Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Stadia dan Ambisi Google Menguasai Pasar "Cloud Gaming"

7 April 2019   15:07 Diperbarui: 8 April 2019   11:28 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelaran Game Developer Conference 2019(GDC 2019) yang diselenggerakan sejak 18 hingga 21 Maret lalu, menyisakan sebuah informasi yang menarik. Pasalnya, gelaran yang biasanya menjadi panggung bagi tiga perusahaan gim ternama semisal Sony, Microsoft dan Nintendo, kali ini justru dimiliki oleh perusahaan lain yang masih cukup baru memasuki ranah ini yaitu Google.

Stadia yang menjadi proyek baru garapan Google, sontak menjadi primadona GDC 2019 berkat fitur dan teknologi yang disematkannya. Tak hanya melompati para pesaingnya semisal Sony dan Microsoft, Stadia juga dianggap banyak kalangan memulai sebuah babak baru dalam industri video gim. 

Lantas, seperti apa sih Stadia itu? 

Tentang Stadia

Daily.oktagon.co.id
Daily.oktagon.co.id

Dikenal pertama kali di tahun 2018 sebagai proyek rahasia bernama Project Yeti, Stadia atau disebut juga dengan Google Stadia merupakan sebuah platform cloud gaming. Para penggunanya bebas memainkan berbagai gim termasuk gim kualitas AAA sekalipun, tanpa perlu memusingkan jenis konsol atau kompatibilitas PC seperti apa untuk menjalankan gim tersebut. 

Selama pengguna memiliki browser Google Chrome di PC, tablet ataupun smartphone ditambah dengan koneksi internet yang mumpuni, gim-gim yang tersedia di pustaka Stadia bisa langsung dimainkan.

Jika selama ini dalam memainkan video gim pengguna harus menyiapkan terlebih dahulu konsol semisal PS4, Xbox, atau PC berspesifikasi tertentu, juga cd atau blue-ray gim itu sendiri, maka lewat Stadia proses tersebut dipangkas. 

Pengguna tak perlu lagi repot-repot menyiapkan hal-hal tersebut karena proses gim nya dilakukan langsung lewat server Stadia. Ya, Stadia bukanlah konsol melainkan platform gaming yang cara kerjanya bisa dibilang persis seperti Netflix juga Spotify. 

Indianexpress.com
Indianexpress.com

Dilansir dari laman kompas.com, Google Stadia dijalankan pada sebuah data center yang memiliki komputer berspesifikasi tinggi. GPU AMD nya memiliki kemampuan pemrosesan grafis sebesar 10,7 Teraflops, atau 2 kali dari kemampuan yang dimiliki PS 4 pro(4,2 teraflops) dan Xbox One X(6 teraflops). 

Sistem operasinya menggunakan Linux dengan prosesor custom x86 dengan kecepatan 2,7 GHz dengan fitur hyperthreading dan AVX2. Sedangkan memorinya, komputer ini memiliki RAM 16 GB dibekali L2+L3 cache yang bisa mentransfer data hingga 484 GB/detik.

Dengan spesifikasi data center yang gahar seperti itu, maka Google Stadia tak hanya menyiapkan diri untuk gim next-gen, namun juga memungkinkan pengguna memainkan gim dari perangkat lawas sekalipun. Seperti gim Assasin's Creed: Oddyssey atau Doom: Eternal yang merupakan gim kelas AAA, mampu tampil begitu lancar dimainkan di berbagai perangkat pada demonstrasi yang dilakukan Google di GDC lalu.

Cukup siapkan laptop, PC, smartphone atau Google Chromecast untuk menikmati berbagai gim nya. Ditambah dengan sambungan controller dari berbagai next-gen konsol yang sudah eksis atau controller milik Stadia sendiri, maka pengalaman bermain akan semakin menyenangkan.

Simak videonya disini;

Tak hanya itu, Youtube pun akan didorong sebagai pendukung utama Stadia. Hal itu berkat dimungkinkannya video review, preview atau walkthrough sebuah gim yang bisa diberikan semacam link untuk direct play ke Stadia. 

Pengguna pun tak perlu repot, karena gim langsung bisa tersedia di hadapannya, real time dan tanpa perlu mengunduh filenya yang cukup besar.

Stadia dan Next-Gen Internet Broadband

Arstechnica.com
Arstechnica.com

Dengan pustaka gim yang konon akan hadir begitu banyak, sejatinya Stadia masih memiliki satu hal yang menjadi ganjalan para gamer di seluruh dunia. Koneksi internet yang dibutuhkan Stadia untuk memainkan gim dengan lancar yaitu minimal di 25mpbs untuk memainkan gim kualitas HD 1080p, sedangkan untuk kualitas 4K membutuhkan bandwidth sebesar 30mbps.

Meskipun Google mengklaim dibawah kecepatan itu pun gim masih bisa dimainkan dengan lancar melalui beberapa penyesuasian atau kompresi, tetap saja syarat tersebut masih terlalu 'mewah' bagi kebanyakan negara Asia khususnya Indonesia. 

Mungkin bagi Amerika Serikat atau kebanyakan negara Eropa yang kecepatan rata-rata internetnya ada di atas angka 25mbps, hal tersebut tak jadi masalah. Namun bagi Indonesia yang rata-rata 6mbps, pasti butuh effort lebih untuk bisa menikmati Stadia dengan maksimal.

campaignlive.co.uk
campaignlive.co.uk

Sebagai gambaran, untuk menyaksikan 1 film di Netflix dengan kualitas 1080p saja mampu menghabiskan data sekitar 3GB. Apalagi dengan 4K yang tentu saja bisa 2x lipatnya. 

Maka dengan Stadia yang membutuhkan bandwidth sebesar 25mbps, menikmati 1 permainan selama 1 jam saja akan mampu menghabiskan data sekitar 11 GB. Sementara jika bermain selama 3 jam, maka tentu saja 3 kali lipatnya. 

Tentu saja hal ini masuk diakal mengingat gim bukanlah hiburan 1 arah layaknya kita menonton Netflix yang secara pemrosesan data lebih sederhana. Gim merupakan hiburan 2 arah dimana ada interaksi dari penggunanya juga. Maka apabila koneksi lambat, sudah bisa dipastikan pengalaman bermain tidak akan maksimal.

vesttech.com
vesttech.com

Namun begitu, tak bisa dipungkiri Stadia merupakan pembuka jalan bagi penetrasi next generation internet broadband yang lebih cepat, besar dan stabil. Stadia jelas tak sekadar memanfaatkan jaringan 4G yang sudah eksis saat ini. Implementasi 5G lah yang disasar mengingat sebentar lagi nampak akan semakin marak pengaplikasiannya di berbagai negara. 

Dan sambil menunggu hal tersebut, maka peluncurannya di beberapa negara Amerika dan Eropa tahun 2019 ini, nampak sebagai 'beta tester' sebelum akhirnya Stadia masuk ke pasar global yang lebih luas, bersamaan dengan penetrasi 5G yang lebih luas.

Stadia si Pembuka Perang Cloud Gaming

Stadia memang menggebrak industri video gim terkait konsep streaming & all you can play. Bahkan Stadia sudah sangat percaya diri terkait peluncurannya di tahun ini. Genderang perang di ranah cloud gaming pun resmi dimulai oleh Stadia.

Baca Juga: Netflix dan Perkembangan "Streaming on Demand" pada Industri Video Gim

Seperti pada tulisan saya awal 2018 lalu yang membahas kemungkinan kemunculan layanan streaming video gim seperti Netflix, Playstation lewat Playstation Now serta Xbox lewat Xbox Game Pass nya sejatinya sudah lebih dulu mencoba peruntungannya di ranah cloud gaming. Meskipun memang aksesnya terbatas pada konsol mereka sendiri ditambah dengan penetrasi pasar dan marketingnya yang masih terkesan malu-malu.

arsintech.com
arsintech.com

Namun tak hanya Playstation Now dan Xbox Game Pass, sejatinya ada beberapa layanan lainnya yang sudah eksis dan sudah bisa dicoba saat ini. Geforce Now milik Nvidia yang saat ini memiliki pustaka game kelas AAA, menjadi salah satu alternatif streaming video gim yang bisa dicoba di PC. 

Meskipun hanya bisa diakses lewat PC, namun pustaka gim AAA yang lengkap patut dicoba apalagi bagi pemain yang sebelumnya tidak bisa mencoba gim tersebut karena terbatasnya spesifikasi hardware PC-nya.

Jump juga bisa menjadi alternatif streaming video gim, dimana platform ini bukan menawarkan gim kelas AAA melainkan gim yang digarap oleh developer independen. Kemampuan streaming lintas OS pada PC serta support dukungan gadget Oculus Rift dan HTC Vive Headsets, membuat Jump juga bisa menjadi alternatif bagi para gamer di masa depan.

Sama seperti Stadia, baik Jump maupun Geforce Now belum merilis biaya langganannya. Pun masing-masing juga memiliki syarat utama koneksi internet minimal 25mbps untuk menjalankan gim dengan grafis HD 1080p atau 30mbps untuk menjalankan grafis dengan kualitas 4K. Tentunya hal ini jauh lebih besar dari Playstation Now yang hanya membutuhkan koneksi internet minimal 5mbps untuk memainkan gim-gim nya dengan mulus.

Stadia di Antara Pride dan Ekosistem Gim

pushsquare.com
pushsquare.com

Stadia memang menggoda dan menarik. Khususnya bagi gamer yang tak suka direpotkan dengan konfigurasi konsol ataupun PC yang memakan banyak biaya. Saya pribadi yang berhenti mengikuti perkembangan konsol sejak terakhir memainkan Xbox 360 dan tak lagi mengikuti sejak kemunculan PS4 atau Xbox One karena semakin mahal, tentu menyambut baik Stadia yang bisa dimainkan di gadget manapun selama bisa mendukung Google Chrome.

Tapi pertanyaannya adalah, apakah yang memiliki pemikiran seperti saya banyak? Saya rasa banyak namun tetap saja tak sebanyak orang-orang yang lebih memilih gim konsol ataupun PC berspesifikasi tinggi.

Ada beberapa hal yang membuat gim konsol masih lebih diminati dibanding Stadia beberapa tahun ke depan. Bagi para gamer hardcore, kepemilikan konsol atau PC berspesifikasi tinggi masih dianggap sebagai pride atau kebanggaan tersendiri. Ditambah dengan keberadaan koleksi gim eksklusif di masing-masing platform, tentu saja mengoleksinya seakan menjadi pencapaian yang tak ada duanya.

Engadget.com
Engadget.com

Untuk itulah memainkan gim dari sebuah platform cloud gaming, masih dirasa sebagai pilihan alternatif atau sebagai 'konsol kedua'. Tak adanya gim fisik juga tak adanya kepemilikan versi digital seperti yang dilakukan oleh Xbox Game Pass, membuat Stadia pasti dipikirkan ulang oleh para gamer. Menikmati gim secara streaming pasti mengurangi sense of belonging seperti kala membeli versi fisik ataupun versi digital.

Bagi para gamer kasual pun, keberadaan Stadia nampaknya tak terlalu berpengaruh. Perlu effort lebih terutama pada koneksi internet dalam memainkan gim di gadget mereka, membuat gim-gim sederhana yang tersebar di toko aplikasi Play Store ataupun Apps Store, nampak masih akan diminati bertahun-tahun ke depan.

Praktis Stadia memang harus mempersiapkan ekosistem gim yang kokoh jika mereka memang mau fokus menarik gamer hardcore yang terbiasa bermain di konsol. Keberadaan pustaka yang lengkap ditambah dengan hadirnya gim eksklusif Stadia yang menarik, nampak menjadi poin utama yang harus dikembangkan jika tak mau Stadia hanya menjadi semacam One Hit Wonder dalam industri Video Gim.

Lifewire.com
Lifewire.com

Franchise God of War, Uncharted, dan Last Of Us yang eksklusif untuk Sony atau Mario Bros dan Legend of Zelda milik Nintendo, menjadi beberapa contoh judul gim yang nampaknya masih mampu membuat gamer untuk tidak berpindah ke lain hati. 

Ditambah layanan streaming game eksklusif masing-masing yang nampaknya tinggal tunggu beberapa waktu lagi untuk benar-benar meledak, tentu membuat kita bertanya-tanya pada Google. Benar sudah siapkah Stadia melawan ekosistem milik Sony, Microsoft dan Nintendo yang sudah sangat kokoh tersebut?

Penutup

Theverge.com
Theverge.com

Stadia memang menjadi gebrakan yang bahkan bisa dibilang melompati zaman. Terlebih baik Playstation, Xbox ataupun Nintendo nampak belum benar-benar serius bermain di ranah cloud gaming.

Stadia yang sudah curi start dan layanannya segera memasuki beberapa negara di tahun 2019 ini memang nampak menjadi 'beta tester' bagi platform cloud gaming. Dan yang pasti, Stadia sudah berhasil mendobrak bahkan mengubah peta global industri gim di masa depan. 

Memang cloud gaming nampak masih belum menjadi pilihan utama jika melihat tren gim konsol saat ini yang masih mengandalkan device fisik. Namun memang perlu waktu untuk membiasakan diri dengan kemunculan platform tersebut. 

Sama seperti kala kehadiran album musik digital belum mampu menggeser album fisik bertahun-tahun silam. Namun perlahan tapi pasti, album digital pada akhirnya mampu menggerus industri album fisik di seluruh dunia.

Masih terlalu dini juga jika mengatakan video gim konsol akan mati dan terkalahkan oleh layanan cloud gaming. Namun tentu saja, cloud gaming harus diantisipasi sebagai jawaban akan layanan masa depan video gim yang semakin mudah, nyaman dan murah.

Anandtech.com
Anandtech.com

Sekarang tinggal Google yang harus konsisten mengembangkan layanan ini jika tidak mau ambisinya menguasai pasar cloud gaming menguap begitu saja. Sementara bagi Sony, Microsoft dan Nintendo, jelas mereka harus waspada jika tidak mau Playstation, Xbox ataupun Switch hanya menjadi sekadar merk konsol untuk dikenang di masa depan.

Well, menarik melihat masa depan cloud gaming yang akhirnya segera menjadi kenyataan. 

Selamat datang, Stadia. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun