Mohon tunggu...
Yohana Magdalena
Yohana Magdalena Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pharmacist

Menulis untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pria yang Selalu Menangis

20 Juli 2020   09:26 Diperbarui: 20 Juli 2020   20:06 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Mira. Aku bekerja di sebuah rumah makan khas daerahku. Aku sudah bekerja hampir sepuluh tahun. Selama sepuluh tahun, karyawan yang bekerja disini sebanyak sembilan orang. 

Belakangan ini, pemilik rumah makan berencana untuk membuka lowongan kerja yang ditujukan untuk para pria. Padahal menurutku, dengan karyawan yang berjumlah sembilan orang, ku rasa sudah cukup. Tapi ya sudahlah. Lagian ini kan kemauan dari pimpinan.

Setelah seminggu berlalu, dan setelah melewati beberapa tahap penerimaan karyawan baru, terpilihlah seorang pria bernama Doni. Kata bos, Doni jago dalam membuat bumbu-bumbu masak sehingga Doni diberi tugas yang sama denganku yaitu menyiapkan semua bumbu-bumbu masakan.

"Doni, setelah perkenalan dengan karyawan yang ada di sini, kamu langsung menuju ke dapur ya. Kamu akan ditraining selama seminggu oleh Mira." Kata pak Bambang yang adalah pemilik rumah makan tersebut.

"Baik, pak." Jawab Doni.

Aku mulai mengajarinya perlahan. Tapi, Doni itu cukup berpengalaman dan punya tekad yang kuat untuk mau belajar, jadi tidak sulit untuk mengajarinya. 

"Don, hari ini kamu nyiapin bumbu untuk menu ini ya." Sambil aku berikan catatan menunya. "Aku akan mengupas bawang, jahe, lengkuas, dll. Nanti kita tukaran kok. Oia, aku lupa memberitahukan kalau untuk menyiapkan bumbu-bumbu, disini bos maunya kita tetap menggunakan alat-alat yang sederhana. Ku harap kamu bisa menerima, hehehe." Canda Mira.

Ternyata benar kata bos, Doni itu orang yang sangat telaten dalam menyiapkan bumbu-bumbu. Kadang, aku jadi malu dengannya. Ia sering mengingatkan beberapa campuran bumbu kalau aku lupa. Tapi, dia adalah seorang yang sangat pendiam. 

Setelah sebulan lebih, aku tukaran sama Doni berkaitan dengan tugasnya. Dan kami pun mulai bekerja seperti biasa.  

Aku lihat air mata Doni mulai turun perlahan membasahi pipinya dan matanya terus tertutup. 

"Jangan-jangan Doni marah sama aku, ya. Karena aku mulai tukaran tugas sama dia. Tapi kok iya, dia sampai menangis?" Pikirku.

Aku seakan tak melihatnya dan terus aku mengerjakan tugasku. Saat selesai mengerjakannya, aku sedikit memberanikan diri dan bertanya, "apakah kamu baik-baik saja?" Doni menjawab dengan tersenyum "i'm okay."

Keadaan yang sama yang dilakukannya setiap hari selama sebulan. Sepertinya aku harus menanyakan kepada Doni. Tapi, aku merasa canggung dengan sikapnya yang masih terus pendiam walaupun aku sering membuat lelucon. Paling ketawa seadanya. Itu saja.

Akhirnya aku mencoba mencari tahu tentang kehidupannya secara diam-diam. Mungkin saja dia sedang menghadapi masalah ekonomi, keluarga atau masalah percintaan.

Ternyata ini yang ku dapat: Doni adalah anak seorang pejabat. Ayahnya mengepalai satu instansi dan ibunya seorang bidan di rumah sakit daerah. Doni juga adalah lulusan dari Singapore dan paling mengagetkan adalah, dia belum pernah menjalin hubungan asrama.

Ah, ada yang tidak beres. Pikirku. Malam itu, aku benar-benar memantapkan nitku untuk bertanya langsung padanya.

Keesokan harinya, seperti biasa. Doni datang selalu 15 menit lebih awal. Dan selalu dengan wajah gembira. 

Saat bekerja aku hanya memperhatikan dia dari kejauhan. Tidak sabar lagi aku untuk bertanya padanya. Beberapa menit kemudia, Doni melakukan hal yang sama. Matanya mengeluarkan air mata sambil ia menutup matanya.

"Don, apa yang terjadi? kamu sedang mengalami masalah apa? ayo cerita sama aku. Aku tidak tega melihat kamu menangis setiap hari. Ada aku yang yang siap mendengarkan kamu." Aku pun kaget seketika, mengapa bisa mengatakan hal itu pada Doni. Padahal Aku hanya mau menanyakan alasan dia menangis.

"I'm okay. Aku hanya tidak bisa tahan ketika mengupas dan memotong bawang merah." Kata Doni sambil melihatku dengan matanya yang masih perih.

"Terima kasih, sudah bersedia menjadi teman yang mau mendengarkanku. Bolehkah lebih dari seorang teman?"

Dengan perasaan campur aduk antara sedikit malu dan jengkel padanya. Aku masih berdiri kaku dan hendak keluar dari ruangan itu. 

"Jawaban apa untuk Doni?" Kata teman-teman karyawan dengan serempak sekaligus mengagetkanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun