Tahun 1973 menjadi awal mula kebangkitan rezim diktator Uruguay dibawah presiden Juan Maria Bordaberry. Sistem pemerintahan diktator yang berjalan selama 12 tahun menggantikan sistem demokrasi tersebut juga disebut sebagai tahun-tahun kelam pemerintahan Uruguay, sebelum akhirnya sistem demokrasi bangkit kembali di tahun 1984.
Seiring dengan bangkitnya rezim tersebut, maka dimusnahkan jugalah berbagai bentuk kelompok politik yang dianggap berlawanan dengan pemerintah termasuk Partai Komunis Uruguay dan kelompok gerilyawan Tupamaro. Tanggal 7 September 1973, 9 anggota Tupamaro yang merupakan kelompok pemberontak berpaham Marxisme, kemudian menjadi sasaran empuk rezim untuk ditangkap, disiksa dan dipenjarakan.
Peran mereka sebagai Robin Hood-nya Uruguay karena kerap membobol bank untuk kemudian dibagikan ke rakyat miskin, harus berhenti karena takluk dengan tangan besi pemerintahan. Rakyat kehilangan pahlawannya namun pemerintah mendapatkan musuh besarnya.
Sejak awal kita sudah diperlihatkan kejamnya penjara politik tanpa tedeng aling-aling. Mereka disekap, diikat bahkan kepalanya ditutupi dengan karung goni yang disiram bensin. Selama berjam-jam mereka terpaksa bernapas dengan aroma bensin yang terus terhirup hingga kain mengering di pagi hari.
Tak cukup dengan siksaan tersebut, merekapun kerap dipukuli, diberi makan tak layak hingga berbagai penyiksaan lainnya yang tak manusiawi. Bahkan untuk urusan buang hajat pun, tempat yang tak layak menjadi semacam siksaan tambahan bagi mereka.
Dari penjara satu ke penjara lainnya mereka dipindahkan. Dari satu siksaan ke siksaan lainnya mereka dihadapkan, namun tak juga membuat mereka gentar. Masih adanya secercah harapan dan keyakinan akan kebebasan lah yang kemudian menguatkan mereka untuk bertahan hidup dalam gelapnya penjara hingga 12 tahun kemudian.
"Jika tidak bisa membuat mereka mati, setidaknya buatlah mereka gila"
Mungkin sudah jadi rahasia umum bahwa para tahanan politik dimanapun berada akan mengalami penyiksaan yang berujung pada kematian atau kegilaan. Hanya saja kita tidak pernah tahu seperti apa jenis penyiksaannya.
Dan ternyata, lewat film ini kita jadi mengerti. Betapa penjara politik merupakan tempat yang tak hanya kejam untuk fisik namun juga mental. Mereka bahkan lebih senang melihat tawanan terjepit hingga mengalami kegilaan dibandingkan harus mati dengan cepat di tempat tersebut.
"Hanya orang yang sudah kalah yang berhenti melawan"
Itulah kata-kata sang ibunda dalam kunjungannya yang membuat Pepe Mujica tersadar dari halusinasi yang terus menyerangnya. Halusinasi yang kian kuat bahkan tak lama lagi bisa membuatnya gila.
Sang ibu ingin Pepe tetap sadar bahkan tidak menyerah dengan keadaan yang nampak tak ada ujungnya ini. Sebuah metafora pesan yang juga menggambarkan kejadian-kejadian yang menimpa tiga tawanan lainnya. Mereka bertiga memang tak pernah berhenti melawan keadaan sekitarnya karena mereka tidak mau kalah hanya karena keadaan. Betapa sia-sianya perjuangan mereka selama ini, jika pada gelapnya penjara saja mereka bertekuk lutut.
Mereka yang dilarang berkomunikasi dengan sesama tawanan bahkan penjaga, pada akhirnya bisa menembus batasan tersebut dengan cara yang kreatif. Keinginan hidup yang lebih besar dari keadaan sekitar itulah yang membuat mereka memiliki banyak akal, setidaknya untuk menikmati hari-hari mereka di penjara yang kelam. Merekapun menang.
Tidak Mendramatisir Sejarah
A Twelve Year Night memang merupakan film drama yang tidak mendramatisir dengan berlebihan. Hal inilah yang sejatinya sering luput dari industri Hollywood. Based on true event yang menjadi jualan beberapa film Hollywood bertema penjara kadang menjadi terlalu mendramatisir kisahnya hingga kita lupa fokus apa yang ingin disampaikan pada kisah keseluruhannya.
Papillon yang beberapa waktu lalu sempat dibuat ulang dari versi tahun 70-an nya, menjadi bukti bahwa Hollywood terlalu peduli dengan penambahan unsur origin story alih-alih menyempurnakan detail kisah pelarian diri dari penjara super ketat yang sudah sangat baik diinterpretasikan pada film awalnya. Tentu saja ini menjadi hal yang sia-sia bukan?
Layaknya Sleepers(1996) yang mengisahkan kejahatan seksual di penjara anak ataupun drama penjara Shawsank Redemption(1994) yang menyajikan detail kerasnya penjara alih-alih memberikan unsur drama tak penting lainnya, A Twelve Year Night pun juga seperti itu. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, sejak awal film ini langsung memberikan main course tanpa ada appetizer berupa origin story atau adegan pembuka tak penting lainnya. Penonton langsung diminta fokus pada perkembangan karakternya sejak adegan pertama.
Tak lupa selipan berbagai satir gelap yang juga mampu mengocok perut di tengah-tengah penceritaan kisah dari sudut pandang ketiga tawanan, juga muncul dengan cukup cerdas. Contohnya adalah ketika Nato sudah tak tahan ingin buang air besar.Â
Diantarnyalah Nato ke kantor sipir penjara dan dipersilakan BAB dengan syarat tangan terborgol di salah satu tiang dekat kloset. Hanya saja borgolnya sangat pendek hingga menyulitkan Nato untuk berjongkok. Nato pun berteriak ke sipir untuk melepaskan sebentar ikatannya agar bisa buang air besar.
Karena A Twelve Year Night Begitu Menggugah
Sebagai sebuah film sejarah politik berdasarkan kisah nyata sang tokoh utama Pepe Mujica, A Twelve Year Night berhasil menyajikan kisah sejarah kelam yang menyentuh dan penuh pesan kemanusiaan. Tak ada dramatisir kisah yang berlebihan pada karakter Pepe Mujica dan kawan-kawan begitu juga pada sosok penjahat utama seperti pada film-film aksi atau sejarah perang lainnya.
Karena sisi jahat sang antagonis dalam film ini memang tidak muncul secara alami, melainkan digerakkan oleh sistem pemerintahan yang menaungi mereka. Sistem yang kelak dikemudian hari hancur dengan sendirinya seiring dengan lahirnya kekuatan masyarakat yang lebih besar.
Kecuali Rosencof yang masih hidup, kedua sahabatnya memang telah wafat dalam tugasnya mengabdi untuk negara. Namun perjuangan mereka untuk kebebasan berpendapat di Uruguay tetap hidup, bahkan lebih hidup lewat film ini.
Betapa jujurnya penuturan film ini mungkin akan sedikit membuat bosan penonton yang tak terbiasa menyaksikan film drama dengan pace lambat seperti ini. A Twelve Year Night bukanlah film drama penjara yang menyajikan adegan penuh harapan untuk melembutkan mimpi buruk yang sebenarnya.
Sejarah(dan juga judul film ini) telah memberi tahu kita bagaimana akhir kisahnya. Namun filmnya sendiri memang ingin fokus menyampaikan pengalaman horor yang menimpa mereka dan membentuk ketiganya menjadi sesuatu di masa depan.
Penutup
Dengan sinematografi yang memukau, gaya bercerita yang sederhana namun kuat dan menyentuh, serta porsi yang pas dalam menyajikan masing-masing kisah tiga tawanan ini, menjadikan A Twelve Year Night sebagai film yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Film sejarah yang bertutur dengan jujur ini jelas akan membuka pengetahuan baru bagi kita.Â
Film Uruguay arahan sutradara Spanyol yang telah memenangi 32 penghargaan dan 20 nominasi ini telah tayang di Netflix sejak 28 Desember 2018. Selamat Menonton.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H