And you get a head
A head full of dreams
You can see the change you want to
Be what you want to be
When you get a head
A head full of dreams
It's a love, I've just been spoken
With a head full, a head full of dreams
A Head Full of Dreams yang dibawakan dengan megah di Sao Paulo menjadi lagu pembuka yang menghipnotis para penonton film dokumenter terbaru Coldplay malam tadi. Sebelumnya sebuah jokes yang renyah muncul dalam sebuah adegan percakapan antara Chris Martin dan sang sutradara. Chris berkata bahwa dia tidak mau film dokumenternya seperti dokumenter musisi lainnya yang memulai filmnya dari sorotan backstage hingga masuk ke panggung. Sang sutradara nampak mengiyakan, namun ternyata film ini justru dimulai dari adegan Chris Martin muda dan kawan-kawan berjalan masuk dari belakang panggung.
Film ini juga akan tayang secara eksklusif di Prime Video di tanggal 16 November. Jadi bagi yang tidak sempat menyaksikan di bioskop namun berlangganan Prime Video, bisa mengecek ketersediaan film ini nanti.
Kebetulan semalam penulis mendapatkan jadwal nonton paling akhir yaitu pukul 21.25 dan ternyata satu studio full house, luar biasa. Jam-jam sebelumnya pun terlihat penuh terisi di hampir semua bioskop baik CGV maupun Cinemaxx yang kedapatan jatah menayangkan film tersebut.Â
Pesona Coldplay dan Chris Martin lah yang jelas membuat film ini begitu dinanti. Apalagi ini merupakan dokumenter pertama Coldplay setelah sebelum-sebelumnya Chris Martin tidak pernah suka dengan ide film dokumenter.
Nah, berikut akan coba dibahas beberapa hal menarik di film ini yang tentunya bisa masuk ke dalam list film dokumenter wajib tonton. Apalagi jika anda mengaku sebagai fans berat Coldplay, tidak menonton film ini berarti sebuah pelanggaran ,heuheu.
Dari Kamar Asrama ke Panggung Spektakuler
Di film ini, perjalanan Coldplay yang dimulai dari kamar asrama University of London College(UCL) turut disertakan dalam beberapa montase lawas. Bagaimana pertemuan Chris Martin dengan gitaris Jonny Buckland pada akhirnya membentuk band Pectoralz. Kemudian basis Guy Berryman masuk dan mengganti nama band nya menjadi Starfish.Â
Lalu drummer Will Champion melengkapi formasi akhir beserta Phil Harvey yang berperan sebagai manajer dan creative director, yang juga disebut sebagai member kelima band ini. Semuanya kemudian bekerjasama mewujudkan impian membentuk band yang kelak dianugerahi segudang prestasi.
Film ini tidak menyajikan sebuah cerita yang urut misalnya kisah yang dimulai dari titik awal karir hingga menjadi superstar. Namun film ini menggabungkan montase lawas dengan rekaman konser terbaru mereka secara acak dan melompat-lompat. Rekaman kisah-kisah masa lalu merekapun tidak selalu diceritakan sesuai lagu atau bahasan pada voice over di sepanjang film.Â
Kadang antara voice over dan video yang ditampilkan tampak tidak nyambung. Tapi disitulah keunikannya, karena penonton diajak untuk intim dengan kehidupan Coldplay melalui obrolan-obrolan ringan dan tingkah laku absurd para personilnya alih-alih memfokuskan diri pada cerita yang urut.
Bukan Dokumenter, Ini Catatan Harian
Seperti yang Chris Martin katakan bahwa dia tidak mau film ini fokus pada personilnya, namun dia mau film ini menceritakan Coldplay secara keseluruhan dengan lagu-lagu menjadi sisi penguat cerita.Â
Dan nampaknya hal tersebut berhasil diaplikasikan pada film ini. Baik fans maupun bukan, A Head Full of Dreams berhasil membuat kagum karena menyajikan sebuah catatan yang bukan hanya inspiratif namun juga sebagai warisan yang berguna bagi generasi-generasi mendatang.
Selain itu, film ini juga menunjukkan betapa Coldplay bukan hanya sekedar band namun juga keluarga. Terlihat dari bagaimana dekatnya hubungan antar personil dan kru bahkan tetap awet bekerjasama selama 20 tahun karir mereka.Â
Konflik-konflik yang ditampilkan pun tidak didramatisir layaknya konflik pada film biopik musisi ala Hollywood.Â
Karena ini film dokumenter, konflik disini memang ditampilkan apa adanya dan lebih nampak layaknya konflik pada sebuah rumah tangga. Yang meskipun anggota keluarganya dilanda konflik besar, selalu ada alasan untuk pulang.
Tangan Dingin Mat Whitecross
Sutradara spesialis film dokumenter yang meraih banyak penghargaan internasional khususnya pada film dokumenternya yang berjudul The Road to Guantanamo yang mengisahkan dua orang beragama muslim yang dipenjara di Guantanamo pasca tragedi 9/11, Â tanpa ada alasan apapun. Juga film dokumenter Oasis: Supersonic yang membahas lebih dekat kehidupan para personil band asal Manchester tersebut.
Mat Whitecross yang juga merupakan kerabat dekat para personil Coldplay, paham benar seperti apa pribadi masing-masing personil Coldplay dan apa keinginan mereka terhadap film ini.Â
Sehingga dari kedekatannya itulah, film ini lahir sesuai representasi sang sutradara sekaligus sahabat tersebut.Â
Film yang menggiring setiap penontonnya untuk ikut terlibat dalam perjalanan 20 tahun Coldplay layaknya seseorang yang mendengarkan setiap cerita dan menjadi saksi hidup kisah sukses sahabatnya sendiri.
Formula inilah yang membuat 1 jam 55 menit waktu tayang film dokumenter ini terasa begitu cepat. Mengalirnya cerita dari masing-masing personil yang membawa sudut pandang baru tiap penceritaannya, jelas membuat kita nyaman duduk menyaksikan.Â
Apalagi ditambah potongan-potongan video konser mereka di Sao Paulo dan Buenos Aires yang begitu megah, tentu semakin memanjakan tiap mata yang menyaksikannya.
Editing yang Memuaskan
Pujian patut disematkan juga pada kru di departemen sound dan editing. Jika Marc Richardson sangat piawai menggabungkan serta mengedit kumpulan rekaman menjadi sebuah sajian visual utuh selama hampir 120 menit, maka Richard Davey dan Michael Williams begitu piawai menyajikan tata suara dan music edit yang sangat baik.
Permainan reverberasi sound kala rekaman konser ditampilkan, benar-benar disajikan secara maksimal sehingga kita ikut merasakan atmosfir di konser tersebut. Pun pada saat di studio maupun rekaman di luar ruangan, semuanya tampil dengan porsi yang sesuai sehingga membuat kita nampak dekat dengan suasana aslinya.
A Head Full of Dreams
Kepenuhan yang akhirnya mereka tuangkan menjadi sebuah kesuksesan dalam karya musik mereka.
Film ini tidak mengajarkanmu tentang kiat sukses seorang musisi, atau bagaimana kejeniusan Chris Martin yang patut dicontoh, bahkan mungkin bagaimana cara mereka menciptakan lagu populer.Â
Lebih dari itu, film ini mengajak kita untuk berani bermimpi layaknya 4 orang anak yang mengawali mimpinya dengan bermain musik di kafe lokal, hingga semesta mengizinkannya berpesta dengan ratusan fans nya di panggung Gastonbury.
Juga berani bermimpi layaknya mimpi yang pernah diucapkan Chris Martin di tahun 1998 yang menyatakan bahwa 4 tahun lagi atau di tahun 2002, Â mereka akan menjadi band fenomenal. Yang ternyata hal tersebut benar-benar terwujud 4 tahun 3 hari kemudian.
Penutup
Film ini juga menyajikan kisah yang lebih luas dari sekedar wahana sing along dalam bioskop atau kisah kejeniusan Chris Martin dalam menggarap aransemen lagu mereka bahkan rahasia dibalik kesuksesan album-album mereka di tangga musik dunia.Â
Film ini menyajikan kisah yang lebih dalam dan intim lewat hubungan personal, suasana kekeluargaan bahkan impian antar personilnya dengan lagu-lagu hits mereka menjadi benang merahnya.
Bagi para fans berat Coldplay film ini sudah pasti wajib untuk disaksikan. Dan bagi penonton yang awam dengan musik Coldplay, dijamin akan segera jatuh cinta dengan band ini setelah melihat segala pencapaian dan proses hidup yang mereka lewati.
![Live in buenos aires (coldplay.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/11/15/21-54-23-images-5bed89e8aeebe1208561c643.jpg?t=o&v=770)
Meskipun belum ada tanggal pasti, namun dilihat dari status coming soon album ini di platform Apple Music, nampaknya tidak butuh waktu lama bagi kita untuk bisa mendengarkan albumnya.
Habis menyaksikan film dokumenternya kemudian mendengarkan album livenya. Lengkap sudah pengalaman menikmati Coldplay tahun ini.
Salam Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI