Interdependensi merupakan salah satu teori yang sering digunakan dalam menggambarkan fenomena internasional. Definisi dari interdependensi sendiri adalah menyatakan bahwa tidak ada satupun negara yang mampu memenuhi sendiri kebutuhannya tanpa bantuan dari negara lain. Hal itu dapat dibuktikan karena semua negara tidak mungkin mampu memproduksi barang/jasa dari negara lain. Semua bergantung kepada masing-masing sumber daya di setiap negara. Oleh karena itu, negara tidak termasuk sebagai aktor yang dapat berdiri sendiri secara keseluruhan dan malah saling bergantung satu sama lain.
Kemudian seberapa perlukah negara saling bergantung satu dengan yang lain? apakah negara harus terus saling bergantung dengan negara lain?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat melihat perspektif liberalisme dalam konteks studi Hubungan Internasional, yang menyatakan jika interdependensi akan menjadi semakin penting akibat meningkatnya arus modernisasi. Arus modernisasi/globalisasi sendiri dapat dilihat dari aktor transnasional yang menjadi semakin penting, kekuatan militer dan kesejahteraan yang menjadi tujuan absolut setiap negara. Globalisasi ekonomi memiliki ciri-ciri yaitu melihat arus perdagangan lintas batas menjadi semakin sering terjadi (Kumar, 2003).Â
Munculnya lembaga World Trade Organization (WTO) dan munculnya kebijakan Free Trade Agreements. Hubungan perdagangan ini juga dapat berubah sewaktu-waktu tergantung negara yang bekerja sama dan mempengaruhi ketergantungan. Transaksi perdagangan juga memiliki implikasi yang besar terhadap interdependensi.
Tidak hanya itu, sektor lainnya dalam interdependensi ekonomi internasional dapat dilihat dari investasi. Berbagai perusahaan multinasional di dunia setiap tahunnya menginvestasi uangnya di negara lain (Kumar, 2003). Investasi memiliki kecenderungan interdependensi semakin tinggi yang diakibatkan oleh berubahnya pola investasi. Berubahnya pola terjadi pada investasi langsung dalam bentuk saham. Diperlukan kendali penuh dan keterlibatan investor secara langsung dalam mengelola investasinya.
Selanjutnya adalah sektor finansial yang telah menjadi hal vital dalam hubungan interdependensi. Dalam menjalin hubungan interdependensi, operasi keuangan pasti berubah selagi kerjasama terjalin. Negara dengan mata uang yang berfungsi sebagai media pertukaran pasti berupaa untuk mendisiplinkan kebijakan keuangannya. Di satu sisi, terdapat negara yang berusahan untuk tidak membiarkan mata uangnya merosot di bawah nilai tukar internasional. Tetapi perlu diperhatikan jika keberhasilan negara untuk bekerjasama didasari pada dua hal, yaitu power dan rezim internasional.
Power dapat dilihat dari daya kemampuan tawar-menawar. Meskipun dalam teorinya, hubungan interdependensi merujuk pada suatu hubungan yang timbal balik, tetapi pada kenyataannya sering ditemukan hubungan asimetris terjadi. Power suatu aktor dalam hubungan interdependensi akan menyesuaikan dengan isunya. Setelah itu ada rezim internasional yang menjadi penentu terjadinya ketergantungan. Adanya rezim internasional menjadikan setiap pihak dapat mempengaruhi melalui kebijakan ekonomi-politiknya masing-masing dalam mencapai kesepakatan masing-masing.
Kemudian apakah dampak yang dihasilkan dengan adanya globalisasi ekonomi ini? Dampak pertama tentu saja peran aktor non-negara menjadi semakin kuat. Munculnya MNC membuat negara tersaingi terutama dalam segi kekuatan ekonomi. Bahkan dapat ditemukan beberapa MNC yang kekuatan ekonominya lebih besar dari negara berdaulat (Rodinova, 2016) (Myers, 2016). Kemudian pada era modernisasi saat ini, negara mengubah prioritas dan tujuan-tujuannya. Sampai pada hari ini, negara menempatkan aspek ekonomi sebagai prioritas utama. Semua negara ingin bersaing dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan memamkmurkan masyarakatnya. Negara siapa yang paling kaya, maka memiliki kuasa politik yang luas. Oleh karena itu negara akan bersedia menciptakan iklim yang mendukung tercapainya kebutuhan ekonomi baik domestik maupun internasional.
Adapun dampak yang terakhir adalah, interdependensi ekonomi dapat menciptakan perdamaian dunia. Hal ini berangkat dari gagasan para pemikir teori Interdependensi Ekonomi yang menyatakan jika suatu negara mencapai sebuah kesepakatan, maka negara-negara memiliki keterikatan dan saling ketergantungan, perdamaian akan dapat tercipta. Gagasan ini disebabkan karena adanya pertimbangan opportunity cost. Semua negara yang menjalin kerjasama dan mendapatkan keuntungan pasti tidak ingin hal tersebut berakhir. Dengan segala manfaat yang ada, maka negara akan sebaik mungkin meminimalisir terjadinya konflik (Rosecrance, 1986).
Kemudian jika suatu konflik terjadi diantara kedua negara, ini juga akan membuat para investor dan pelaku pasar lainnya minggat. Dengan adanya konflik seperti perang dianggap dapat menghilangkan potensi manfaat dan menjatuhkan ekonomi negara itu sendiri. Dalam situasi tersebut, kepentingan politik harus mampu dikesampingkan demi mempertahankan roda ekonomi.
Kemudian bagaimanakah cara melihat interdependensi negara satu dengan yang lain?
Kita dapat melihat dan mengukur interdependensi dengan menggunakan perbandingan aktivitas perdagangan impor-ekspor suatu negara dengan total impor-ekspor ke negara lainnya. Jika persentase ekspor dan impor besar dibandingkan dengan total ekspor impor suatu negara ke seluruh dunia, maka dapat disimpulkan telah terjadi interdependensi ekonomi. Sebagai contoh aktivitas perdagangan Tiongkok ke Jepang pada periode 2000-2017. Menurut data, Jepang mengekspor rata-rata 15.14% per tahunnya dari total ekspor Jepang ke seluruh dunia. Dapat disimpulkan Tiongkok telah menjadi destinasi utama ekspor Jepang secara berulang kali. Begitupun sebaliknya yang dimana produk impor Jepang berasal dari Tiongkok sebagian besar.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Jepang menjadi negara yang sangat penting bagi Tiongkok. Aktivitas perdagangan Jepang-Tiongkok juga selalu berada posisi yang besar berdasarkan statistik. Begitupun dengan aktivitas investasi. Berdasarkan data JETRO atau Japan External Trade Organizations, Jepang menjadi negara yang selalu konsisten dalam menjalankan investasi di Tiongkok.Â
Per tahunnya perusahaan-perusahaan Jepang gencar menanamkan modal di pasar Tiongkok. Adapun total investasi pada tahun 200 mencapai 900 juta USD, 6,6 miliar USD pada 2005 dan 13,6 miliar USD pada tahun 2012. Tidak hanya perusahaan, pelaku ekonomi Tiongkok juga melakukan hal demikian. Laporan mengatakan pada periode 2005 -- 2017 titik tertinggi nilai investasi berada pada angka 444 juta USD dari 17,17 juta USD di tahun 2005 (Bureau of Statistics of China).
Dengan adanya kerjasama dalam ekonomi tersebut, kegiatan ekonomi tersebut secara rasional telah menciptakan kondisi perdamaian diantara Tiongkok dan Jepang. Dengan mempertimbangkan opportunity cost, potensi kebijakan berperang semakin kecil untuk dilakukan. Jika ketergantungan berhenti, maka keuntungan yang diperoleh baik Tiongkok dan Jepang juga akan berhenti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H