pemimpin itu berasal dari Tuhan dan Tuhan jugalah yang akan memberikan berkat-Nya agar kelak mereka bisa menuntun jutaan jiwa kepada kehidupan yang lebih baik. Semuanya jelas butuh waktu serta doa dan partisipasi aktif kita sebagai masyarakat yang baik.Â
Selamat hari raya Jumat Agung dan Minggu Paskah. Tuhan memberkati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H