Hanya saja jika swafoto tersebut kemudian dikomersilkan demi mendulang likes di laman media sosial, nampaknya harus pikir ulang untuk melakukan hal tersebut. Apalagi jika kita justru berasal dari luar daerah bencana dan sengaja ke tempat tersebut hanya untuk berbagi kesedihan di media sosial secara klise. Karena dibalik kesedihan tersebut sejatinya ada harapan tombol likes yang ditekan teman sosial media semakin banyak.
Fakta Pahit yang Menyadarkan
Sebenarnya apa yang diberitakan jurnalis Guardian merupakan sebuah fakta pahit yang menyadarkan kita sebagai masyarakat Indonesia. Betapa likes dan interaksi media sosial menjadi sangat penting hingga mematikan unsur-unsur manusia sosial yang seharusnya dimiliki.Â
Saya pribadi menyebutnya sebagai likegasm. Semacam orgasme yang hanya bisa dicapai dengan banyaknya pengakuan dan likes dari media sosial.
Tak usah berbicara jauh ke tragedi tsunami Anyer, di hari-hari biasa pun tanpa kita sadari terkadang kita lebih mementingkan dokumentasi dibandingkan aksi nyata.Â
Lihat saja jika ada kejadian kecelakaan di jalan raya, apa yang orang-orang lakukan? Menolong? Tentu saja tidak. Mereka bahkan kita, justru lebih sibuk mengeluarkan gawai untuk merekam kejadian, syukur-syukur bisa selfie di depan truk galon yang terguling.
Penutup
Hanya saja, Guardian merupakan salah satu media yang memiliki pembaca terbanyak di seluruh dunia, sehingga kita patut prihatin terkait pemberitaan yang sudah jadi sorotan internasional ini.
Meskipun di belahan dunia lain selfie di lokasi bencana juga sering terjadi, bukan berarti yang dilakukan masyarakat Indonesia bisa dimaklumi.Â
Seharusnya, berita getir yang justru disorot media asing tersebut bisa menyadarkan kita dengan segera sehingga tak ada lagi kejadian seperti itu di kemudian hari. Dan semuanya dimulai dari diri kita sendiri. Jangan sampai  rasa kemanusiaan kita matikan hanya untuk menghidupi konten sosial media kita.