Dilansir dari laman kompas.com, Google Stadia dijalankan pada sebuah data center yang memiliki komputer berspesifikasi tinggi. GPU AMD nya memiliki kemampuan pemrosesan grafis sebesar 10,7 Teraflops, atau 2 kali dari kemampuan yang dimiliki PS 4 pro(4,2 teraflops) dan Xbox One X(6 teraflops).Â
Sistem operasinya menggunakan Linux dengan prosesor custom x86 dengan kecepatan 2,7 GHz dengan fitur hyperthreading dan AVX2. Sedangkan memorinya, komputer ini memiliki RAM 16 GB dibekali L2+L3 cache yang bisa mentransfer data hingga 484 GB/detik.
Dengan spesifikasi data center yang gahar seperti itu, maka Google Stadia tak hanya menyiapkan diri untuk gim next-gen, namun juga memungkinkan pengguna memainkan gim dari perangkat lawas sekalipun. Seperti gim Assasin's Creed: Oddyssey atau Doom: Eternal yang merupakan gim kelas AAA, mampu tampil begitu lancar dimainkan di berbagai perangkat pada demonstrasi yang dilakukan Google di GDC lalu.
Cukup siapkan laptop, PC, smartphone atau Google Chromecast untuk menikmati berbagai gim nya. Ditambah dengan sambungan controller dari berbagai next-gen konsol yang sudah eksis atau controller milik Stadia sendiri, maka pengalaman bermain akan semakin menyenangkan.
Simak videonya disini;
Tak hanya itu, Youtube pun akan didorong sebagai pendukung utama Stadia. Hal itu berkat dimungkinkannya video review, preview atau walkthrough sebuah gim yang bisa diberikan semacam link untuk direct play ke Stadia.Â
Pengguna pun tak perlu repot, karena gim langsung bisa tersedia di hadapannya, real time dan tanpa perlu mengunduh filenya yang cukup besar.
Stadia dan Next-Gen Internet Broadband
Dengan pustaka gim yang konon akan hadir begitu banyak, sejatinya Stadia masih memiliki satu hal yang menjadi ganjalan para gamer di seluruh dunia. Koneksi internet yang dibutuhkan Stadia untuk memainkan gim dengan lancar yaitu minimal di 25mpbs untuk memainkan gim kualitas HD 1080p, sedangkan untuk kualitas 4K membutuhkan bandwidth sebesar 30mbps.
Meskipun Google mengklaim dibawah kecepatan itu pun gim masih bisa dimainkan dengan lancar melalui beberapa penyesuasian atau kompresi, tetap saja syarat tersebut masih terlalu 'mewah' bagi kebanyakan negara Asia khususnya Indonesia.Â