Pernahkan anda membayangkan seperti apa jadinya Indonesia di masa depan? Akan menjadi negara majukah, atau justru mengalami kemunduran dari apa yang telah dicapai saat ini? Atau bahkan akan bubar seperti yang dipercayakan segelintir kalangan?
Memang kita tidak tahu pasti seperti apa wajah Indonesia bertahun-tahun mendatang. Namun setidaknya, kita bisa melihat kemungkinan atas kondisi yang terjadi di Indonesia bertahun-tahun mendatang melalui film, khususnya pada film yang baru-baru ini dirilis berjudul Foxtrot Six.
Pada tulisan saya di bulan Agustus 2018 (di sini), saya sudah sempat membahas bahwa film ini bakal membawa banyak elemen Hollywood termasuk yang paling mencolok adalah terlibatnya Mario Kassar sebagai eksekutif produser.
Orang yang juga terlibat pada kelahiran film-film mega blockbuster seperti First Blood, Terminator serta Minority Report, menjadi penanggung jawab lahirnya film aksi Indonesia terbesar saat ini yang konon menghabiskan biaya 5 juta dollar AS atau sekitar 75 miliar rupiah dalam proses pembuatannya.
Mari, kita lanjut ke poin pembahasannya.
Sinopsis
Indonesia dengan tanah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, menjadi calon negara adikuasa baru. Namun begitu, ketidakadilan dan kemiskinan kerap ada dan menjadi pemandangan sehari-hari. Kelompok pemberontak yang bernama Reform pun muncul menjadi secercah harapan baru bagi rakyat namun menjadi musuh besar pemerintahan yang dikuasai partai politik keji, Piranas.
Dalam salah satu operasinya, Angga pada akhirnya tertangkap kelompok reform dan membawanya bertemu mantan tunangannya yang dikiranya sudah meninggal, Sari (Julie Estelle), yang kini bergabung dengan Reform. Nuraninya pun bergejolak ketika mendengar apa tujuan sebenarnya Reform tersebut.
Sebuah pertanyaan besar pun muncul. Haruskah Angga beserta kelima pasukannya membela ibu pertiwi dari tangan-tangan penguasa jahat lewat jalan yang dibentuk Reform? Atau haruskah dia tetap berbalik ke pemerintahan dan berkompromi dengan Piranas untuk menyudahi semua ini?Â
Debut Brilian Randy Korompis
Skenarionya bahkan lebih rapi dibandingkan The Night Comes For Us. Setiap adegan berjalan dengan cukup runut meskipun pacenya cenderung cepat. Akibatnya, banyak adegan-adegan yang membutuhkan penjelasan kuat, juatru nampak muncul begitu saja, khususnya pada adegan perkenalan masing-masing anggota militer rekrutan Angga.
Sisi emosional antar karakter pun kurang digarap maksimal. Sehingga pada adegan yang seharusnya bisa memunculkan momen haru atau patriotik, justru terkesan biasa saja dan beberapa diantaranya justru tampil begitu garing.
Penulisan skenario yang langsung ditulisnya sendiri dalam bahasa Inggris juga menyebabkan film ini begitu otentik dengan film-film militer Hollywood. Begitupun dengan dialog dan humor yang kental dengan kultur Amerika. Maka jelas, apabila dialog film ini kemudian disadur ke bahasa Indonesia, akan menghilangkan esensi dasarnya yang pastinya akan terdengar cukup aneh.
Totalitas ala Hollywood di Segala Sisi
Sejak awal, film ini memang sudah menunjukkan totalitasnya dalam menyajikan rasa yang sama dengan apa yang biasa disajikan oleh Hollywood. Mulai dari jalan cerita, penggunaan dialog yang full English, sinematografer ciamik ala Hollywood, hingga deretan gadget militer futuristik, menjadi beberapa unsur yang semakin menguatkan cita rasa Hollywood di film ini.
Khusus untuk dialog, memang penggunaan dialog full English menjadi hal yang disayangkan banyak orang karena menyebabkan film ini nampak kehilangan identitasnya. Tidak seperti film-film aksi Indonesia lainnya semisal The Raid dan The Night Comes for Us yang tetap mempertahankan bahasa Indonesia dalam filmnya.Â
Hanya saja, jika melihat tujuannya untuk masuk ke pasar global yang lebih luas, hal ini sejatinya sah-sah saja. Toh banyak dan sering kita lihat juga film-film produksi Tiongkok, Jepang dan Perancis yang menggunakan dialog full English, padahal itu bukan bahasa asli mereka.
Namun apa yang ditampilkan film ini sudah lebih dari cukup bahkan cukup outstanding untuk kelas film lokal. Mulai dari CGI yang menunjukkan lanskap Jakarta masa depan, teknologi hologram serta jubah menghilang, semuanya mampu ditampilkan cukup baik.
Hanya saja, sinematografer Ical Tanjung yang lebih sering berkutat di film horor dan drama, nampaknya agak keteteran ketika adegan close combat berlangsung. Sehingga beberapa adegan pertarungan nampak tidak tertangkap maksimal meskipun hal tersebut tidak menganggu jalannya pertarungan secara keseluruhan.
Highlight
Highlight pertama dari film ini tentu saja ada pada deretan aktornya. Masih menggunakan formula yang sama dengan TNCFU dan dwilogi The Raid yaitu all Indonesian A-Star, menjadikan film ini berpotensi menjadi magnet penonton untuk datang menyaksikan bintang-bintang idola mereka muncul dalam satu frame.
Highlight kedua adalah munculnya beragam senjata militer dan kendaraan tempur baik yang saat ini sudah ada maupun yang bertema futuristik. Pujian tentu saja ada pada desain Kodiak yang menyerupai robot dengan senapan serbu otomatis di kedua lengannya. Bentuknya mengingatkan kita akan film-film fiksi Hollywood khususnya karakter robot musuh pada film Robocop era 80-90'an.
Hanya saja, entah ini masalah pada sound filmnya atau sound system di bioskop tempat saya menonton, pada adegan jelang akhir film nampak muncul suara yang agak aneh pada dialognya. Cukup menganggu karena sangat terasa jelas perubahannya.
Penutup
Dengan tema besarnya seputar kejahatan penguasa yang mencoba menguasai sumber daya alam dengan rakyat menjadi korban yang kerap dikelabui, tentu menjadikan film ini sebagai film yang cocok disaksikan di tahun politik ini. Sebuah tema relevan yang dibungkus dengan kisah fiktif distopia kota-kota di Indonesia.
Memang film ini masih meninggalkan berbagai kekurangan di sana-sini. Namun dengan proses produksi yang serius, cerita yang segar meskipun tak benar-benar baru, dan berbagai elemen kejutannya di sepanjang film, tentu membuat kita tak ragu memberikan applause akan apa yang coba disajikan segenap kru film ini.
Foxtrot Six saya berikan nilai 8/10 untuk hasil akhirnya yang diluar ekspektasi, pertarungan seru nan brutalnya, dan segala hal teknis yang digarap dengan serius dan berkelas Hollywood.
Oh iya, jangan buru-buru pulang setelah menonton. Ada 2 after credit scene yang nampaknya semakin menegaskan bahwa film ini berpotensi dibuatkan sekuelnya. Ya, jika berhasil secara pendapatan tentunya, heuheu.
Selamat menonton. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H