Mohon tunggu...
Yonathan Christanto
Yonathan Christanto Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Moviegoer | Best in Specific Interest Kompasiana Awards 2019

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika "Selfie" di Lokasi Bencana Menjadi Sorotan Media Asing

26 Desember 2018   17:17 Diperbarui: 27 Desember 2018   20:09 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: TheGuardian.com

Demam selfie atau swafoto rasanya belum berakhir sampai saat ini. Tua muda semuanya sangat menggemari kegiatan swafoto menggunakan gawai ini. Apalagi jika latar belakang fotonya bagus dan kemampuan kamera di gawainya mendukung, tentu kegiatan ini akan semakin mengasyikkan.

Namun perlu diingat, berswafoto pun tetap harus berhati-hati dan lihat kondisi di kanan-kiri. Jangan sampai kegiatan tersebut justru mengganggu orang di sekitar apalagi mendatangkan kecaman dari berbagai pihak.

Seperti pada berita pagi ini yang saya baca di laman berita Guardian.com. Ada sebuah judul berita yang segera menyita perhatian saya terkait bencana tsunami di Anyer-Lampung beberapa hari lalu. 

Namun berita tersebut bukanlah berita terkait penemuan fakta baru seputar bencana ataupun update jumlah korban, melainkan berita tentang kebiasaan selfie atau swafoto orang Indonesia.

Berita dengan judul Destruction Get More Likes: Indonesia's Tsunami Selfie-seekers yang ditulis jurnalis Guardian Jamie Fullerton dalam kunjungan 3 harinya di Banten, mencoba menyelami maksud dari para orang-orang yang berswafoto di tempat bencana tersebut. Sebuah kegiatan yang semestinya tak dilakukan di daerah terdampak bencana apalagi baru saja terjadi beberapa hari lalu.

Alasan Update Status dan Posisi

Masih berdasarkan tulisan Jamie Fullerton, beberapa orang yang berswafoto ria di lokasi bencana tersebut beralasan bahwa hal itu mereka lakukan untuk menginformasikan posisi mereka terkait pemberian donasi di wilayah tersebut. 

Solihat(40) yang diwawancarainya, menuturkan bahwa swafoto yang diunggah di Facebook mereka menjadi semacam bukti bahwa mereka sudah datang dan memberikan donasi.

Solihat juga menambahkan bahwa pantas tidaknya terkait swafoto di tempat bencana, hal tersebut tergantung tujuan swafoto itu sendiri. Jika tujuannya untuk pamer di media sosial, maka jangan lakukan. Namun jika tujuannya untuk membantu menginformasikan kondisi terkini serta berbagai kesedihan dengan teman-teman media sosial, maka hal itu boleh saja dilakukan.

Swafoto Jadi Ajang Menjaring "Likes"

Dengan penjelasan Solihat di atas yang nampaknya masih bisa dimaklumi meskipun kontorversial, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Swafoto memang lebih dimanfaatkan sebagai sarana untuk update status terbaru yang tentunya untuk menjaring lebih banyak likes di media sosial dibandingkan untuk berbagi kesedihan seperti yang dituturkannya.

Hal itu semakin dibenarkan kala Jamie mewawancarai orang lain yang berswafoto di tempat tersebut. Mereka rata-rata memang sengaja mengunjungi tempat tersebut untuk melihat langsung kondisi terkini dan segera membagikannya di laman sosial media masing-masing. 

Tak hanya itu, bahkan mereka pun nampak menganggap kegiatan selfie ini sebagai kegiatan biasa, tak peduli kondisi apa yang dijadikan objek foto oleh mereka.

Bapak Bahrudin yang bersedih karena kegiatan selfie di lokasi bencana( sumber foto: The Guardian.com)
Bapak Bahrudin yang bersedih karena kegiatan selfie di lokasi bencana( sumber foto: The Guardian.com)
Hal ini juga lah yang membuat Bahrudin(40) yang mobil serta rumahnya turut tenggelam, menjadi sedih dan kecewa. Mobilnya justru dijadikan spot selfie favorit oleh orang-orang yang berkunjung ke tempat tersebut. Alih-alih membantu Bahrudin, kepopuleran postingan sosial media nampaknya lebih mereka utamakan.

Selfie Jadi Kegiatan Wajib Tiap Bencana

Jika dirunut ke belakang, sebenarnya bukan kali ini saja kebiasaan selfie masyarakat Indonesia yang tidak pada tempatnya menjadi sorotan media. Pada April 2017 misalnya, lokasi longsor di Ponorogo juga menjadi spot selfie favorit orang-orang yang mengunjungi daerah tersebut, padahal kejadiannya baru saja terjadi beberapa hari sebelumnya.

Lokasi Hercules jatuh di Medan (sumber: feed.merdeka.com)
Lokasi Hercules jatuh di Medan (sumber: feed.merdeka.com)
Lokasi banjir bandang di Garut bulan September 2016 juga menjadi ajang selfie bagi para ibu-ibu dan donatur yang mengunjungi tempat tersebut. Tak lupa, lokasi pesawat Hercules milik TNI AU yang jatuh di Medan, Sumatera Utara tahun 2015 lalu juga menjadi ajang selfie masyarakat sekitar.

Tentu sangat miris jika melihat fakta yang terjadi. Swafoto justru lebih diutamakan dibandingkan membantu orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan instan saat itu. Eksistensi di media sosial nampak lebih penting dibandingkan sikap tolong menolong yang tulus tanpa dokumentasi.

Sebenarnya sah-sah saja jika ingin mendokumentasikan daerah yang terkena bencana. Tapi toh hal tersebut bisa dilakukan tanpa harus berswafoto. Karena fokus swafoto tentu saja ada pada orang dalam frame tersebut, sementara kondisi daerah yang jadi latar belakangnya justru tidak fokus. Maka dari itu, cukup foto daerah terdampak bencana secukupnya saja tanpa swafoto, selebihnya percayakan pada tiap media yang meliput.

Saya sendiri kadang bingung terhadap orang-orang yang berswafoto di lokasi bencana khususnya yang berasal dari luar daerah tersebut. Lha wong saya mau lihat kondisi terakhir daerahnya kok justru dapat sajian wajah satu layar penuh?

Plus Minus Swafoto di Daerah Bencana

Ilustrasi: bjp-online.com
Ilustrasi: bjp-online.com
Memang berswafoto di daerah bencana tidak sepenuhnya salah. Karena swafoto bisa sangat bermanfaat dalam mengabarkan kondisi kita pada keluarga atau kerabat ketika kita berada di lokasi bencana. 

Hanya saja jika swafoto tersebut kemudian dikomersilkan demi mendulang likes di laman media sosial, nampaknya harus pikir ulang untuk melakukan hal tersebut. Apalagi jika kita justru berasal dari luar daerah bencana dan sengaja ke tempat tersebut hanya untuk berbagi kesedihan di media sosial secara klise. Karena dibalik kesedihan tersebut sejatinya ada harapan tombol likes yang ditekan teman sosial media semakin banyak.

Fakta Pahit yang Menyadarkan

Sebenarnya apa yang diberitakan jurnalis Guardian merupakan sebuah fakta pahit yang menyadarkan kita sebagai masyarakat Indonesia. Betapa likes dan interaksi media sosial menjadi sangat penting hingga mematikan unsur-unsur manusia sosial yang seharusnya dimiliki. 

Saya pribadi menyebutnya sebagai likegasm. Semacam orgasme yang hanya bisa dicapai dengan banyaknya pengakuan dan likes dari media sosial.

Tak usah berbicara jauh ke tragedi tsunami Anyer, di hari-hari biasa pun tanpa kita sadari terkadang kita lebih mementingkan dokumentasi dibandingkan aksi nyata. 

Lihat saja jika ada kejadian kecelakaan di jalan raya, apa yang orang-orang lakukan? Menolong? Tentu saja tidak. Mereka bahkan kita, justru lebih sibuk mengeluarkan gawai untuk merekam kejadian, syukur-syukur bisa selfie di depan truk galon yang terguling.

Penutup

Ilustrasi: Socialistmop.com
Ilustrasi: Socialistmop.com
Sampai tulisan ini dibuat, memang hanya Guardian yang membahas selfie di lokasi bencana tsunami anyer, sementara media asing lainnya belum atau bahkan tak ada pemberitaan yang sama. 

Hanya saja, Guardian merupakan salah satu media yang memiliki pembaca terbanyak di seluruh dunia, sehingga kita patut prihatin terkait pemberitaan yang sudah jadi sorotan internasional ini.

Meskipun di belahan dunia lain selfie di lokasi bencana juga sering terjadi, bukan berarti yang dilakukan masyarakat Indonesia bisa dimaklumi. 

Seharusnya, berita getir yang justru disorot media asing tersebut bisa menyadarkan kita dengan segera sehingga tak ada lagi kejadian seperti itu di kemudian hari. Dan semuanya dimulai dari diri kita sendiri. Jangan sampai  rasa kemanusiaan kita matikan hanya untuk menghidupi konten sosial media kita.

Ya, semoga ke depannya tak ada lagi kegiatan swafoto yang mengundang kecaman banyak pihak bahkan mengundang atensi jurnalis asing. Bukan hanya malu, namun hal tersebut semakin menegaskan bahwa di Indonesia sejatinya masih banyak yang salah dalam menggunakan dan memanfaatkan sosial media.

Untuk itu, tetaplah berdoa bagi para korban tsunami Selat Sunda, baik yang sudah maupun belum ditemukan hingga saat ini. Janganlah menambah kesedihan keluarga korban  dengan melakukan kegiatan yang tak berfaedah dan miskin empati.

Swafoto boleh, asal tahu tempat dan kondisinya.

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun