Hal itu semakin dibenarkan kala Jamie mewawancarai orang lain yang berswafoto di tempat tersebut. Mereka rata-rata memang sengaja mengunjungi tempat tersebut untuk melihat langsung kondisi terkini dan segera membagikannya di laman sosial media masing-masing.Â
Tak hanya itu, bahkan mereka pun nampak menganggap kegiatan selfie ini sebagai kegiatan biasa, tak peduli kondisi apa yang dijadikan objek foto oleh mereka.
Selfie Jadi Kegiatan Wajib Tiap Bencana
Jika dirunut ke belakang, sebenarnya bukan kali ini saja kebiasaan selfie masyarakat Indonesia yang tidak pada tempatnya menjadi sorotan media. Pada April 2017 misalnya, lokasi longsor di Ponorogo juga menjadi spot selfie favorit orang-orang yang mengunjungi daerah tersebut, padahal kejadiannya baru saja terjadi beberapa hari sebelumnya.
Tentu sangat miris jika melihat fakta yang terjadi. Swafoto justru lebih diutamakan dibandingkan membantu orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan instan saat itu. Eksistensi di media sosial nampak lebih penting dibandingkan sikap tolong menolong yang tulus tanpa dokumentasi.
Sebenarnya sah-sah saja jika ingin mendokumentasikan daerah yang terkena bencana. Tapi toh hal tersebut bisa dilakukan tanpa harus berswafoto. Karena fokus swafoto tentu saja ada pada orang dalam frame tersebut, sementara kondisi daerah yang jadi latar belakangnya justru tidak fokus. Maka dari itu, cukup foto daerah terdampak bencana secukupnya saja tanpa swafoto, selebihnya percayakan pada tiap media yang meliput.
Saya sendiri kadang bingung terhadap orang-orang yang berswafoto di lokasi bencana khususnya yang berasal dari luar daerah tersebut. Lha wong saya mau lihat kondisi terakhir daerahnya kok justru dapat sajian wajah satu layar penuh?
Plus Minus Swafoto di Daerah Bencana